RUQYAH DAN TAMIMAH

A. Ruqyah

الرُّقَى adalah jama’ dari رُقْيَـةٌ artinya mantera atau jampi-jampi yang digunakan untuk mengobati orang yang terkena musibah, misalnya orang terkena penyakit panas, kemasukan jin atau musibah lainya. Ruqyah juga disebut azimah, terdiri atas dua macam: Yang bebas dari unsur syirik dan yang tidak lepas dari unsur syirik.

Pertama, ruqyah yang bebas dari unsur syirik

Yaitu dengan membacakan kepada si sakit sebagian ayat-ayat al-Qur’an atau dimohonkan perlindungan untuknya dengan Asma’ dan sifat Allah Subhanahu waTa’ala. Hal ini dibolehkan, karena Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam telah meruqyah (menjampi) dan beliau memerintahkan untuk meruqyah serta membolehkannya.

Dari Auf bin Malik radiyallaahu ‘anhu ia berkata, “Kami diruqyah ketika masa Jahiliyah, lalu kami tanyakan, ‘Wahai Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bagaimana pendapat baginda tentang hal itu?’ Maka beliau bersabda,

اعْرِضُوا عَلَيَّ رُقَاكُمْ لاَ بَأْسَ بِالرُّقَى مَالَمْ تَكُنْ فِيْهِ شِرْكٌ

“Perlihatkanlah ruqyah kalian kepadaku, tidak mengapa ruqyah selama tidak mengandung syirik.” (HR. Muslim).

As-Suyuthi berkata, “Para ulama sepakat tentang dibolehkannya ruqyah bila memenuhi tiga syarat.
Pertama, hendaknya dilakukan dengan kalamullah (al-Qur’an) atau dengan Asma’ dan sifatNya.
Kedua, hendaknya dengan bahasa Arab atau yang diketahui maknanya.
Ketiga, hendaknya di yakini bahwa ruqyah tersebut tidak terpengaruh dengan sendirinya, tetapi dengan takdir Allah Subhanahu waTa’ala.(1)

Caranya, hendaknya dibacakan kemudian dihembuskan kepada si sakit, atau dibacakan di air kemudian air itu diminumkan kepada si sakit, sebagaimana disebutkan dalam hadits Tsabit bin Qais.

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَخَذَ تُرَابًا مِنْ بَطْحَانَ فَجَعَلَهُ فِيْ قَدَحٍ ثُمَّ نَفَثَ عَلَيْهِ بِمَاءٍ وَصَبَّهُ عَلَيْهِ.

“Bahwasanya Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam mengambil tanah dari lembah Bathhan lalu diletakkannya di gelas, kemudian beliau menyemburkan air padanya (orang yang sakit) dan menuangkannya di atasnya.” (HR. Abu Daud).

Kedua, ruqyah yang tidak lepas dari unsur syirik

Ruqyah jenis ini di dalamnya terdapat permohonan pertolongan kepada selain Allah Subhanahu waTa’ala, yaitu dengan berdoa kepada selain Allah Subhanahu waTa’ala, meminta pertolongan dan berlindung kepadanya, misalnya meruqyah dengan nama-nama jin, atau nama-nama malaikat para nabi dan orang-orang shalih. Hal ini termasuk berdoa kepada selain Allah Subhanahu waTa’ala, dan ia adalah syirik besar. Termasuk ruqyah jenis ini adalah yang dilakukan dengan selain bahasa Arab atau yang tidak dipahami maknanya, sebab ditakutkan akan kemasukan unsur kekufuran atau kesyirikan sedang ia tidak mengetahuinya. Ruqyah jenis ini adalah ruqyah yang dilarang.

B. Tamimah

التّمَائِمُ adalah jama’ dari تَمِيْمَـةٌ yaitu sesuatu yang dikalungkan di leher anak-anak sebagai penangkal penyakit ‘ain (kena mata), dan terkadang juga dikalungkan pada leher orang-orang dewasa dan wanita.

Tamimah ada dua macam: Tamimah dari al-Qur’an dan tamimah selain dari al-Qur’an.

Pertama, Tamimah dari al-Qur’an
Yakni dengan menuliskan ayat-ayat al-Qur’an atau Asma’ dan Sifat Allah Subhanahu waTa’ala kemudian dikalungkan di leher untuk memohon kesembuhan dengan perantaraannya. Para ulama berbeda pendapat tentang hukum mengalungkan Tamimah jenis ini dalam dua pendapat.

Pendapat pertama, ia dibolehkan. Ini adalah pendapat sekelompok sahabat, di antaranya Abdullah bin ‘Amr bin al-Ash radiyallaahu ‘anhu. Ini pulalah makna tekstual apa yang diriwayatkan Aisyah. Pendapat ini juga dikemukakan oleh Abu Ja’far al-Baqir dan Ahmad bin Hanbal , menurut salah satu riwayat dari beliau. Mereka mengkhususkan hadits yang melarang mengalungkan tamimah pada tamimah yang di dalamnya terdapat syirik.

Pendapat kedua, ia dilarang. Pendapat ini juga dikemukakan oleh sekelompok sahabat, di antaranya adalah Ibnu Mas’ud dan Ibnu Abbas radiyallaahu ‘anhumaa. Ini pulalah pendapat Hudzaifah, Uqbah bin Amir dan Ibnu Ukaim. Sekelompok tabi’in juga menguatkan pendapat ini, di antaranya para sahabat Ibnu Mas’ud radiyallaahu ‘anhu dan Ahmad rahimahullaah dalam suatu riwayat yang kemudian dipilih oleh sebagian besar pengikutnya dan para ulama muta’akhkhirin memastikan pendapat ini dengan mendasarkan pada riwayat Ibnu Mas’ud radiyallaahu ‘anhu , ia berkata,

سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ إِنَّ الرُّقَى وَالتَّمَائِمَ وَالتِّوَلَةَ شِرْكٌ.

“Aku mendengar Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Sesungguhnya ruqyah, tamimah dan tiwalah (pelet) adalah syirik.” (HR. Ahmad, Abu Daud, Ibnu Majah dan al-Hakim).

Pendapat kedua adalah yang benar karena tiga alasan:

1. Keumuman larangan Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam , serta tak ada dalil yang menghususkanya.
2. Untuk tindakan prefentif, karena hal itu menyebabkan dikalungkannya sesuatu yang tidak dibolehkan.

3. Bahwasanya jika ia mengalungkan sesuatu dari ayat al-Qur’an maka hal itu menyebabkan pemakaiannya menghinakan, misalnya dengan membawanya waktu buang hajat, istinja'(1) atau lainnya.(2)

Kedua, Tamimah selain dari al-Qur’an.

Tamimah jenis ini biasanya dikalungkan pada leher seseorang, seperti tulang, rumah kerang, benang, sandal, paku, nama-nama setan dan jin serta jimat. Tak diragukan lagi bahwa ini adalah diharamkan dan termasuk syirik, sebab menggantungkan kepada selain Allah, Asma’, sifat dan ayat-ayatNya.

Kewajiban setiap Muslim adalah menjaga akidahnya dari sesuatu yang akan merusaknya atau mengurangi kesempurnaannya. Karena itu hendaknya ia tidak mengkonsumsi obat-obatan yang tidak diperbolehkan, tidak pergi kepada orang-orang yang sesat dan tukang sulap untuk mengobati penyakit-penyakit mereka, sebab justru mereka itu yang menyebabkan sakitnya hati dan akidahnya. Dan barangsiapa bertawakal kepada Allah Subhanahu waTa’ala, niscaya cukuplah baginya.
Sebagian orang ada yang menggantungkan berbagai hal tersebut pada dirinya, sementara ia tidak dalam keadaan sakit. Ia hanyalah sakit ilusi yakni ketakutan terhadap orang yang iri hati dan dengki. Atau ia menggantungkan berbagai hal tersebut di mobil, kendaraan, pintu rumah dan tokonya. Semua ini merupakan bukti kelemahan akidah serta tawakalnya kepada Allah Subhanahu waTa’ala. Sungguh, kelemahan akidah itulah hakikat sakit yang sesungguhnya yang wajib diobati dengan mengetahui tauhid dan akidah yang benar.