Kaidah keenam, harus menghindari dua kesalahan besar dalam menetapkan sifat, yaitu tamtsil dan takyif

Tamtsil, yaitu meyakini bahwa sifat-sifat Allah Ta’ala sama dengan atau semisal atau sejenis dengan sifat-sifat makhluk. Keyakinan ini batil berdasarkan dalil sam’i dan aqli.

Allah Ta’ala berfirman, “Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia.â€‌ (Asy-Syura: 11). Allah Ta’ala berfirman, “Dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia.” (Al-Ikhlas: 4).

Dari sisi akal, sudah dimaklumi bahwa di antara Khalik dengan makhluk terdapat perbedaan dalam dzat, hal ini menuntut adanya perbedaan dalam sifat, karena sifat setiap pemilik sifat sesuai dengannya, kekuatan unta tidak sama dengan kekuatan sapi dan begitu seterusnya meskipun keduanya disifati dengan kekuatan.

Di samping itu, Khalik Mahasempurna dari segala segi sementara makhluk sebaliknya, bagaimana mungkin sifat keduanya sejenis dan sama?

Takyif adalah membagaimanakan sifat-sifat Allah, misalnya dia berkata, “Tangan Allah adalah begini dan begini. Wajah Allah begini dan begini.â€‌

Keyakinan ini adalah batil berdasarkan dalil sam’i dan aqli. Allah Ta’ala berfirman, “Sedang ilmu mereka tidak dapat meliputiNya.â€‌(Thaha: 110). Allah Ta’ala berfirman, “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.â€‌ (Al-Isra`: 36). Sudah dimaklumi bahwa kita tidak mempunyai pengetahuan tentang bagaimana sifat Allah Ta’ala, karena Allah Ta’ala hanya mengabarkan kepada kita tentangnya dan tidak bagaimananya, sehingga kalau kita membagaimanakan maka kita telah mengikuti apa yang kita tidak memiliki ilmu padanya.

Dari sisi akal, bagaimana sifat sesuatu hanya mungkin diketahui setelah mengetahui bagaimana dzatnya atau mengetahui padanannya yang setara dengannya atau melalui berita yang benar tentangnya dan semua jalan ini tertutup dalam mengetahui bagaimana sifat-sifat Allah Ta’ala.

Dari sini maka ketika Imam Malik ditanya tentang firman Allah Ta’ala, “Tuhan yang Maha Pemurah yang bersemayam di atas ‘Arsy.â€‌ (Thaha: 5), bagaimana Allah Ta’ala istawa? Malik menjawab setelahnya sebelumnya dia menunduk dan tubuhnya berkeringat, “Istiwa` diketahui, bagaimananya tidak terjangkau akal, beriman kepadanya wajib dan bertanya tentangnya adalah bid’ah.â€‌

Kaidah ketujuh, sifat Allah tauqifiyah, akal tidak berperan di dalamnya

Tidak patut menetapkan sifat tertentu bagi Allah Ta’ala kecuali sifat yang ditetapkan oleh al-Qur`an dan sunnah. Imam Ahmad berkata, “Allah tidak disifati kecuali dengan apa di mana Dia menyifati diriNya dengannya atau rasulNya menyifatiNya dengannya, tidak patut melampaui al-Qur`an dan hadits.â€‌

Petunjuk al-Qur`an dan sunnah atas suatu sifat terbagi menjadi tiga segi:

Pertama, al-Qur`an dan sunnah menyatakan secara langsung dan jelas bahwa ia merupakan sifat Allah seperti al-Izzah, al-Quwwah, ar-Rahmah, al-Wajhu, al-Yadain dan lain-lainnya.

Kedua, sifat tersebut dikandung oleh nama Allah, misalnya nama al-Ghafur mengandung sifat al-Maghfirah, as-Sami’ mengandung sifat as-Sam’u dan seterusnya. (Lihat kaidah ketiga dalam nama-nama Allah).

Ketiga, al-Qur`an dan sunnah menetapkan sebuah perbuatan bagi Allah seperti istiwa` (bersemayam) di atas Arasy, an-Nuzul (turun) ke langit terdekat dan al-Maji` (datang) pada Hari Kiamat untuk memberikan keputusan di antara manusia. Wallahu a’lam.

Dari al-Qawa’id al-Mutsla, Ibnu Utsaimin.