Kita percaya akan wajibnya menasihati para pemimpin dan mentaati mereka dalam hal yang bukan kemaksiatan selama mereka menjalankan Kitabullah pada umat ini, sekalipun mereka jahat, maksiat dan zhalim, selama tidak tampak dari mereka kekufuran yang nyata.

Tentang wajibnya menasehati para pemimpin telah ditunjukkan oleh sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

اَلدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ. قُلْنَا لِمَنْ يَا رَسُوْلُ اللهِ؟ قَالَ: لِلَّهِ وَلِكِتَابِهِ وَلِرَسُوْلِهِ وَلأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِيْنَ وَعَامَّتِهِمْ.

“Agama adalah nasihat.” Para sahabat bertanya, “Kepada siapakah wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Kepada Allah, kepada Kitab-Nya, kepada Rasul-Nya, kepada para pemimpin kaum muslimin dan kaum muslimin itu sendiri.” (Diriwayatkan oleh Muslim).

Nasihat kepada pemimpin adalah dengan membantu mereka dalam kebenaran, menaati mereka dalam kebenaran, mengingatkan mereka dengan lembut dan halus, memberitahu mereka tentang hal yang mereka lengahkan dan tentang hak-hak kaum muslimin yang belum mereka ketahui, tidak meninggalkan mereka dan menyatukan hati manusia untuk menaati mereka.

Tentang keharusan menaati mereka dalam hal yang bukan kemaksiatan selama mereka memberlakukan Kitabullah pada umat ini, telah diisyaratkan oleh Allah dalam firman-Nya,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul(-Nya) dan ulil amri di antara kamu.” (An-Nisa’: 59).

Ayat yang mulia ini mewajibkan taat kepada ulil amri, tapi bukan ketaatan yang mutlak, akan tetapi dalam bingkai Al-Kitab dan As-Sunnah, karena berkali-kali disebutkan ketaatan terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tapi tidak mengulang perintah ketaatan terhadap ulil amri, hal ini menunjukkan bahwa ketaatan kepada ulil amri bukan ketaatan mutlak, tapi dalam batas mentaati Allah dan Rasul-Nya.

Sabda beliau,

اِسْمَعُوْا وَأَطِيْعُوْا وَإِنِ اسْتَعْمَلَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ حَبَشِيٌّ كَأَنَّ رَأْسَهُ زَبِيْبَةٌ مَا أَقَامَ فِيْكُمْ كِتَابَ اللهِ.

“Dengarkanlah dan taatilah, sekalipun seorang budak habasyi yang kepalanya seperti buah anggur kering berkuasa atas kalian, selama ia memberlakukan Kitabullah pada kalian.” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dari hadits Anas).

Sabda beliau yang lain menyebutkan,

عَلَى الْمَرْءِ الْسَّمْعُ وَالطَّاعَةُ فِيْمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ إِلاَّ أَنْ يُؤْمَرَ بِمَعْصِيَةٍ فَإِذَا أَمَرَ بِمَعْصِيَّةٍ فَلاَ سَمْعَ وَلاَ طَاعَةَ.

“Kewajiban setiap orang adalah mendengarkan dan mematuhi baik dalam hal yang dia senangi maupun tidak, kecuali diperintahkan untuk maksiat, jika ia diperintahkan untuk maksiat maka tidak boleh mendengarkan dan tidak boleh taat.” (Muttafaq ‘Alaih).

Kemudian tentang kewajiban membela pemimpin atas orang yang berusaha menggulingkannya, ditunjukkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dengan sabdanya, “Barangsiapa yang berbai’at kepada seorang imam lalu ia mengulurkan tangannya dan dengan segenap hatinya, maka hendaklah ia mentaatinya semampunya, kemudian jika datang orang lain yang menentangnya maka tebaslah leher orang tersebut.” (Diriwayatkan oleh Muslim dari hadits Abdullah bin Amr bin Al-Ashr).