Kaidah ketiga, sifat Allah terbagi menjadi: sifat tsubutiyah dan sifat salbiyah

Sifat tsubutiyah adalah sifat yang ditetapkan oleh Allah Ta’ala untuk diriNya di al-Qur`an atau melalui sabda Rasulullah saw. Seluruhnya merupakan sifat-sifat kesempurnaan dari segala segi seperti al-Hayat, al-Qudrah, al-Istiwa`, an-Nuzul, al-Wajh dan lainnya.

Sifat-sifat ini wajib ditetapkan untuk Allah Ta’ala secara hakiki sesuai dengan kebesaranNya, karena Allah telah mengabarkan tentang diriNya dengan sifat-sifat tersebut, Dia lebih mengetahui, lebih benar perkataanNya dan lebih fasih penjelasanNya, dari sini wajib menerimanya tanpa keraguan karena keraguan hanya berasal dari berita di mana yang membawanya mungkin tidak tahu atau berdusta atau tidak mampu menjelaskan dan ketiga perkara ini tidak mungkin terjadi pada Allah Ta’ala.

Hal yang sama kita katakan terkait dengan apa yang dikabarkan oleh Rasulullah saw tentang sifat-sifat Allah Ta’ala, karena manusia paling mengetahui Allah Ta’ala adalah Nabi saw, paling benar beritanya, paling tulus menginginkan kebaikan dan paling mampu menjelaskan, maka wajib menerima berita Nabi saw terkait dengan sifat-sifat Allah.

Adapun sifat salbiyah maka ia adalah sifat yang Allah nafikan atau tiadakan dari diriNya di dalam al-Qur`an atau melalui sabda Rasulullah saw. Sifat-sifat ini adalah sifat-sifat kekurangan pada Allah dari segi apa pun seperti al-maut, an-naum, al-jahl, al’ajz (mati, tidur, bodoh dan lemah) dan lainnya.

Sifat-sifat ini wajib dinafikan dari Allah Ta’ala disertai penetapan terhadap lawannya secara sempurna, hal itu karena maksud dari apa yang Allah Ta’ala nafikan dari diriNya disamping penafiannya adalah penetapan terhadap kesempurnaan lawannya karena sekedar meniadakan tidak mengandung kesempurnaan kecuali jika ia mengandung penetapan terhadap kesempurnaan, sebab penafian berarti ketiadaan dan ketiadaan bukan sesuatu, alih-alih merupakan kesempurnaan.

Misalnya, firman Allah Ta’ala, “Dan bertawakallah kepada dzat Yang Mahahidup Yang tidak mati.â€‌ (Al-Furqan: 58). Allah menafikan kematian dari diriNya, hal ini berarti menetapkan lawannya yaitu kesempurnaan hidupNya.

Misal lain, firman Allah Ta’ala, “Dan Tuhanmu tidak menzhalimi seorang pun.â€‌ (Al-Kahfi: 49). Allah menafikan kezhaliman dari diriNya karena kesempurnaan keadilanNya.

Kaidah keempat, sifat-sifat tsubutiyah adalah sifat-sifat kesempurnaan, semakin banyak dan beragam petunjukknya semakin terlihat kesempurnaan pemiliknya secara nyata

Dari sini maka sifat-sifat tsubutiyah lebih banyak daripada sifat-sifat salbiyah.

Adapun sifat-sifat salbiyah maka biasanya ia tidak disebutkan kecuali dalam keadaan-keadaan ini:

1- Menjelaskan tentang keumuman kesempurnaan Allah Ta’ala, seperti dalam firman Allah Ta’ala, “Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia.â€‌ (Asy-Syura: 11).

2- Menafikan apa yang diklaim oleh orang-orang yang berdusta sebagaimana dalam firman Allah Ta’ala, “Karena mereka mendakwakan Allah yang Maha Pemurah mempunyai anak. Dan tidak layak bagi Tuhan yang Maha Pemurah mengambil (mempunyai) anak.â€‌ (Maryam: 91-92).

3- Menepis sangkaan terhadap kekurangan dari kesempurnaan Allah dalam perkara tertentu sebagaimana dalam firman Allah Ta’ala, “Dan Sesungguhnya telah Kami ciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya dalam enam masa dan Kami sedikit pun tidak ditimpa keletihan.â€‌ (Qaaf: 38).

Kaidah kelima, sifat tsubutiyah terbagi menjadi: sifat dzatiyah dan sifat fi’liyah

Sifat dzatiyah adalah sifat di mana Allah Ta’ala telah disifati dengannya dan senantiasa disifati dengannya seperti al-Ilm, al-Qudrah, as-Sam’u, al-Izzah, al-Hikmah, al-Uluw, al-Wajhu, al-Yadain dan al-Ainain (ilmu, mampu, pendengaran, keperkasaan, hikmah, ketinggian, wajah, dua tangan dan dua mata).

Sifat fi’liyah adalah sifat-sifat yang terkait dengan kehendakNya, jika Allah Ta’ala berkehendak maka Dia melakukannya, jika tidak maka tidak, seperti bersemayam di atas arasy dan nuzul (turun) ke langit terdekat.

Suatu sifat mungkin menjadi sifat dzatiyah dan fi’liyah dari dua sisi pertimbangan seperti al-Kalam (berbicara/berfirman). Dari sisi asalnya ia adalah sifat dzatiyah karena Allah Ta’ala telah disifati dengannya dan senantiasa disifati dengannya. Namun dari sisi satuan kalam (pembicaraan) ia adalah sifat fi’liyah karena kalam terkait dengan kehendakNya, Allah berfirman kapan Dia berkehendak dengan apa Dia berkehendak.

Semua sifat yang berkaitan dengan kehendakNya maka ia menginduk kepada hikmahNya dan hikmah ini terkadang kita ketahui dan terkadang tidak karena keterbatasan kita, namun kita tetap yakin bahwa Allah tidak menghendaki sesuatu kecuali ia sejalan dengan hikmahNya sebagaimana hal ini Allah tetapkan dalam firmanNya, “ Dan kamu tidak mampu (menempuh jalan itu) kecuali bila dikehendaki Allah. Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.â€‌ (Al-Insan: 30).

Dari al-Qawa’id al-Mutsla, Ibnu Utsaimin.