ds7. Membaca dengan merdu dan diulang-ulang serta banyak melakukan reff. Masalah ini telah dibahas secara tuntas oleh Ibnul Qayim. Setelah menguraikan alasan-alasan yang dikemukakan oleh kelompok yang menolak dan kelompok yang membolehkan, Ibnul Qayyim berkata, “Menengahi pertentangan antara keduanya, maka saya katakan: Melagukan dalam membaca dan memerdukan suara dapat ditinjau dari dua segi:

Pertama, dibaca secara alami, tanpa dibuat-buat, tanpa latihan dan tanpa didapat dari pelajaran. Jika memang secara alami telah terbentuk secara demikian maka hal itu dibolehkan. Sedangkan apabila bacaan alaminya ditambah dengan tujuan agar menjadi lebih baik, maka seperti ungkapan Abu Musa al-Asy’ari kepada Rasulullahshallallahu ‘alaihi wasallam, “Jika saja aku mengetahui bahwa engkau mendengarkan niscaya aku akan persembahkan kepadamu.”

Kedua, dibaca dengan dibuat-dibuat, keluar dari tabiatnya, terbebani, tidak alami dan diperoleh secara latihan dan belajar. Seperti misalnya, melatih lagu dengan berbagai macam bentuknya, nada-nada tertentu dan wadzan-wadzan yang sengaja dibuat. Semua itu tidak dapat dilakukan melainkan dengan cara belajar dan tentu menjadi beban. Hal inilah yang sangat tidak disenangi oleh para ulama salaf shalih, dan mereka cela, dilarang membaca demikian dan mengingkari orang yang membaca dengan cara yang demikian. Dalil-dalil yang dikemukakan pada jenis ini menunjukkan akan hal di atas. Uraian ini dapat menghilangkan keraguan dan menunjukkan yang benar.

Siapa pun yang mengetahui keadaan para ulama salaf, tentu mengetahui bahwa mereka sama sekali tidak pernah melakukan bacaan dengan nada lagu yang dibuat-dibuat. Yaitu nada yang harakatnya disesuaikan dengan wadzan. Mereka adalah orang-orang yang paling takut kepada Allah dari perbuatan membaca dengan cara-cara seperti itu. Di samping itu, tentu juga akan mengetahui bahwa para salaf shalih membaca al-Qur`an dengan ekspresi sedih. Mereka memperindah suara dengan al-Qur`an, membaca ayatnya dengan bersahaja, terkadang dengan suara naik dan turun, dan juga dengan suara yang mengandung kerinduan kepada Allah. Cara yang demikian ini amat cocok dengan tabiat mereka sendiri, dan syari’at pun tidak melarang seseorang untuk membaca sesuai dengan tabiat. Bahkan syari’at menganjurkan demikian itu dan memberikan kabar bahwa Allah ta’ala mendengarkan orang yang membaca demikian. Ra-sulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَمْ يَتَغَنَّ بِالْقُرْآنِ.

“Tidak termasuk dari kita orang yang tidak membaca al-Qur`an dengan lagu.” Dalam hal ini terdapat dua pandangan; Pertama, sebagai kabar tentang kenyataan yang kita lakukan. Kedua, menafikan suatu petunjuk dari orang yang tidak mengikuti petunjuk dan cara yang dilakukan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.”

Perhatikanlah ucapan Ibnul Qayim, “Tanpa beban, latihan dan proses belajar”, menunjukkan akan pemahaman yang agung Ibnul Qayim. Semoga Allah merahmatinya atas pemahaman dan pandangannya yang mendalam.

Al-Hafidz adz-Dzahabi telah menguraikan secara tuntas tentang masalah ini, yang ditujukan kepada orang yang memiliki perasaan. Uraian ini sangat menarik sehingga diharapkan dapat dimanfaatkan oleh siapa saja yang dikehendaki Allah dari para hamba-Nya:

“Para qari` yang membaca dengan tajwid, seringkali menfasihkan bacaan dengan dibuat-buat dan tampak berlebihan, mengakibatkan perhatiannya terfokus kepada cara membaca saja, sehingga mengesampingkan tadabbur makna-makna kitab suci Allah, menghilangkan rasa khusyu’ dalam membaca dan menghilangkan kekuatan jiwa dengan alasan menjaga kitab Allah. Akibatnya, mereka melihat kaum muslimin dengan pandangan benci, memandang kaum muslimin banyak melakukan kesalahan baca dan bahwa para qari` hanya meng-hafal bacaan-bacaan yang syadz (asing). Lalu apa yang telah engkau ketahuhi dan engkau lakukan? Perbuatanmu tidaklah benar, sedangkan bacaanmu sangat berat, tidak didasari rasa cemas, sedih dan takut kepada Allah. Semoga Allah memberikan taufik, memberikan petun-juk dan menyadarkan kamu dari kebodohan dan perbuatan riya’.

Sebaliknya, terdapat para qari` yang membaca dengan cara melagukan dan mengulur-ulur bacaan. Di antara mereka ada yang membacanya dengan sepenuh hati dan rasa takut yang secara umum bermanfaat bagi mereka. Di antara mereka ada yang saya dapati bacaannya benar, nadanya datar dan menangis karena bacaannya. Ada pula yang jika membaca hatinya membeku, jiwanya kacau, mengganti ucapan, dan yang paling buruk adalah saat dalam keadaan berkabung di hadapan jenazah.

Adapun para qari` yang membaca dengan berdasarkan riwayat dan yang membaca secara bersama-sama, mereka itu sangat jauh dari rasa khusyu`, bacaannya pun jauh dari sasaran. Mereka hanya menonjolkan lafal-lafal hamzah dan memperjelas bacaan huruf lam dan meringankan bacaan huruf ra’.

Bacalah dengan benar, jauhkanlah cara membaca huruf lam, ra’ mad, pemberhentian pada huruf hamzah. Lalu kemana arah bacaan seperti ini?

Di antara mereka ada pula yang hadir jika saat khataman (bacaan dalam shalat), atau sedang membaca di dalam mihrab, ia membaca dengan cara-cara yang asing dan dengan rasa bangga ia seolah-olah berbicara kepada dirinya: Inilah aku, ketahuilah aku adalah orang yang menguasai tujuh qira`at.

Apa yang akan kami lakukan terhadapmu!, semoga Allah memberikan kebaikan bagimu (nada marah. pen). Tidakkah disadari, engkau adalah peluru meriam dan amunisi yang menusuk jantung!”

Adz-Dzahabi rahimahullah adalah seorang ulama yang menguasai al-Qur`an, ia mengetahui bacaan-bacaan mereka, maka berpeganglah kepadanya.

8. Membaca dengan cepat seperti membaca syair. Jika dilaku-kan dengan hard, yaitu membaca secara cepat sambil memperhatikan hukum-hukum bacaan dan sesuai dengan tabiat yang membaca tanpa beban, maka ini tidak termasuk dalam larangan, bahkan termasuk bacaan yang dianjurkan oleh syari’at.

9. Membaca dengan cepat.

10. Di antara cara membaca yang dilarang adalah membaca dengan cara at-Taqlis, yaitu dengan suara keras. Seperti misalnya, ungkapan Imam Syafi’i yang menjelaskan bacaan Abu Yusuf: “Abu Yusuf adalah orang yang bersuara keras dalam membaca. Tindakan ini akan membuat orang yang mendengarnya menutup kedua telinga dengan tangannya.”

11. Membaca secara bergiliran.Yaitu membaca al-Qur`an secara bersama-sama secara bergiliran dari ayat ke ayat, atau dari surat ke surat sampai selesai. Cara membaca seperti ini tidak berarti yang seperti itu yang dibenarkan dalam mempelajari al-Qur`an. Cara bergilir semacam ini adalah cara bid’ah lama yang dilarang oleh para Imam madzhab, seperti Imam Malik dan lain-lain. Demikian pula, telah banyak dikeluarkan fatwa dan risalah berkenaan dengan larangan ini.

12. Membaca al-Qur`an di atas menara masjid. Ibnul Jauzi berkata, “Iblis telah menyusup kepada orang-orang yang membaca al-Qur`an di menara masjid pada malam hari secara bersama dan dengan suara yang keras, satu atau dua juz, sehingga hal ini menyebabkan orang lain tidak dapat tidur, di samping juga menimbulkan rasa riya`. Di antara mereka ada juga yang membaca al-Qur`an pada waktu adzan, karena saat itu merupakan waktu berkumpulnya banyak orang di dalam masjid.”

13. Membaca al-Qur`an sambil merokok atau di tempat orang-orang yang sedang merokok, atau juga di tempat-tempat yang kotor, seperti di kamar mandi. Para ulama bereaksi keras terhadap per-buatan ini, bahkan sebagian ulama Mesir menulis risalah secara khusus tentang hal ini.

14. Membaca dan membacakan dengan qira`at yang syadz (rancu). Ibnul Jauzi rahimahullah berkata, “Iblis merasuki bacaan terhadap para qari` di antaranya: salah seorang di antara mereka sibuk dengan qira`at syadzah (rancu, asing) dan menghafalkannya, maka sebagian besar umurnya akan habis dalam mengumpulkan qira`at-qira`at itu, menyusun dan mengajarkannya kepada orang lain, serta menyibukkan diri mereka dari pengetahuan yang fardhu dan wajib. Aku pernah melihat seorang imam masjid yang memamerkan bacaan sehingga tidak mengetahui apa yang merusak shalat. Barangkali disebabkan oleh kecintaan akan menampilkan diri (sehingga tidak terlihat kebodohan dirinya) sehingga hal itu membuat dirinya enggan untuk duduk di depan para ulama dan mengambil ilmu dari mereka. Jika mau berpikir, ia akan mengetahui bahwa yang dimaksud membaca itu adalah memelihara al-Qur`an dan meluruskan lafal-lafalnya, kemudian memahaminya dan mengamalkannya, lalu dengan cara itu ia dapat memperbaiki jiwa, menyucikan akhlak. Kemudian menyibuk-kan diri terhadap hal-hal yang penting dari ilmu syari’at.

Hal lainnya yang sangat tercela adalah menyia-nyiakan waktu untuk perkara-perkara yang tidak penting. Hasan al-Bashri berkata, Al-Qur`an itu diturunkan untuk diamalkan; kemudian muncul orang-orang membacannya sebagai amalan. Maksudnya adalah mereka itu merasa cukup hanya membaca, akan tetapi tidak mengamalkan pesan-pesannya.”

15. Menggabungkan dua qira`at atau lebih dalam membaca satu ayat di dalam shalat, atau di luar waktu shalat di depan umum atau untuk tujuan pamer. Tidak termasuk dalam hal ini adalah memberikan keterangan pelajaran-pelajaran tafsir dan penjelasan bentuk-bentuk qira`at yang diberikan guru kepada murid-muridnya.

[Sumber: Dinukil dari kitab Tashhîh ad-Du’â`, karya Syaikh Bakar bin Abdullah Abu Zaid, edisi bahasa Indonesia: Koreksi Doa dan Zikir, pent. Darul Haq Jakarta]