Tujuan penyebutannya di sini ialah bersabar dan tabah atas kesedihan yang menimpa orang lain, serta bahwa musibah yang menimpa orang lain sangat sedikit dibandingkan sesuatu yang menimpa pada orang selainnya.

Abu al-Hasan al-Mada’ini berkata, “Penyakit-penyakit Tha’un yang masyhur dan paling besar dalam Islam ada lima: Tha’un Syirawaih di Madain pada masa Rasulullah[Shallallahu ‘alaihi wasallam] pada tahun keenam hijrah. Kemudian Tha’un ‘Amwas pada masa Umar bin al-Khaththab[radiyallahu ‘anhu], yang mewabah di Syam, yang menyebabkan 25 ribu orang mati di sana. Kemudian Tha’un pada zaman Ibnu az-Zubair pada bulan Syawwal tahun 69 yang menyebabkan kematian selama tiga hari, yang dalam setiap harinya 70 ribu orang mati. Pada saat itu 83 anak (dikatakan dalam riwayat yang lain, 73 anak) Anas bin Malik mati, dan 40 anak Abdurrahman bin Abi Bakrah mati. Kemudian Tha’un Fatayat pada Syawwal tahun 87. Kemudian Tha’un pada tahun 131 di bulan Rajab, dan semakin parah pada bulan Rama-dhan, dan terhitung di perkampungan al-Mirbad dalam setiap harinya terdapat seribu jenazah, kemudian mereda pada bulan Syawwal. Sementara Tha’un di Kufah terjadi pada tahun 50, di mana al-Mughirah bin Syu’bah meninggal.” Inilah akhir pernyataan al-Mada’ini.

Ibnu Qutaibah menyebutkan dalam kitabnya, al-Ma’arif dari al-Ashma’i tentang jumlah Tha’un yang mirip dengan hal ini, dan di dalamnya terdapat penambahan dan pengurangan. Ia mengatakan, “Disebut dengan Tha’un Fatayat, karena mula-mula ia me-nyerang para gadis di Bashrah, Wasith, Syam dan Kufah. Disebut juga Tha’un al-Asyraf, karena menyebabkan kematian banyak orang mulia.” Ia melanjutkan, “Tha’un sama sekali tidak pernah berjangkit di Madinah dan Makkah.”

Bab ini cukup luas. Apa yang kami sebutkan tadi untuk mengingatkan yang sengaja aku tinggalkan. Aku telah menyebut pasal ini secara lebih luas daripada ini di awal buku Syarah Shahih Muslim. Wabillahi at-Taufiq.

BAB BOLEH MEMBERITAHUKAN KEPADA PARA SAHABAT DAN KAUM KERABAT MAYIT TENTANG KEMATIANNYA, NAMUN DIMAKRUHKAN MENGUMUMKANNYA

Kami meriwayatkan dalam kitab at-Tirmidzi dan Ibnu Majah, dari Hudzai-fah[radiyallahu ‘anhu], ia mengatakan
,
إِذَا مُتُّ، فَلاَ تُؤْذِنُوْا بِيْ أَحَدًا، إِنِّيْ أَخَافُ أَنْ يَكُوْنَ نَعْيًا، فَإِنِّيْ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم يَنْهَى عَنِ النَّعْيِ.

“Jika aku mati, janganlah memberitahukan kepada seseorang tentang kematianku. Sesungguh-nya aku khawatir bila itu menjadi na’y (pengumuman kematian), karena aku mendengar Rasu-lullah[Shallallahu ‘alaihi wasallam] melarang na’y.” At-Tirmidzi menilai hadits ini hasan.

Kami meriwayatkan dalam kitab at-Tirmidzi, dari Abdullah bin Mas’ud[radiyallahu ‘anhu], dari Nabi[Shallallahu ‘alaihi wasallam], beliau bersabda,

إِيَّاكُمْ وَالنَّعْيَ، فَإِنَّ النَّعْيَ مِنْ عَمَلِ الْجَاهِلِيَّةِ.

“Jauhilah na’y; karena na’y merupakan perbuatan Jahiliyah.”

Dalam suatu riwayat, dari Abdullah, namun dia tidak menyatakannya marfu‘. At-Tirmidzi mengatakan, “Ini lebih shahih daripada yang marfu’. Namun, at-Tirmidzi mendhaifkan kedua riwayat tersebut (baik yang marfu‘ maupun yang mauquf).

Kami meriwayatkan dalam ash-Shahihain,

أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم ، نَعَى النَّجَاشِيَّ إِلَى أَصْحَابِهِ.

“Bahwa Rasulullah[Shallallahu ‘alaihi wasallam] mengumumkan kematian an-Najasyi kepada para sahabatnya.”

Kami meriwayatkan dalam ash-Shahihain,

أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه و سلم قَالَ فِيْ مَيِّتٍ دَفَنُوْهُ بِاللَّيْلِ وَلَمْ يَعْلَمْ بِهِ: أَفَلاَ كُنْتُمْ آذَنْتُمُوْنِيْ بِهِ؟

“Bahwa Nabi[Shallallahu ‘alaihi wasallam] mengatakan tentang mayit yang mereka kuburkan pada malam hari, semen-tara beliau tidak mengetahuinya, ‘Mengapa kalian tidak memberitahuku tentang kematiannya ?’.”

Para ulama muhaqqiqun dan mayoritas sahabat kami serta selain mereka berpendapat, “Dianjurkan memberitahukan kepada keluarga mayit, kerabatnya dan kawan-kawannya berdasarkan dua hadits ini. Mereka berpendapat bahwa na’y (mengumumkan kematian) yang dilarang hanyalah na’y model jahiliyah. Kebiasaan mereka ialah jika orang mulia dari mereka mati, maka mereka mengirim utusan kepada kabilah-kabilah yang ada seraya mengatakan, “Na’aya fulan!” Atau, “Na’aya al-Arab!” Yakni bangsa Arab binasa karena kematian si fulan, dan pengumuman ini disertai teriakan dan tangisan.

Pengarang al-Hawi dari kalangan sahabat kami menyebutkan dua aspek dari saha-bat kami mengenai dianjurkannya memberitahukan kematian si mayit dan menyiarkan kematiannya lewat seruan dan pengumuman: Sebagian dari mereka menganjurkan hal itu untuk mayit asing dan kerabat dekat, karena hal itu dapat memperbanyak orang yang akan menshalatinya dan mendoakannya. Sementara sebagian yang lain berpendapat, hal itu dianjurkan untuk mayit yang asing dan tidak dianjurkan untuk selainnya. Aku kata-kan, “Pendapat yang dipilih ialah dianjurkan secara mutlak, jika hanya sekedar pengu-muman.”

BAB DOA YANG DIUCAPKAN PADA SAAT MEMANDIKAN MAYIT DAN MENGKAFANKANNYA

Dianjurkan memperbanyak berdzikir kepada Allah[Subhanahu waTa`ala] dan berdoa untuk mayit pada saat memandikan dan mengkafankannya.

Menurut para sahabat kami, “Jika orang yang memandikan mayit melihat sesuatu yang mengagumkannya berupa bercahayanya wajah si mayit, harum baunya dan sejenis-nya, maka dianjurkan baginya untuk menceritakan hal itu kepada orang lain. Sebaliknya, jika ia melihat sesuatu yang dibenci berupa hitamnya wajah si mayit, baunya yang busuk, berubah anggota badannya, berubah rupanya dan sejenisnya, maka diharamkan baginya untuk menceritakannya kepada seorang pun.

Mereka berhujjah dengan sesuatu yang kami riwayatkan dalam Sunan Abu Dawud dan Sunan at-Tirmidzi, dari Ibnu Umar, “Rasulullah[Shallallahu ‘alaihi wasallam] bersabda,

اُذْكُرُوْا مَحَاسِنَ مَوْتَاكُمْ وَكُفُّوْا عَنْ مَسَاوِيْهِمْ.

‘Sebutkanlah kebaikan-kebaikan jenazah kalian dan tutupilah keburukan-keburukannya’.” (Didhaifkan oleh at-Tirmidzi)

Kami meriwayatkan dalam as-Sunan al-Kubra karya al-Baihaqi, dari Abu Rafi’ maula Rasulullah[Shallallahu ‘alaihi wasallam], “Rasulullah [Shallallahu ‘alaihi wasallam]bersabda,

مَنْ غَسَّلَ مَيِّتًا، فَكَتَمَ عَلَيْهِ، غَفَرَ اللهُ لَهُ أَرْبَعِيْنَ مَرَّةً.

‘Barangsiapa yang memandikan mayit lalu ia menyembunyikan aibnya, maka Allah mengam-puninya sebanyak 40 kali’.” Diriwayatkan oleh al-Hakim dalam al-Mustadrak ala ash-Shahi-hain, dan ia mengatakan, “Hadits shahih berdasarkan kriteria Muslim.”

Kemudian mayoritas sahabat kami memutlakkan masalah tersebut sebagaimana yang telah kami sebutkan. Abu al-Khair al-Yamani, penulis al-Bayan dari kalangan mereka berpendapat, “Seandainya mayit itu memang pelaku bid’ah dan menampakkan kebid’ah-annya, sementara orang yang memandikannya melihat sesuatu yang tidak disukainya darinya, maka sesuatu yang ditunjukkan oleh qiyas adalah agar dia menceritakannya kepada khalayak, agar hal itu dapat menjerakan manusia dari perbuatan bid’ah.

BAB DZIKIR-DZIKIR SHALAT JENAZAH

Ketahuilah bahwa menshalatkan jenazah adalah fardhu kifayah. Demikian pula memandikan, mengkafani dan menguburkannya. Ini semua telah menjadi kesepakatan.

Perkara yang dapat menggugurkan kewajiban shalat tersebut ada empat tinjauan: Yang paling shahih menurut mayoritas sahabat kami adalah bahwa kewajiban shalat tersebut gugur dengan dikerjakan oleh satu orang. Pendapat kedua, disyaratkan dua orang. Pendapat ketiga, tiga orang. Pendapat keempat, empat orang; baik mereka shalat dengan berjamaah maupun sendiri-sendiri.

Adapun tentang tata cara shalat, yaitu bertakbir empat kali, dan itu harus. Jika ku-rang satu kali, maka shalatnya tidak sah. Jika menambah takbir kelima, maka tentang kebatalan shalatnya ada dua tinjauan oleh para sahabat kami: yang paling shahih, tidak batal. Jika ia makmum, sedangkan imam bertakbir lima kali, maka jika dia berpendapat bahwa bertakbir kelima membatalkan shalat, maka makmum berpisah darinya sebagai-mana sekiranya imam berdiri untuk rakaat kelima (pada shalat Zhuhur misalnya, ed.). Sebaliknya, jika mengatakan bahwa yang paling shahih adalah tidak membatalkan shalat, maka ia tidak perlu berpisah darinya, namun ia tidak mengikutinya menurut pendapat yang masyhur. Mengenai hal ini terdapat tinjauan yang lemah oleh sebagian sahabat kami, bahwa ia mengikutinya. Jika mengikuti pendapat yang shahih, maka ia tidak boleh meng-ikutinya. Namun, apakah ia menunggunya untuk melakukan salam bersamanya ataukah ia salam pada saat itu? Mengenai hal ini terdapat dua tinjauan: yang paling shahih, ia menunggunya. Aku telah menjelaskan semua hal ini berikut penjelasannya dan dalil-dalilnya dalam Syarh al-Muhadzdzab.

DIANJURKAN MENGANGKAT TANGAN
BERSAMA PADA SETIAP TAKBIR.

Adapun sifat takbir, sesuatu yang dianjurkan, sesuatu yang membatalkan, dan sela-innya dari cabang-cabangnya, maka silakan lihat pada sesuatu yang telah aku kemukakan dalam bab sifat shalat berikut dzikir-dzikirnya.

Adapun dzikir-dzikir yang diucapkan dalam shalat jenazah di antara takbir-takbir tersebut adalah, setelah takbir pertama membaca al-Fatihah. Setelah takbir kedua mem-baca shalawat atas Nabi[Shallallahu ‘alaihi wasallam]. Setelah takbir ketiga membaca doa untuk mayit, diwajibkan darinya (untuk membaca) sesuatu yang bisa disebut sebagai doa, dan setelah takbir ke-empat pada dasarnya tidak diwajibkan dzikir, tetapi dianjurkan membaca sesuatu yang akan aku sebutkan, insya Allah.

Para sahabat kami berselisih mengenai dianjurkannya ta’awwudz dan doa iftitah seusai takbir pertama sebelum al-fatihah dan dalam membaca surat setelah al-fatihah dalam tiga pendapat: Pertama, semuanya dianjurkan. Kedua, tidak dianjurkan. Ketiga dan ini yang paling shahih, dianjurkan membaca ta’awwudz tanpa doa iftitah dan surah. Mereka bersepakat bahwa dianjurkan membaca, “Amin” setelah al-Fatihah.

Kami meriwayatkan dalam Shahih al-Bukhari, dari Ibnu Abbas[radiyallahu ‘anhu],

أَنَّهُ صَلَّى عَلَى جَنَازَةٍ، فَقَرَأَ فَاتِحَةَ الْكِتَابِ، وَقَالَ: لِتَعْلَمُوْا أَنَّهَا سُنَّةٌ.

“Bahwa ia menshalatkan jenazah, lalu ia membaca al-Fatihah. Setelah itu ia berkata, ‘Agar mereka tahu bahwa ini adalah Sunnah’.

Perkataannya “سُنَّةٌ” adalah dalam makna ucapan sahabat, “Termasuk Sunnah demi-kian dan demikian.” Disebutkan dalam Sunan Abu Dawud, “Ia mengatakan bahwa ini ter-masuk Sunnah.” Maka ia menjadi marfu’ kepada Rasulullah[Shallallahu ‘alaihi wasallam] sebagaimana yang dikukuh-kan dan dikenal dalam kitab-kitab hadits dan ushul.

Menurut para sahabat kami, “Disunnahkan membacanya dengan suara pelan tidak keras, baik shalat tersebut dilakukan pada malam maupun siang hari.” Inilah pendapat yang shahih dan masyhur yang dinyatakan oleh mayoritas sahabat kami. Segolongan dari mereka berpendapat, “Jika shalat dilakukan pada siang hari, maka dipelankan, dan jika shalat pada malam hari, maka dikeraskan.”

Adapun setelah takbir kedua, maka kewajiban yang paling minimal ialah mengucap-kan: (اللّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ). Dan juga dianjurkan untuk mengucapkan: (وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ). Namun, itu tidak wajib menurut mayoritas sahabat kami. Sebagian sahabat kami berpendapat wajib, namun ini pendapat yang syadz (nyeleneh) dan dhaif. Dianjurkan di dalamnya untuk mendoakan kaum Mukminin dan Mukminat, jika waktunya masih ada. Ini dinash-kan oleh asy-Syafi’i, dan disepakati oleh para sahabatnya. Al-Muzani menukil dari asy-Syafi’i bahwa dianjurkan juga untuk memuji Allah[Subhanahu waTa`ala]. Dan yang menyatakan hal itu dianjurkan ialah segolongan dari sahabat asy-Syafi’i, namun pendapat tersebut diingkari oleh jumhur dari kalangan mereka. Jika kita berpendapat dianjurkan, maka ia memulai dengan al-Hamdulillah (pujian kepada Allah), kemudian bershalawat atas Nabi[Shallallahu ‘alaihi wasallam], kemu-dian mendoakan kaum Mukminin dan Mukminat. Boleh saja jika ia menyelisihi urutan ini, namun ia meninggalkan yang lebih utama.

Hadits-hadits tentang shalawat atas Rasulullah[Shallallahu ‘alaihi wasallam] banyak disebutkan, yang kami riwayatkan dalam Sunan al-Baihaqi. Tetapi aku bermaksud membatasi bab ini, sebab tem-pat pembahasannya adalah kitab-kitab fikih, dan aku telah menjelaskannya dalam Syarh al-Muhadzdzab.

Adapun setelah takbir ketiga, maka diwajibkan membaca doa untuk mayit. Mini-mal sesuatu yang bisa disebut sebagai doa, seperti Anda mengucapkan: Rahimahullah, ghafarahullahu lahu, Allahummaghfir lahu, irhamhu, ulthuf bihi, dan sejenisnya. Adapun yang dianjurkan, maka hadits-hadits dan sejumlah atsar menyebutkan hal itu. Adapun yang berasal dari hadits:

Yang paling shahih ialah sesuatu yang kami riwayatkan dalam Shahih Muslim, dari Auf bin Malik[radiyallahu ‘anhu], ia mengatakan,

صَلَّى رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم عَلَى جَنَازَةٍ، فَحَفِظْتُ مِنْ دُعَائِهِ وَهُوَ يَقُوْلُ: اللّهُمَّ اغْفِرْ لَهُ، وَارْحَمْهُ، وَعَافِهِ، وَاعْفُ عَنْهُ، وَأَكْرِمْ نُزُلَهُ، وَوَسِّعْ مُدْخَلَهُ، وَاغْسِلْهُ بِالْمَاءِ وَالثَّلْجِ وَالْبَرَدِ، وَنَقِّهِ مِنَ الْخَطَايَا كَمَا نَقَّيْتَ الثَّوْبَ اْلأَبْيَضَ مِنَ الدَّنَسِ، وَأَبْدِلْهُ دَارًا خَيْرًا مِنْ دَارِهِ، وَأَهْلاً خَيْرًا مِنْ أَهْلِهِ، وَزَوْجًا خَيْرًا مِنْ زَوْجِهِ، وَأَدْخِلْهُ الْجَنَّةَ، وَأَعِذْهُ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ وَمِنْ عَذَابِ النَّارِ حَتَّى تَمَنَّيْتُ أَنْ أَكُوْنَ أَنَا ذلِكَ الْمَيِّتَ.

“Rasulullah[Shallallahu ‘alaihi wasallam] menshalatkan jenazah, dan aku hafal doa beliau, yaitu beliau mengucapkan, ‘Ya Allah, ampunilah ia, rahmatilah ia, selamatkanlah ia, maafkanlah ia, muliakanlah tempatnya, luaskanlah tempat masuknya (maksudnya kuburannya, ed.), bersihkanlah ia dengan air, salju dan embun, serta bersihkanlah ia dari dosa-dosa sebagaimana Engkau bersihkan pakaian putih dari noda. Berilah ia ganti tempat tinggal yang lebih baik daripada tempat tinggalnya, keluarga yang lebih baik daripada keluarganya, dan istri yang lebih baik daripada istrinya. Masukkanlah ia ke dalam surga, dan lindungilah ia dari azab kubur dan azab neraka’. Hingga aku berangan-angan sekiranya akulah yang menjadi mayit itu.”

Dalam salah satu riwayat Muslim,

وَقِهِ فِتْنَةَ الْقَبْرِ وَعَذَابَ الْقَبْرِ.

“Dan jauhkanlah ia dari fitnah kubur dan azab kubur.”

Kami meriwayatkan dalam Sunan Abu Dawud, Sunan at-Tirmidzi dan Sunan al-Baihaqi, dari Abu Hurairah[radiyallahu ‘anhu], dari Nabi[Shallallahu ‘alaihi wasallam],

أَنَّهُ صَلَّى عَلَى جَنَازَةٍ، فَقَالَ: اللّهُمَّ اغْفِرْ لِحَيِّنَا وَمَيِّتِنَا، وَصَغِيْرِنَا وَكَبِيْرِنَا، وَذَكَرِنَا وَأُنْثَانَا، وَشَاهِدِنَا وَغَائِبِنَا، اللّهُمَّ مَنْ أَحْيَيْتَهُ مِنَّا، فَأَحْيِهِ عَلَى اْلإِسْلاَمِ، وَمَنْ تَوَفَّيْتَهُ مِنَّا فَتَوَفَّهُ عَلَى اْلإِيْمَانِ، اللّهُمَّ لاَ تَحْرِمْنَا أَجْرَهُ، وَلاَ تَفْتِنَّا بَعْدَهُ.

“Bahwa beliau menshalatkan jenazah, lalu beliau mengucapkan, ‘Ya Allah, ampunilah orang-orang yang masih hidup dan orang yang telah mati diantara kami, anak-anak dan orang dewasa kami, laki-laki dan perempuan kami, yang ada bersama kami maupun yang jauh dari kami. Ya Allah, barangsiapa yang Engkau masih hidupkan di antara kami, maka hidupkanlah ia dalam keadaan Islam. Dan barangsiapa yang Engkau wafatkan di antara kami, maka wafatkanlah ia dalam keadaan berpegang teguh pada iman. Ya Allah, jangan halangi kami mendapatkan pahalanya, dan janganlah Engkau beri cobaan kepada kami sepeninggalnya’.”

Al-Hakim Abu Abdillah mengatakan, “Ini hadits shahih berdasarkan kriteria al-Bukhari dan Muslim.”

Kami meriwayatkan dalam Sunan al-Baihaqi dan selainnya dari riwayat Abu Qatadah.

Kami meriwayatkan dalam kitab at-Tirmidzi dari riwayat Abu Ibrahim al-Asyhali, dari ayahnya -ayahnya adalah seorang sahabat- dari Nabi[Shallallahu ‘alaihi wasallam].

At-Tirmidzi mengatakan, “Muhammad bin Isma’il -yakni al-Bukhari- mengatakan, ‘Riwayat paling shahih mengenai hadits, ‘Allahummaghfir lihayyina wa mayyitina,‘ ialah riwayat Abu Ibrahim al-Asyhali dari ayahnya.’ Al-Bukhari mengatakan, ‘Dan yang paling shahih dalam bab ini ialah hadits Auf bin Malik’.”

Disebutkan dalam riwayat Abu Dawud,

فَأَحْيِهِ عَلَى اْلإِيْمَانِ ، وَتَوَفَّهُ عَلَى اْلإِسْلاَمِ.

[p“Maka hidupkanlah dia dengan berpedoman pada Iman, dan wafatkanlah dia dengan berpe-doman pada ajaran Islam.”

Namun redaksi yang masyhur dalam kitab-kitab hadits adalah,

فَأَحْيِهِ عَلَى اْلإِسْلاَمِ ، وَتَوَفَّهُ عَلَى اْلإِيْمَانِ.

“Maka hidupkanlah dia dengan berpedoman pada ajaran Islam, dan wafatkanlah dia dengan berpedoman pada Iman,” sebagaimana yang telah kami kemukakan.

Kami meriwayatkan dalam Sunan Abu Dawud dan Sunan Ibnu Majah, dari Abu Hurairah[radiyallahu ‘anhu], ia mengatakan, “Aku mendengar Rasulullah [Shallallahu ‘alaihi wasallam]bersabda,

إِذَا صَلَّيْتُمْ عَلَى الْمَيِّتِ، فَأَخْلِصُوْا لَهُ الدُّعَاءَ.

‘Jika kalian menshalatkan mayit, maka ikhlaskanlah doa untuknya’.

Kami meriwayatkan dalam Sunan Abi Dawud, dari Abu Hurairah [radiyallahu ‘anhu], dari Nabi[Shallallahu ‘alaihi wasallam]tentang shalat jenazah,

اللّهُمَّ أَنْتَ رَبُّهَا، وَأَنْتَ خَلَقْتَهَا، وَأَنْتَ هَدَيْتَهَا للإسْلاَمِ، وَأَنْتَ قَبَضْتَ رُوْحَهَا، وَأَنْتَ أَعْلَمُ بِسِرِّهَا وَعَلاَنِيَتِهَا، جِئْنَاكَ شُفَعَاءَ، فَاغْفِرْ لَهُ.

“Ya Allah, Engkau Rabbnya, Engkau yang menciptakannya, Engkau yang memberinya petunjuk kepada Islam, Engkau yang menggenggam ruhnya, dan Engkau yang lebih tahu tentang sesuatu yang dirahasiakan dan dinyatakannya. Kami datang kepadaMu untuk memohon syafa’at, maka ampunilah ia.”

Kami meriwayatkan dalam Sunan Abu Dawud dan Sunan Ibnu Majah, dari Watsilah bin al-Asqa'[radiyallahu ‘anhu], ia mengatakan,

صَلَّى بِنَا رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم عَلَى رَجُلٍ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ، فَسَمِعْتُهُ يَقُوْلُ، اللّهُمَّ إِنَّ فُلاَنَ بْنَ فُلاَنَةٍ فِي ذِمَّتِكَ وَحَبْلِ جِوَارِكَ، فَقِهِ مِنْ فِتْنَةِ الْقَبْرِ وَعَذَابِ النَّارِ، وَأَنْتَ أَهْلُ الْوَفَاءِ وَالْحَمْدِ، اللّهُمَّ فَاغْفِرْ لَهُ، وَارْحَمْهُ، إِنَّكَ أَنْتَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ.

“Rasulullah[Shallallahu ‘alaihi wasallam] menshalatkan jenazah seseorang dari kaum Muslimin bersama kami, maka aku mendengarnya mengucapkan, ‘Ya Allah, fulan bin fulanah ada dalam pemeliharaanMu dan menjadi tetanggaMu, maka lindungilah ia dari fitnah kubur dan azab neraka. Engkau adalah Dzat yang memenuhi janji dan memiliki segala pujian. Ya Allah, ampunilah dan rahmatilah ia; sesungguhnya Engkau Maha Pengampun lagi Maha Penyayang’.”

Imam asy-Syafi’i[rahimahullah]memilih doa yang dipetiknya dari sekumpulan hadits-hadits tersebut dan selainnya, seraya mengatakan, “Hendaklah ia mengucapkan,

‘Ya Allah, ini hambaMu dan anak hambaMu, ia keluar dari kesenangan dunia dan keluasannya, sementara orang yang dikasihinya dan orang-orang yang dicintainya berada di dalamnya menuju kegelapan kubur yang belum pernah ditemuinya. Ia bersaksi bahwa tiada tuhan yang berhak disembah kecuali Engkau dan bahwa Muhammad adalah hamba dan utusanMu, serta Engkau lebih mengetahui tentangnya. Ya Allah, sesungguhnya ia telah singgah padanya dan Engkau sebaik-baik yang disinggahinya. Ia butuh kepada rahmatMu sementara Engkau tidak butuh untuk mengazabnya. Sungguh kami datang kepadaMu dengan mengharapkan kepadaMu syafaat untuknya. Ya Allah, jika ia orang yang berbuat kebajikan, maka tambahkanlah kebajikannya. Jika ia orang yang berbuat keburukan, maka ampunilah keburukannya. Curahkanlah kepadanya -dengan rahmatMu- ridhaMu. Jauhkanlah ia dari fitnah dan azab kubur, lapangkanlah untuknya di dalam kuburnya, dan jauhkanlah bumi dari kedua rusuknya. Curahkanlah kepadanya -dengan rahmatMu- keamanan dari azabMu hingga Engkau membangkitkannya menuju ke surga-Mu, wahai Dzat yang paling penyayang’.” Ini adalah nash asy-Syafi’i dalam Mukhtashar al-Muzani

Menurut para sahabat kami, “Jika mayit itu masih anak-anak, maka orang yang men-shalatkannya mendoakan untuk kedua orang tuanya, dengan mengucapkan,

‘Ya Allah, jadikanlah ia sebagai yang mendahului ke surga untuk keduanya, jadi-kanlah ia sebagai pendahulu untuk keduanya, jadikanlah ia sebagai simpanan untuk keduanya, beratkanlah dengannya timbangan kebaikan keduanya, limpahkanlah kesa-baran pada hati keduanya, dan jangan timpakan fitnah kepada keduanya sepeninggalnya, serta jangan halangi keduanya mendapatkan pahalanya’.”

Ini adalah lafazh yang disebutkan oleh Abu Abdillah az-Zubairi dari kalangan saha-bat kami dalam kitabnya, al-Kafi, dan yang lainnya juga menyebutkan yang semakna dengannya dan yang mirip dengannya. Mereka mengatakan, “Di samping itu ia mengu-capkan, ‘Ya Allah, ampunilah orang yang masih hidup dan orang yang sudah mati di antara kami…hingga selesai’.”

Az-Zubairi mengatakan, “Jika jenazahnya wanita, maka ia mengucapkan, ‘Allahumma hadzihi amatuka...’ (Ya Allah, inilah hamba perempuanMu) kemudian menyelaraskan lafazh doa tersebut. Wallahu a’lam.

Adapun takbir keempat, maka tidak diwajibkan dzikir setelahnya berdasarkan kesepakatan. Tetapi dianjurkan untuk mengucapkan sesuatu yang dinashkan oleh asy-Syafi’i[rahimahullah]dalam kitab al-Buwaithi. Katanya, “Ia mengucapkan pada takbir keempat,

‘Ya Allah, jangan halangi kami mendapatkan pahalanya dan jangan Engkau fitnah kami sepeninggalnya’.”

Abu Ali bin Abi Hurairah dari kalangan sahabat kami mengatakan bahwa orang-orang terdahulu mengucapkan pada takbir keempat,

رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ.

“Wahai Rabb kami, berikanlah kepada kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat, serta jagalah kami dari azab neraka.

Namun ia menyatakan, “Doa tersebut tidak diceritakan dari asy-Syafi’i. Jika ia mela-kukannya, maka itu baik.” Aku katakan, “Sudah cukup mengenai kebaikannya sesuatu yang telah kami kemukakan dalam hadits Anas pada bab doa dalam kesusahan.” Wallahu a’lam.

Aku katakan, “Dihujjahkan untuk doa pada takbir keempat ialah berdasar-kan sesuatu yang kami riwayatkan dalam Sunan al-Kubra karya al-Baihaqi, dari Abdullah bin Aufa [radiyallahu ‘anhu]bahwa ia bertakbir untuk menshalatkan jenazah putrinya dengan empat kali takbir. Ia berdiri setelah takbir keempat menurut kadar waktu di antara dua takbir untuk beristighfar dan mendoakannya. Kemudian ia mengatakan, “Demikianlah Rasulullah [Shallallahu ‘alaihi wasallam]melakukannya.”

Dalam suatu riwayat, ia bertakbir empat kali lalu diam sesaat hingga kami menyang-ka bahwa ia akan bertakbir yang kelima kali. Kemudian ia mengucapkan salam dari sebe-lah kanannya dan dari sebelah kirinya. Ketika selesai, kami bertanya kepadanya, “Apakah ini?” Ia menjawab, “Sesungguhnya aku tidak akan menambah kepada kalian melebihi sesuatu yang mana aku pernah melihat Rasulullah[Shallallahu ‘alaihi wasallam] melakukannya.” Atau “Beginilah Rasulullah[Shallallahu ‘alaihi wasallam] melakukannya.” Al-Hakim Abu Abdillah mengatakan, “Ini hadits shahih.”

PASAL

Jika telah selesai dari keempat takbir berikut dzikir-dzikirnya, maka ia mengucapkan salam sebagaimana seluruh shalat lainnya, berdasarkan sesuatu yang telah kami sebutkan dari hadits Abdullah bin Abi Aufa.

Hukum salam ini sebagaimana sesuatu yang telah kami sebutkan tentang salam da-lam semua shalat. Inilah madzhab yang shahih dan terpilih. Di sini terdapat perselisihan yang lemah, yang sengaja kami biarkan karena tidak diperlukan dalam buku ini.

Seandainya makmum masbuq datang lalu mendapati imam di sebagian shalat, maka ia bertakbir ihram bersamanya pada saat itu dan membaca al-Fatihah. Kemudian setelah itu membaca berdasarkan urutannya, dan tidak menyelarasi bacaan imam. Jika dia bertak-biratul ihram, kemudian imam bertakbir pada takbir yang lainnya sebelum makmum dapat membaca dzikir, maka dzikir tersebut gugur darinya, sebagaimana bacaan tersebut gugur dari makmum masbuq dalam semua shalat. Jika imam mengucapkan salam, semen-tara makmum masbuq dalam shalat jenazah masih tersisa sebagian takbir, maka ia harus menyelesaikan sebagian takbir yang masih tersisa berikut dzikir-dzikirnya secara berurut-an. Inilah madzhab yang shahih dan masyhur menurut kami. Kami memiliki pendapat yang lemah, yaitu ia menyelesaikan takbir-takbir yang tersisa secara berurutan tanpa dzikir. Wallahu a’lam.

Sumber : Ensiklopedia Dzikir Dan Do’a, Imam Nawawi, Pustaka Sahifa Jakarta. Disadur oleh Yusuf