KEWAJIBAN MENCINTAI DAN MENGAGUNGKAN RASUL DAN LARANGAN BERLEBIH-LEBIHANDALAM MEMUJINYA SERTA PENJELASAN TENTANG KEDUDUKAN BELIAU shallallaahu ‘alaihi wasallam

A. Kewajiban Mencintai dan Mengagungkan Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam.

Pertama-tama, wajib bagi setiap hamba mencintai Allah ’Azza wazalla, dan ini merupakan bentuk ibadah yang paling agung. Allah Subhanahu waTa’ala berfirman,

Artinya:”Dan orang-orang yang beriman sangat cinta kepada Allah.” (Al-Baqarah: 165).
Karena Dia Subhanahu waTa’ala adalah Rabb yang memberi anugerah kepada segenap hambaNya dengan berbagai nikmat, baik lahir maupun batin. Selanjutnya, setelah mencintai Allah Subhanahu waTa’ala , kita wajib mencintai RasulNya, Muhammad shallallaahu ‘alaihi wasallam, sebab beliau adalah orang yang menyeru kepada Allah Subhanahu waTa’ala , yang mengenalkan kepadaNya, yang menyampaikan syariatNya dan yang menjelaskan hukum-hukum-Nya. Karena itu, kebaikan yang diperoleh kaum mukminin, baik dunia maupun akhirat, adalah dari usaha Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam. Dan tidaklah seseorang masuk Surga, kecuali dengan menaati dan mengikutinya shallallaahu ‘alaihi wasallam. Dalam suatu hadits disebutkan,

ثَلاَثٌ مَنْ كُنَّ فِيْهِ وَجَدَ حَلاَوَةَ اْلإِيْمَانِ؛ أَنْ يَكُوْنَ اللّٰهُ وَرَسُوْلُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا، وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لاَ يُحِبُّهُ إِلَّا لِلّٰهِ، وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُوْدَ فِيْ الْكُفْرِ بَعْدَ أَنْ أَنْقَذَهُ اللّٰهُ مِنْهُ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِي النَّار.ِ

“Ada tiga perkara yang jika seseorang memilikinya akan merasakan manisnya iman, yaitu bila Allah dan RasulNya lebih ia cintai daripada selain keduanya, dan tidak mencintai seseorang kecuali karena Allah serta benci kembali kepada kekufuran setelah Allah menyelamatkan daripadanya, sebagaimana ia benci untuk dilemparkan ke neraka.” (Muttafaq ‘alaih).
Maka, mencintai Rasul shallallaahu ‘alaihi wasallam berarti mencintai Allah ’Azza waJalla, bahkan suatu keharusan dalam mencintai Allah Subhanahu waTa’ala serta ia memiliki kedudukan kedua setelah mencintaiNya. Dan Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam telah menyampaikan perlunya kecintaan secara khusus kepada beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam dan wajibnya mendahulukan kecintaan kepadanya dari pada kecintaan kecintaan kepada yang lain selain Allah Subhanahu waTa’ala , beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda,

لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُوْنَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَلَدِهِ وَوَالِدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِيْنَ.

“Tidaklah sempurna iman dari salah seorang dari kalian sampai aku lebih ia cintai daripada anaknya, orang tuanya dan segenap manusia.” (Muttafaq ‘alaih).
Bahkan terdapat hadis yang menyatakan tentang wajibnya setiap mukmin untuk lebih mencintai Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam dari pada mencintai dirinya sendiri.

أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ قَالَ: يَا رَسُوْلَ اللّٰهِ لأَنْتَ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ إِلاَّ مِنْ نَفْسِي، فَقَالَ: وَالَّذِيْ نَفْسِيْ بِيَدِهِ حَتَّى أَكُوْنَ أَحَبَّ إِلَيْكَ مِنْ نَفْسِكَ، فَقَالَ لَهُ عُمَرُ: فَإِنَّكَ اْلآنَ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ نَفْسِيْ، فَقَالَ: اْلآنَ يَا عُمَرُ.

“Bahwasanya Umar bin al-Khaththab radiyallaahu ‘anhu, berkata, ‘Wahai Rasulullah, sungguh engkau adalah orang yang lebih aku cintai dari segala sesuatu kecuali dari diriku sendiri.’ Maka Nabi bersabda, ‘Demi Allah yang jiwaku ada di tanganNya, (tidaklah sempurna imanmu) sehingga aku lebih engkau cintai daripada dirimu sendiri.’ Lalu Umar berkata kepada Nabi, ‘Sesungguhnya engkau (wahai Rasulullah), kini menjadi orang yang lebih aku cintai daripada diriku sendiri.’ Maka Nabi bersabda, ‘Sekarang (telah benar engkau) wahai Umar’.” (HR. al-Bukhari).

Berdasarkan hadits di atas, maka mencintai Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam, adalah wajib dan harus didahulukan daripada kecintaan kepada segala sesuatu selain kecintaan kepada Allah Subhanahu waTa’ala , sebab mencintai Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam, adalah mengikuti sekaligus keharusan dalam mencintai Allah Subhanahu waTa’ala. Mencintai Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam, adalah cinta karena Allah Subhanahu waTa’ala . Ia bertambah dengan bertambahnya kecintaan kepada Allah Subhanahu waTa’ala dalam hati seorang mukmin, dan berkurang dengan berkurangnya kecintaan kepada Allah Subhanahu waTa’ala . Dan setiap orang yang mencintai karena Allah Subhanahu waTa’ala , maka sesungguhnya dia mencintai karenaNya dan untukNya.

Mencintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengharuskan adanya pengagungan, ketundukan dan keteladanan kepada beliau serta mendahulukan sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam atas segala ucapan makhluk, serta mengagungkan sunnah-sunnahnya.

Al-Allamah Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Setiap kecintaan dan pengagungan kepada manusia hanya dibolehkan untuk mengikuti kecintaan dan pengagungan kepada Allah Subhanahu waTa’ala . seperti mencintai dan mengagungkan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam, sesungguhnya ia adalah penyempurna kecintaan dan pengagungan kepada Dzat yang mengutusnya. Umatnya mencintai beliau shallallaahu ‘alaihi wasall karena Allah Subhanahu waTa’ala mencintainya, dan mereka mengagungkan serta memuliakan beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam karena Allah Subhanahu waTa’ala memuliakannya. Maka ia adalah kecintaan karena Allah Subhanahu waTa’ala , sehingga ia termasuk konsekuensi dalam kecintaan Allah Subhanahu waTa’ala .”

Maksudnya, bahwa Allah Subhanahu waTa’ala meletakkan kewibawaan dan kecintaan kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam karena itu, tidak ada manusia pun yang lebih dicintai dan disegani dalam hati para sahabat radiyallaahu ‘anhum kecuali Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam.
‘Amr bin al-‘Ash radiyallaahu ‘anhu setelah masuk Islam berkata, “Sesungguhnya tidak ada seorang manusia pun yang lebih aku benci dari pada Muhammad shallallaahu ‘alaihi wasallam.” Namun setelah ia masuk Islam, tidak ada seorang manusia pun yang lebih ia cintai dan lebih ia agungkan dari pada Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam. Ia mengatakan, “Seandainya saya diminta agar menggambarkan pribadi beliau kepada kalian, tentu saya tidak mampu melakukannya, sebab saya tidak pernah menajamkan pandanganku kepada beliau sebagai pengagungan kepada beliau.”

‘Urwah bin Mas’ud radiyallaahu ‘anhu berkata kepada kaum Quraisy, “Wahai kaumku, demi Allah, aku telah diutus ke Kisra, Kaisar dan raja-raja, namun aku tidak pernah melihat seorang raja yang diagungkan oleh segenap rakyatnya seperti pengagungan para sahabat Muhammad shallallaahu ‘alaihi wasallam terhadap Muhammad shallallaahu ‘alaihi wasallam . Demi Allah, mereka tidak memandang tajam kepadanya sebagai bentuk pengagungan kepada beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam , serta tidaklah beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam , berdahak kecuali di tadah telapak tangan salah seorang dari mereka, kemudian ia dilumurkan pada wajah dan dadanya. Lalu bila beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam berwudhu, maka mereka hampir saja berbunuh-bunuhan karena berebut bekas air wudhunya.”

B. Larangan Ghuluw dan Berlebih-lebihan dalam Memuji

Ghuluw artinya, melampaui batas. Dikatakan غَلاَ غُـلُوًّا jika ia melampaui batas dalam ukuran. Allah Subhanahu waTa’ala berfirman,

Artinya:”Janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu.” (An-Nisa: 171).

Sedangkan ithra’ artinya melampaui batas (berlebih-lebihan) dalam memuji serta berbohong karenanya. Dan yang dimaksud dengan ghuluw dalam hak Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam adalah melampaui batas dalam menyanjungnya, sehingga mengangkatnya di atas derajat sebagai hamba dan Rasul Allah Subhanahu waTa’ala , menisbatkan kepadanya sebagian dari sifat-sifat ilahiyah. Hal itu misalnya dengan memohon dan meminta pertolongan kepada beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam, bersumpah dengan nama beliau, sebagai bentuk ubudiyah kepada selain Allah Subhanahu waTa’ala .

Dan yang dimaksud dengan ithra dalam hak Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam, beliau telah melarang hal tersebut dengan sabdanya,

لاَ تُطْرُوْنِيْ كَمَا أَطْرَتِ النَّصَارَى ابْنَ مَرْيَمَ، إِنَّمَا أَنَا عَبْدٌ، فَقُوْلُوْا عَبْدُ اللَّهِ وَرَسُوْلُهُ.

“Janganlah kalian berlebih-lebihan memujiku, sebagaimana orang-orang Nasrani telah berlebih-lebihan memuji (Isa) putera Maryam. Aku hanyalah seorang hamba, maka katakanlah, ‘Abdullah wa Rasuluh (hamba Allah dan RasulNya)’.” (Muttafaq ‘alaih).

Dengan kata lain, janganlah kalian memujiku secara batil dan janganlah kalian berlebih-lebihan dalam memujiku. Hal itu sebagaimana telah dilakukan oleh orang-orang Nashrani terhadap Isa ’Alaihissalam, sehingga mereka menganggapnya memiliki sifat ilahiyah. Karenanya, sifatilah aku sebagaimana Rabbku memberi sifat kepadaku. Maka katakanlah, hamba Allah Subhanahu waTa’ala dan RasulNya shallallaahu ‘alaihi wasallam.
Ketika sebagian sahabat radiyallaahu ‘anhum berkata kepada beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam, “Engkau adalah sayyid (penghulu) kami ” Spontan Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam menjawab,

السَّيِّدُ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى

“Sayyid (penghulu) itu adalah Allah Yang Mahasuci lagi Mahatinggi.” (HR. Abu Daud).

Demikian pula ketika mereka mengatakan, “Dan engkau adalah orang yang paling utama dan paling agung kebaikannya “ Serta merta beliau shallallaahu ‘alaihi wasallama mengatakan,

قُوْلُوْا بِقَوْلِكُمْ أَوْ بَعْضِ قَوْلِكُمْ، وَلَا يَسْتَجْرِيَنَّكُمُ الشَّيْطَانُ

“Katakanlah sesuai dengan apa yang biasa kalian katakan, atau seperti sebagian ucapan kalian dan janganlah sampai kalian terseret oleh syetan.” (HR. Abu Daud dengan sanad jayyid).

Sebagian orang berkata kepada beliau, “Wahai Rasulullah! Wahai orang yang terbaik di antara kami dan putera orang yang terbaik di antara kami! Wahai sayyid (penghulu) kami dan putera penghulu kami!” Maka seketika Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda,

يَا أَيُّهَا النَّاسُ قُوْلُوْا بِقَوْلِكُمْ وَلاَ يَسْتَهْوِيَنَّكُمُ الشَّيْطَانُ، أَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ عَبْدُاللَّهِ وَرَسُوْلُهُ، مَا أُحِبُّ أَنْ تَرْفَعُوْنِيْ فَوْقَ مَنْزِلَتِيْ الَّتِيْ أَنْزَلَنِيَ اللَّهُ.

“Wahai manusia, ucapkanlah dengan ucapan (yang biasa) kalian ucapkan! Jangan kalian terbujuk oleh syetan! Aku (tak lebih) adalah Muhammad bin Abdullah, hamba Allah dan Rasul-Nya. Aku tak suka kalian menyanjungku di atas derajat yang Allah berikan kepadaku.” (HR. Ahmad dan an-Nasa’i).

Beliau shallallaahu ‘alaihi wasalla membenci jika orang-orang memujinya dengan berbagai ungkapan seperti, ‘Engkau adalah sayyidku, engkau adalah orang yang terbaik di antara kami, engkau adalah orang yang paling utama di antara kami, engkau adalah orang yang paling agung di antara kami.’ Padahal sesungguhnya beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam adalah makhluk yang paling utama dan paling mulia secara mutlak. Meskipun demikian, beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam melarang mereka agar menjauhkan mereka dari sikap melampaui batas dan berlebih-lebihan dalam menyanjung hak beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam, juga untuk menjaga kemurnian tauhid. Selanjutnya beliau mengarahkan mereka agar menyifati beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam dengan dua sifat yang merupakan derajat paling tinggi bagi hamba, di dalamnya tidak ada ghuluw serta tidak membahayakan akidah. Dua sifat itu adalah Abdullah wa Rasuluh (hamba Allah dan RasulNya). Dan beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam tidak suka disanjung lebih dari apa yang Allah Subhanahu waTa’ala berikan dan Allah Subhanahu waTa’ala ridhai. Tetapi banyak manusia yang melanggar larangan Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam tersebut, sehingga mereka berdoa kepadanya, meminta pertolongan kepadanya, bersumpah dengan namanya serta meminta kepadanya sesuatu yang tidak boleh diminta kecuali kepada Allah Subhanahu waTa’ala . hal itu sebagaimana dilakukan ketika peringatan maulid Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam, dalam kasidah atau nasyid (nyanyian-nyanyian, di mana mereka tidak membedakan antara hak Allah Subhanahu waTa’ala dengan hak Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam.

Al-Allamah Ibnul Qayyim al-Jauziyah dalam kasidah nuniyahnya berkata,

للَّه حَقٌّ لاَ يَكُـوْنُ لِغَـيْرِهِ وَلِعَبْدِهِ حَقٌّ هُمَا حَقَّانِ
لاَ تَجْعَلُوْا الْحَقَّيْنِ حَقَّا وَاحِدًا مِنْ غَيْرِ تَمْيِيْزٍ وَلاَ فُرْقَانِ

“Allah memiliki hak yang tidak dimiliki selainNya dan bagi hamba juga ada haknya, ia adalah dua hak (yang berbeda).
Maka jangan jadikan dua hak itu sebagai satu hak, tanpa memisahkan dan membedakannya.”

C. Penjelasan Tentang Kedudukan Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam

Dibolehkan memberi penjelasan tentang kedudukan Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam dengan memujinya sebagaimana pujian yang diberikan Allah Subhanahu waTa’ala , serta mengingatkan kedudukan beliau shallallaahu ‘alaihi wasallamnyang Allah Subhanahu waTa’ala karuniakan kepadanya dan meyakini hal tersebut. Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam memiliki kedudukan yang tinggi. Beliau adalah hamba Allah Subhanahu waTa’ala , RasulNya dan orang pilihanNya di antara segenap makhlukNya, bahkan beliau adalah makhluk yang paling mulia secara mutlak. Beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam adalah utusan Allah Subhanahu waTa’ala segenap manusia, kepada seluruh golongan jin dan manusia. Beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam adalah Rasul yang paling mulia dan penutup para nabi, tidak ada lagi nabi sesudah beliau. Allah telah melapangkan dadanya, meninggikan sebutan untuknya serta menjadikan rendah dan hina orang yang melanggar perintahnya. Beliaulah orang yang memiliki kedudukan mulia sebagaimana firman Allah Subhanahu waTa’ala ,

Artinya:”Mudah-mudahan Tuhanmu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji.” (Al-Isra’:79).
Maksudnya, kedudukan yang diberikan Allah Subhanahu waTa’ala berupa pemberian syafaat kepada manusia pada Hari Kiamat, sehingga Allah Subhanahu waTa’ala meringankan mereka dari beratnya mauqif. Kedudukan tersebut hanya khusus diberikan kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam, tidak kepada nabi-nabi yang lain. Dan beliau adalah makhluk yang paling takut dan bertakwa kepada Allah Subhanahu waTa’ala . Allah Subhanahu waTa’ala melarang meninggikan suara di hadapan beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam dan memuji orang-orang yang merendahkan suara di hadapan beliau. Allah Subhanahu waTa’ala berfirman,

Artinya:”Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu lebih dari suara Nabi, dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara keras sebagaimana kerasnya (suara) sebagian yang lain, supaya tidak hapus (pahala) amalanmu sedangkan kamu tidak menyadari. Sesungguhnya orang-orang yang merendahkan suaranya disisi Rasulullah mereka itulah orang-orang yang telah diuji hati mereka oleh Allah untuk bertakwa. Bagi mereka ampunan dan pahala yang besar. Sesungguhnya orang-orang yang memanggil kamu dari luar kamar(mu) kebanyakan mereka tidak mengerti. Dan kalau sekiranya mereka bersabar sampai kamu keluar menemui mereka, sesungguhnya itu adalah lebih baik bagi mereka, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Al- Huju-rat: 2-5).

Sebagaimana Allah Subhanahu waTa’ala juga memanggil beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam dengan ungkapan يا أَيُّهَا النَّبِيُّ، يَا أَيُّهَا الرَّسُوْلُ(wahai Nabi, wahai Rasul). Dan Allah Subhanahu waTa’ala serta para malaikatNya telah bershalawat kepada beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam, serta memerintahkan para hambaNya agar mengucapkan shalawat dan taslim kepada beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam, sebagaimana firmanNya,

artinya:”Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikatNya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.” (Al-Ahzab: 56).
Tetapi tidak dibenarkan mengkhususkan waktu dan cara tertentu dalam memuji beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam kecuali berdasarkan dalil shahih dari al-Qur’an dan as-Sunnah.

Termasuk mengagungkan beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam adalah mengagungkan sunnahnya dan keyakinan tentang wajibnya mengamalkan sunnah tersebut, dan bahwa ia menduduki kedudukan kedua setelah al-Qur’anul Karim dalam hal kewajiban mengagungkan dan mengamalkannya, sebab ia merupakan wahyu dari Allah Subhanahu waTa’ala , sebagaimana firmanNya,

Artinya:”Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (An-Najm: 3-4).

Karena itu tidak boleh membuat keraguraguan di dalamnya, apalagi melecehkannya. Dan tidak boleh membicarakan tentang keshahihan atau kedhaifannya, baik dari segi jalan, sanad atau penjelasan maknamaknanya kecuali berdasarkan ilmu dan kehati-hatian. Pada zaman ini banyak orang-orang bodoh yang melecehkan sunnah Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam, terutama dari kalangan anak-anak muda yang baru pada tahap awal belajar. Mereka dengan mudahnya menshahihkan atau mendhaifkan hadits-hadits, dan menilai cacat kepada para perawi tanpa ilmu kecuali dari membaca buku-buku. Sungguh hal tersebut berbahaya bagi mereka dan umat. Karena itu hendaknya mereka bertakwa kepada Allah Subhanahu waTa’ala dan menahan diri pada batasnya.