Dianjurkan baginya untuk sibuk dengan dzikir kepada Allah, dan merenungkan sesuatu yang akan ditemui oleh mayit, sesuatu yang akan menjadi tempat kembalinya, hasil yang diperoleh di dalamnya, dan bahwa ini adalah akhir kehidupan dunia dan tem-pat kembali penduduknya.

Hendaklah ia menjauhi segala pembicaraan yang tidak bermanfaat. Sebab ini adalah waktu untuk berpikir dan berdzikir, di mana kelalaian, senda gurau, dan sibuk dengan pembicaraan yang tiada manfaatnya sangat dicela dan dilarang dalam segala keadaan, lantas bagaimana halnya dalam keadaan seperti ini?

Ketahuilah bahwa yang benar dan terpilih ialah sesuatu yang dipegang teguh oleh para salafus shalih yaitu diam saat berjalan mengiringi jenazah, tidak mengeraskan bacaan, dzikir atau selainnya. Hikmahnya sangat jelas, yaitu bahwa itu lebih menentram-kan pikirannya dan mengonsentrasikan pikirannya berkenaan dengan jenazah. Inilah yang dituntut dalam keadaan ini, dan inilah yang haq. Janganlah terpedaya dengan banyak-nya orang yang menyelisihinya. Abu Ali al-Fudha`il bin Iyadh [radiyallahu ‘anhu]mengatakan yang mak-nanya, “Tetapilah jalan-jalan petunjuk, dan sedikitnya orang yang menempuhnya tidaklah merugikanmu. Hati-hatilah kalian terhadap jalan-jalan kesesatan, dan jangan terpedaya dengan banyaknya orang yang binasa. Kami telah meriwayatkan dalam Sunan al-Baihaqiyang menunjukkan sesuatu yang telah aku katakan. Adapun sesuatu yang dilakukan oleh orang-orang bodoh berupa membaca al-Qur`an di depan jenazah di Damaskus dan selainnya, yaitu membaca dengan mendayu-dayu dan mengeluarkan bacaan dzikir dan al-Qur`an dari temanya, maka itu adalah haram menurut ijma’ ulama. Aku telah menje-laskan keburukan dan pengharamannya yang berat, serta kefasikan orang yang sanggup mengingkarinya, namun dia tidak mengingkarinya dalam kitab Adab al-Qurra`. Allahlah Yang Dimohon pertolonganNya dan kepadaNya diharapkan taufikNya.
BAB SESUATU YANG DIUCAPKAN OLEH ORANG YANG LEWAT DI HADAPANNYA JENAZAH ATAU MELIHATNYA

Dianjurkan untuk mengucapkan,

سُبْحَانَ الْحَيِّ الَّذِيْ لاَ يَمُوْتُ.

“Mahasuci Dzat Yang Mahahidup yang tidak akan pernah mati.”

Al-Qadhi Imam Abu al-Mahasin ar-Ruyani dari kalangan sahabat kami dalam kitab-nya, al-Bahr, berpendapat, “Dianjurkan berdoa seraya mengucapkan,

لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ الْحَيُّ الَّذِيْ لاَ يَمُوْتُ.

“Tiada tuhan (yang berhak disembah) kecuali Allah Dzat Yang Mahahidup yang tidak akan pernah mati.”

Dianjurkan untuk mendoakannya dan memujinya dengan baik, jika ia memang berhak untuk dipuji, namun tidak boleh berlebihan dalam memujinya.

BAB DOA YANG DIUCAPKAN OLEH ORANG YANG MEMASUKKAN MAYIT KE DALAM KUBURNYA

Kami meriwayatkan dalam Sunan Abu Dawud, Sunan at-Tirmidzi, Sunan al-Baihaqi dan selainnya dari Ibnu Umar[radiyallahu ‘anhu] bahwa Nabi[Shallallahu ‘alaihi wasallam] jika meletakkan mayit di dalam kuburnya, beliau mengucapkan,

بِسْمِ اللهِ، وَعَلَى سُنَّةِ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه و سلم .

“Dengan menyebut nama Allah, dan berdasarkan Sunnah Rasulullah[Shallallahu ‘alaihi wasallam].” (At-Tirmidzi menilai hadits ini hasan).

Asy-Syafi’i dan para sahabatnya mengatakan, “Dianjurkan mendoakan mayit dengan doa tersebut.”

Salah satu doa terbaik ialah doa yang dinashkan oleh asy-Syafi’i[rahimahullah]dalam Mukhta-shar al-Muzani. Ia mengatakan, “Orang-orang yang memasukkan jenazah ke dalam kubur (hendaklah) mengucapkan, ‘Ya Allah, kaum pelit dari keluarganya, anaknya, kerabatnya dan saudara-saudaranya telah menyerahkan kepadaMu. Ia berpisah dengan orang yang suka mendekatinya, dan ia keluar dari keluasan kehidupan dunia menuju kegelapan dan kesempitan kubur. Ia telah singgah padaMu dan Engkau adalah sebaik-baik persinggah-an. Jika Engkau mengazabnya, maka itu karena dosanya; dan jika Engkau mengampuninya, maka Engkaulah Yang berhak memberi ampunan. Engkau tidak butuh untuk mengazab-nya, sedangkan ia butuh kepada rahmatMu. Ya Allah, terimalah kebaikannya, ampunilah keburukannya, lindungilah ia dari azab kubur, berikanlah kepadanya -dengan rahmatMu- keamanan dari azabMu, dan jauhkanlah ia dari segala ketakutan tidak mendapatkan surga. Ya Allah, jadikanlah pengganti dari kalangan keturunannya yang masih hidup, angkat-lah derajatnya di illiyyin (bagian surga tertinggi), dan janjikan kepadanya karunia rahmat-Mu, wahai Dzat yang paling penyayang.”

BAB SESUATU YANG DIUCAPKANNYA SETELAH PENGUBURAN

Disunnahkan bagi orang yang berada di atas kubur agar menciduk tanah di kubur itu tiga cakupan dengan kedua tangannya dari arah kepalanya. Menurut segolongan dari sahabat kami, “Dianjurkan untuk mengucapkan pada cidukan yang pertama: ((مِنْهَا خَلَقْنَاكُمْ “Darinya Kami menciptakan kalian,” pada cidukan yang kedua mengucapkan, (( وَفِيهَا “Kepadanya Kami mengembalikan” kalian, dan pada cidukan yang ketiga mengucapkan ( ( وَمِنْهَا نُخْرِجُكُمْ تَارَةً أُخْرَى “Dan darinya Kami mengeluarkan kalian kembali” (Thaha: 55).”

Dianjurkan untuk duduk di sisinya setelah selesai penguburan sesaat setara dengan waktu memotong unta dan membagi-bagikan dagingnya. Orang yang duduk menyibuk-kan diri dengan membaca al-Qur`an, mendoakan mayit, memberi nasihat, dan hikayat tentang ahli kebajikan serta keadaan kaum yang shalih.

Kami meriwayatkan dalam Shahih al-Bukhari, dari Ali[radiyallahu ‘anhu], ia mengatakan,

كُنَّا فِي جَنَازَةٍ فِي بَقِيْعِ الْغَرْقَدِ، فَأَتَانَا رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم فَقَعَدَ وَقَعَدْنَا حَوْلَهُ، وَمَعَهُ مِخْصَرَةٌ، فَنَكَّسَ، وَجَعَلَ يَنْكُتُ بِمِخْصَرَتِهِ، ثُمَّ قَالَ: مَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ إِلاَّ قَدْ كُتِبَ مَقْعَدُهُ مِنَ النَّارِ وَمَقْعَدُهُ مِنَ الْجَنَّةِ. فَقَالُوْا: يَا رَسُوْلَ اللهِ، أَفَلاَ نَتَّكِلُ عَلَى كِتَابِنَا؟ فَقَالَ: اِعْمَلُوْا، فَكُلٌّ مُيَسَّرٌ لِمَا خُلِقَ لَهُ…”

“Kami mengubur jenazah di Baqi’ al-Gharqad, lalu Rasulullah[Shallallahu ‘alaihi wasallam] datang kepada kami lantas beliau duduk, maka kami duduk di sekitar beliau. Saat itu beliau membawa tongkat kecil, lalu beliau menundukkan kepala dan memukul-mukul dengan tongkatnya. Kemudian beliau bersabda, ‘Tidak ada seorang pun dari kalian melainkan telah ditentukan kedudukannya di neraka dan kedudukan-nya di surga.’ Mereka bertanya, ‘Wahai Rasulullah, tidakkah kita pasrah saja dengan sesuatu yang telah ditentukan kepada kita?’ Beliau bersabda, ‘Beramallah; karena semuanya dimudahkan kepada sesuatu yang mana ia ditakdirkan untuknya’…” dan menyebutkan kelengkapan hadits.

Kami meriwayatkan dalam Shahih Muslim, dari Amr bin al-Ash[radiyallahu ‘anhu], ia mengatakan,

إِذَا دَفَنْتُمُوْنِي، أَقِيْمُوْا حَوْلَ قَبْرِي قَدْرَ مَا يُنْحَرُ جَزُوْرٌ وَيُقْسَمُ لَحْمُهَا حَتَّى أَسْتَأْنِسَ بِكُمْ وَأَنْظُرَ مَاذَا أُرَاجِعُ بِهِ رُسُلَ رَبِّي.

“Jika kalian telah menguburku, maka berdiamlah di sekitar kuburku selama kadar waktu memotong unta dan membagi-bagikan dagingnya, sehingga aku dapat merasakan senang dengan kalian dan aku akan mendapat waktu penangguhan jawaban apa yang akan aku berikan kepada para utusan Rabbku.”

Kami meriwayatkan dalam Sunan Abu Dawud dan al-Baihaqi dengan sanad hasan, dari Utsman[radiyallahu ‘anhu], ia mengatakan,

كَانَ النَّبِيُّ صلى الله عليه و سلم إِذَا فَرَغَ مِنْ دَفْنِ الْمَيِّتِ، وَقَفَ عَلَيْهِ، فَقَالَ: اِسْتَغْفِرُوْا لأَخِيْكُمْ، وَسَلُوْا لَهُ التَّثْبِيْتَ، فَإِنَّهُ اْلآنَ يُسْأَلُ.

“Jika Nabi[Shallallahu ‘alaihi wasallam] telah selesai menguburkan mayit, beliau berdiri di atasnya seraya bersabda, ‘Mohonkanlah ampunan buat saudara kalian, dan mintakan keteguhan untuknya; karena ia seka-rang sedang ditanya’.”

Asy-Syafi’i dan para sahabatnya berpendapat, “Dianjurkan membaca sesuatu dari ayat al-Qur`an di sisinya.” Menurut mereka, “Jika menghatamkan seluruh al-Qur`an, maka itu baik.”

Kami meriwayatkan dalam Sunan al-Baihaqi dengan sanad hasan bahwa Ibnu Umar p menganjurkan untuk dibacakan awal dan akhir surah al-Baqarah di atas kubur setelah penguburan.
PASAL

Adapun mentalqin mayit setelah penguburan, maka banyak dari sahabat kami yang menganjurkannya. Di antara yang menashkan penganjurannya ialah al-Qadhi Husain dalam Ta’liqnya, sahabatnya Abu Sa’ad al-Mutawalli dalam kitabnya, [at-Tatimmah, Syaikh Imam Zahid Abu al-Fath Nashr bin Ibrahim bin Nashr al-Maqdisi, Imam Abu al-Qasim ar-Rafi’i dan selainnya. Al-Qadhi Husain menukilnya dari para sahabat (yakni para pengi-kut asy-Syafi’i).
Adapun lafazh talqin, menurut Syaikh Nashr, jika selesai menguburkannya, ia duduk di sisi kepalanya seraya mengatakan,

يَا فُلاَنُ بْنَ فُلاَنٍ، اذْكُرِ الْعَهْدَ الَّذِيْ خَرَجْتَ عَلَيْهِ مِنَ الدُّنْيَا: شَهَادَةَ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، وَأَنَّ السَّاعَةَ آتِيَةٌ لاَرَيْبَ فِيْهَا، وَأَنَّ اللهَ يَبْعَثُ مَنْ فِي الْقُبُوْرِ. قُلْ: رَضِيْتُ بِاللهِ رَبًّا، وَبِاْلإِسْلاَمِ دِيْنًا، وَبِمُحَمَّدٍ صلى الله عليه و سلم نَبِيًّا، وَبِالْكَعْبَةِ قِبْلَةً، وَبِالْقُرْآنِ إِمَامًا، وَبِالْمُسْلِمِيْنَ إِخْوَانًا. رَبِّيَ اللهُ، لاَ إِلهَ إِلاَّ هُوَ، وَهُوَ رَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيْمِ.

“Wahai fulan bin fulan! Ingatlah perkara yang dengannya engkau keluar dari dunia: per-saksian bahwa tiada tuhan (yang berhak disembah) kecuali Allah semata yang tiada sekutu bagi-Nya, bahwa Muhammad adalah hamba dan utusanNya, bahwa Hari Kiamat akan datang tanpa diragukan lagi, dan bahwa Allah akan membangkitkan manusia yang ada di dalam kubur. Kata-kanlah, ‘Aku ridha Allah sebagai Rabbku, Islam sebagai agamaku, Muhammad sebagai Nabiku, Ka’bah sebagai kiblatku, al-Qur`an sebagai imamku, dan kaum Muslimin sebagai saudaraku. Rabbku adalah Allah, tiada tuhan (yang berhak disembah) kecuali Dia, dan Dia adalah Rabb Arasy yang agung’.”

Ini lafazh Syaikh Nashr al-Maqdisi dalam kitabnya, at-Tahdzib, sementara lafazh para tokoh lainnya mirip dengannya. Pada lafazh sebagian dari mereka kurang dari itu. Kemudian di antara mereka ada yang mengatakan, “Wahai hamba Allah, putra hamba wanita Allah.” Ada yang mengatakan, “Wahai hamba Allah, putra Hawa.” Ada pula yang mengatakan, “Wahai fulan -dengan menyebut namanya- putra hamba wanita Allah! Atau wahai fulan, putra Hawa!” Semuanya semakna.

Syaikh Imam Abu Amr bin ash-Shalah[rahimahullah]ditanya tentang talqin, maka ia menjawab dalam Fatawanya, “Talqin itulah yang kami pilih dan yang kami amalkan. Ini juga disebutkan oleh segolongan dari sahabat kami dari kalangan al-Khurasan.” Ia melanjutkan, “Kami telah meriwayatkan mengenai hal itu sebuah hadits dari hadits Abu Umamah yang sanadnya tidak kuat. Tetapi ia dikuatkan dengan sejumlah syahid dan dengan amalan penduduk Syam tempo dulu.” Ia melanjutkan, “Adapun mentalqin anak yang masih menyusu, maka tiada sandaran yang bisa dijadikan sandaran, dan kami tidak berpendapat untuk ditalqinkan.” Wallahu a’lam.

Aku katakan, “Yang benar bahwa anak kecil tidak ditalqinkan secara mutlak, baik ia masih menyusu maupun lebih besar daripada itu selagi belum baligh dan menjadi mukallaf.” Wallahu a’lam.

BAB WASIAT MAYIT AGAR DISHALATKAN OLEH ORANG TERTENTU, ATAU DIKUBUR DENGAN CARA TERTENTU DAN DI TEMPAT TERTENTU.
Demikian Pula Kafan Dan Perkara-Perkaranya Yang Lain Yang Boleh Dilakukan Dan Yang Tidak Boleh Dilakukan

Kami meriwayatkan dalam Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim, dari Aisyah[radiyallahu ‘anha], ia mengatakan,

دَخَلْتُ عَلَى أَبِي بَكْرٍ رضي الله عنه (يَعْنِي: وَهُوَ مَرِيْضٌ)، فَقَالَ: فِي كَمْ كَفَّنْتُمُ النَّبِيَّ صلى الله عليه و سلم فَقُلْتُ فِي ثَلاَثَةِ أَثْوَابٍ. فِي أَيِّ يَوْمٍ تُوُفِّيَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم ؟ قَالَتْ: يَوْمَ اْلإِثْنَيْنِ. قَالَ: فَأَيُّ يَوْمٍ هذَا؟ قَالَتْ: يَوْمُ اْلإِثْنَيْنِ قَالَ: أَرْجُوْ فِيْمَا بَيْنِي وَبَيْنَ اللَّيْلِ. فَنَظَرَ إِلَى ثَوْبٍ عَلَيْهِ كَانَ يُمَرَّضُ فِيْهِ بِهِ رَدْعٌ مِنْ زَعْفَرَانٍ، فَقَالَ: اغْسِلُوْا ثَوْبِي هذَا، وَزِيْدُوْا عَلَيْهِ ثَوْبَيْنِ، فَكَفِّنُوْنِي فِيْهَا. قُلْتُ إِنَّ هذَا خَلَقٌ. قَالَ: إِنَّ الْحَيَّ أَحَقُّ بِالْجَدِيْدِ مِنَ الْمَيِّتِ، إِنَّمَا هُوَ لِلْمُهْلَةِ. فَلَمْ يُتَوَفَّ حَتَّى أَمْسَى مِنْ لَيْلَةِ الثُّلاَثَاءِ، وَدُفِنَ قَبْلَ أَنْ يُصْبِحَ.

“Aku menjenguk Abu Bakar[radiyallahu ‘anhu] (yakni saat dia sedang sakit), maka ia mengatakan, ‘Dalam berapa kain kalian mengkafani Nabi[Shallallahu ‘alaihi wasallam]?’ Aku menjawab, ‘Dalam tiga pakaian.’ Ia bertanya, ‘Pada hari apa Rasulullah[Shallallahu ‘alaihi wasallam] wafat?’ Aku menjawab, ‘Pada hari Senin.’ Ia bertanya, ‘Hari apakah ini?’ Aku menjawab, ‘Hari Senin.’ Ia mengatakan, ‘Aku berharap antara saat ini hingga malam.’ Lalu ia melihat pakaian yang dikenakannya saat sakit yang padanya terdapat bekas za’faran, maka ia mengatakan, ‘Cucilah bajuku ini, dan tambahkanlah padanya dua kain, lantas kafanilah aku dengan-nya.’ Aku mengatakan, ‘Pakaian ini sudah usang.’ Ia menjawab, ‘Orang hidup lebih berhak dengan pakaian yang baru daripada mayit. Pakaian itu hanyalah untuk cairan mayit.’ Ia tidak wafat hingga petang malam Selasa, dan ia dikuburkan sebelum Shubuh.”

Aku katakan, “Kata rad‘ dengan memfathahkan ra’, mensukunkan dal, dan dengan ‘ain (tanpa titik) bermakna bekas. Kata mihlah, diriwayatkan dengan mendhammahkan mim, memfathahkan dan mengkasrahkannya; tiga logat, sementara ha’ disukunkan ialah nanah yang keluar dari tubuh mayit.

Kami meriwayatkan dalam Shahih al-Bukhari, bahwa Umar bin al-Khath-thab y berkata ketika terluka,

إِذَا أَنَا قُبِضْتُ، فَاحْمِلُوْنِيْ، ثُمَّ سَلِّمْ، وَقُلْ: يَسْتَأْذِنُ عُمَرُ: فَإِنْ أَذِنَتْ لِي (يَعْنِيْ عَائِشَةَ)، فَأَدْخِلُوْنِيْ، وَإِنْ رَدَّتْنِيْ، فَرُدُّوْنِيْ إِلَى مَقَابِرِ الْمُسْلِمِيْنَ.

“Jika aku mati, bawalah aku, kemudian ucapkanlah salam dan katakanlah, ‘Umar meminta izin (untuk dikuburkan dekat Nabi[Shallallahu ‘alaihi wasallam] dalam rumah Aisyah, ed).’ Jika ia (yakni Aisyah) mengizinkanku, maka masukkanlah aku, dan jika ia menolakku, maka bawalah aku ke pekuburan kaum Muslimin’.”

Kami meriwayatkan dalam Shahih Muslim, dari Amir bin Sa’ad bin Abi Waqqash, ia mengatakan, “Sa’ad berkata,

اِلْحَدُوْا لِيْ لَحْدًا، وَانْصِبُوْا عَلَيَّ اللَّبِنَ نَصْبًا كَمَا صُنِعَ بِرَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم .

‘Buatlah lahad untukku, dan tancapkanlah batu bata di atas kuburku, sebagaimana yang diperbuat pada kuburan Rasulullah[Shallallahu ‘alaihi wasallam].”

Kami meriwayatkan dalam Shahih Muslim, dari Amr bin al-Ash[radiyallahu ‘anhu], bahwa ia mengatakan pada saat menjelang kematiannya,

إِذَا أَنَا مِتُّ، فَلاَ تَصْحَبْنِي نَائِحَةٌ وَلاَ نَارٌ، فَإِذَا دَفَنْتُمُوْنِي فَشُنُّوْا عَلَيَّ التُّرَابَ شَنًّا، ثُمَّ أَقِيْمُوْا حَوْلَ قَبْرِي قَدْرَ مَا تُنْحَرُ جَزُوْرٌ وَيُقْسَمُ لَحْمُهَا حَتَّى أَسْتَأْنِسَ بِكُمْ وَأَنْظُرَ مَاذَا أُرَاجِعُ بِهِ رُسُلَ رَبِّي.

“Jika aku mati, jangan ada ratapan dan api yang menyertaiku. Jika kalian menguburku, tuangkanlah debu di atas tubuhku. Kemudian berdiamlah di sekitar kuburku selama waktu (yang diperlukan bagi) unta dipotong dan dibagi-bagikan dagingnya, sehingga aku bisa tenang bersama kalian dan mendapat waktu tangguh (untuk mendapatkan jawaban) apa yang akan aku berikan kepada para utusan Rabbku.”

Aku katakan, Ucapannya “شُنُّوْا”, diriwayatkan dengan sin muhmalah dan mu’jamah, yang maknanya: Tuangkanlah sedikit demi sedikit.

Kami meriwayatkan, yang semakna dengan ini, hadits Hudzaifah yang telah lalu dalam bab memberitahukan kepada sahabat mayit akan kematiannya, dan hadits-hadits selainnya. Apa yang telah kami sebutkan adalah sudah cukup. Billahi at-taufiq.

Aku katakan, “Semestinya semua yang diwasiatkan oleh mayit tidak perlu diikuti. Tetapi hal itu dikonsultasikan kepada para ulama; bila mereka membolehkan, maka dikerjakan dan jika tidak membolehkan, maka tidak boleh dilakukan. Aku akan menye-butkan sejumlah contoh mengenai hal itu: Jika ia berwasiat agar dimakamkan di suatu tempat dari pekuburan negerinya, sementara tempat itu adalah tempat orang-orang pilihan, maka hendaklah wasiatnya dilaksanakan. Jika ia berwasiat agar dishalatkan oleh orang asing, maka apakah ia lebih didahulukan untuk menshalatkannya dibandingkan kerabat mayit? Mengenai hal ini terdapat perselisihan ulama, namun yang shahih dalam madzhab kami adalah, bahwa kerabat lebih utama untuk menshalatkannya. Tetapi jika orang yang diwasiatkan tersebut termasuk kaum yang shalih atau ulama, di samping bertakwa dan memiliki nama harum, maka dianjurkan bagi kerabat yang kualitasnya tidak seperti ke-adaannya untuk mendahulukannya demi menunaikan hak mayit. Jika ia berwasiat agar dimakamkan di dalam peti, maka wasiatnya tidak dilaksanakan, kecuali bila tanahnya gembur atau lembek yang memang diperlukannya, maka wasiatnya boleh dilaksanakan, dan biayanya diambil dari pokok hartanya seperti kain kafan. Jika ia berwasiat supaya dibawa ke negeri lain, maka wasiatnya tidak boleh dilaksanakan, karena membawanya adalah haram menurut pendapat yang shahih dan terpilih yang dinyatakan dan ditegas-kan oleh para peneliti (muhaqqiqun). Dikatakan (dalam riwayat yang lain), ‘Makruh.’ Asy-Syafi’i[rahimahullah]mengatakan, “Kecuali bila dekat Makkah, Madinah atau Baitul Maqdis, maka dia dibawa ke sana karena keberkahannya. Jika ia berwasiat agar dikuburkan dengan diletakkan kasur di bawahnya, atau bantal di bawah kepalanya dan sejenisnya, maka wasiatnya tidak boleh dilaksanakan. Demikian pula jika ia berwasiat agar dikafankan dengan sutera, maka mengkafankan seorang laki-laki dengan sutera adalah haram, semen-tara bagi wanita adalah dimakruhkan, tidak diharamkan. Sementara banci dalam hal ini adalah seperti laki-laki. Jika ia berwasiat supaya dikafani dengan pakaian yang melebihi jumlah kafan yang disyariatkan atau pakaian yang tidak menutupi badan, maka wasiat-nya tidak boleh dilaksanakan. Sekiranya ia berwasiat agar dibacakan al-Qur`an di sisi kuburnya, dikeluarkan sedekah atas namanya, dan berbagai jenis ibadah lainnya, maka wasiatnya boleh dilaksanakan, kecuali bila hal itu disertai dengan sesuatu yang dilarang oleh syariat. Jika ia berwasiat agar penguburannya ditunda melebihi ketentuan syariat, maka itu tidak boleh dilaksanakan. Sekiranya ia berwasiat agar dibangun sebuah bangu-nan di atasnya di pekuburan umum kaum Muslimin, maka wasiatnya tidak boleh dilak-sanakan, bahkan hal itu diharamkan.

BAB UCAPAN ATAU SELAINNYA YANG BERMANFAAT BAGI MAYIT

Para ulama bersepakat bahwa doa untuk orang-orang yang sudah mati bermanfaat bagi mereka dan pahalanya sampai kepada mereka. Mereka berhujjah.
dengan firman Allah[Subhanahu waTa`ala]

وَالَّذِينَ جَآءُو مِن بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلإِخْوَانِنَا
الَّذِينَ سَبَقُونَا بِاْلإِيمَانِ

“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa, ‘Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami’.” (Al-Hasyr: 10)

dan ayat-ayat lainnya yang masyhur maknanya, dan dalam hadits-hadits masyhur seperti ucapan Nabi[Shallallahu ‘alaihi wasallam],

اللّهُمَّ اغْفِرْ لأَهْلِ بَقِيْعِ الْغَرْقَدِ.

“Ya Allah, ampunilah penghuni Baqi’ al-Gharqad.”

Dan seperti ucapannya,
اللّهُمَّ اغْفِرْ لِحَيِّنَا وَمَيِّتِنَا.

p[]“Ya Allah, ampunilah orang yang masih hidup dan orang yang sudah mati di antara kami.” dan selainnya.

Para ulama berbeda pendapat tentang sampainya bacaan al-Qur`an kepada mayit, dan yang masyhur dari pendapat asy-Syafi’i dan segolongan ulama bahwa bacaan tersebut tidak sampai. Sementara Ahmad bin Hanbal dan segolongan ulama dari sahabat asy-Syafi’i berpendapat bahwa bacaan tersebut sampai kepadanya. Namun, yang dipilih ialah hendaklah pembaca mengucapkan setelah selesai membacanya,

اللّهُمَّ أَوْصِلْ ثَوَابَ مَا قَرَأْتُهُ إِلَى فُلاَنٍ.

“Ya Allah, sampaikanlah pahala apa yang aku bacakan kepada fulan.”

Dianjurkan pula memuji mayit dan menyebut-nyebut berbagai kebaikannya.

Kami meriwayatkan dalam Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim, dari Anas[radiyallahu ‘anhu], ia mengatakan,

مَرُّوْا بِجَنَازَةٍ، فَأَثْنَوْا عَلَيْهَا خَيْرًا، فَقَالَ النَّبِيُّ صلى الله عليه و سلم، وَجَبَتْ. ثُمَّ مَرُّوْا بِأُخْرَى، فَأَثْنَوْا عَلَيْهَا شَرًّا، فَقَالَ: وَجَبَتْ. فَقَالَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ رضي الله عنه : مَا وَجَبَتْ؟! قَالَ: هذَا أَثْنَيْتُمْ عَلَيْهِ خَيْرًا فَوَجَبَتْ لَهُ الْجَنَّةُ، وَهذَا أَثْنَيْتُمْ عَلَيْهِ شَرًّا فَوَجَبَتْ لَهُ النَّارُ، أَنْتُمْ شُهَدَاءُ اللهِ فِي اْلأَرْضِ.

“Mereka melewati satu jenazah, lalu mereka memujinya, maka Nabi[Shallallahu ‘alaihi wasallam] bersabda, ‘Wajib.’ Kemudian mereka melewati jenazah lainnya, lalu mereka mencelanya, maka beliau bersabda, ‘Wajib.’ Mendengar hal itu Umar bertanya, ‘Apakah yang wajib?’ Beliau menjawab, ‘Ini kalian puji, maka wajib baginya surga. Sementara ini kalian cela, maka wajib baginya neraka. Kalian adalah para saksi Allah di muka bumi’.”

Kami meriwayatkan dalam Shahih al-Bukhari, dari Abu al-Aswad, ia ber-kata,

قَدِمْتُ الْمَدِيْنَةَ، فَجَلَسْتُ إِلَى عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رضي الله عنه: فَمَرَّتْ بِهِمْ جَنَازَةٌ، فَأُثْنِيَ عَلَى صَاحِبِهَا خَيْرٌ، فَقَالَ عُمَرُ: وَجَبَتْ. ثُمَّ مُرَّ بِأُخْرَى، فَأُثْنِيَ عَلَى صَاحِبِهَا خَيْرٌ، فَقَالَ عُمَرُ: وَجَبَتْ. ثُمَّ مُرَّ بِالثَّالِثَةِ، فَأُثْنِيَ عَلَى صَاحِبِهَا شَرٌّ، فَقَالَ عُمَرُ: وَجَبَتْ. فَقَالَ أَبُو اْلأَسْوَدِ: فَقُلْتُ: وَمَا وَجَبَتْ يَا أَمِيْرَ الْمُؤْمِنِيْنَ؟ قَالَ: قُلْتُ كَمَا قَالَ النَّبِيُّ صلى الله عليه و سلم أَيُّمَا مُسْلِمٍ شَهِدَ لَهُ أَرْبَعَةٌ بِخَيْرٍ أَدْخَلَهُ اللهُ الْجَنَّةَ. فَقُلْنَا: وَثَلاَثَةٌ. قَالَ: وَثَلاَثَةٌ. فَقُلْنَا: وَاثْنَانِ. قَالَ: وَاثْنَانِ. ثُمَّ لَمْ نَسْأَلْهُ عَنِ الْوَاحِدِ.

“Aku tiba di Madinah lalu aku duduk di dekat Umar bin al-Khaththab[radiyallahu ‘anhu], lalu satu jenazah lewat di hadapan mereka lantas jenazah tersebut dipuji, maka Umar mengatakan, ‘Wajib.’ kemudian Umar dilewati oleh jenazah lainnya, lalu dipujilah jenazah tersebut dengan pujian kebaikan, maka Umar berkata, ‘Wajib’. Kemudian Umar dilewati oleh jenazah ketiga, lalu dicelalah jenazah ter-sebut dengan celaan kejelekan, maka Umar berkata, ‘Wajib’. Abu al-Aswad berkata, “Mendengar hal itu, aku bertanya, ‘Apakah yang wajib, wahai Amirul Mukminin?’ Ia menjawab, ‘Aku menga-takan sebagaimana yang dikatakan Nabi[Shallallahu ‘alaihi wasallam], ‘Setiap Muslim yang disaksikan kebaikannya oleh empat orang, maka Allah memasukkannya ke dalam surga.’ Lalu kami bertanya, ‘(Kalau disaksikan) oleh tiga orang?’ Beliau menjawab, ‘Juga tiga orang.’ Kami bertanya, ‘Oleh dua orang?’ Beliau menjawab, ‘Juga dua orang.’ Kemudian kami tidak menanyakannya tentang satu orang’.”
Hadits-hadits yang senada dengan sesuatu yang telah kami sebutkan cukup banyak. Wallahu a’lam.

BAB LARANGAN MENCACI MAKI ORANG YANG SUDAH MATI

Kami meriwayatkan dalam Shahih al-Bukhari, dari Aisyah[radiyallahu ‘anhu], ia menga-takan, “Rasulullah[Shallallahu ‘alaihi wasallam] bersabda,

لاَ تَسُبُّوا اْلأَمْوَاتَ، فَإِنَّهُمْ قَدْ أَفْضَوْا إِلَى مَا قَدَّمُوْا.

‘Janganlah mencaci maki orang yang sudah mati, karena mereka telah sampai pada sesuatu (balasan) yang dulu mereka kerjakan’.”

Kami meriwayatkan dalam Sunan Abu Dawud dan Sunan at-Tirmidzi dengan sanad dhaif yang didhaifkan oleh at-Tirmidzi, dari Ibnu Umar[radiyallahu ‘anhu], ia mengatakan, “Rasu-lullah[Shallallahu ‘alaihi wasallam] bersabda,

اُذْكُرُوْا مَحَاسِنَ مَوْتَاكُمْ، وَكُفُّوْا عَنْ مَسَاوِيْهِمْ.

“Sebutlah kebaikan-kebaikan orang yang sudah mati di antara kalian, dan tutupilah keburukan-keburukan mereka.”

Aku katakan, “Menurut para ulama, ‘Diharamkan mencaci maki mayit Muslim yang tidak menyatakan kefasikannya. Adapun orang kafir dan orang yang menya-takan kefasikannya dari kalangan kaum Muslimin, maka terdapat perselisihan mengenai hal itu di kalangan salaf. Terdapat nash-nash yang saling kontradiksi, dan hasilnya ada-lah bahwa terdapat larangan mencaci maki orang yang sudah mati sebagaimana yang kami sebutkan dalam bab ini. Namun banyak juga nash-nash yang memberi keringanan untuk mencaci berbagai keburukan, di antaranya: Pertama, apa yang dikisahkan oleh Allah dalam kitab suciNya dan memerintahkan kita untuk membacanya serta menyebarkan bacaannya. Kedua, banyak hadits dalam ash-Shahih, seperti hadits yang menyebutkan tentang Amr bin Luhay, kisah Abu Righal, (dan) kisah orang yang mencuri barang orang yang sedang berhaji dengan tongkatnya, kisah Ibnu Jud’an dan selainnya. Ketiga, hadits shahih yang telah kami kemukakan; ketika lewat satu jenazah, mereka mencelanya dan Nabi[Shallallahu ‘alaihi wasallam] tidak mengingkari mereka, bahkan beliau mengatakan, “Wajib.” Para ulama berselisih pendapat tentang mengkompromikan di antara nash-nash tersebut dalam sejum-lah pendapat, dan yang paling shahih serta paling jelas adalah, bahwa orang-orang yang mati dari kalangan kaum kafir boleh disebutkan keburukan mereka. Adapun orang-orang yang mati dari kalangan kaum Muslimin yang menyatakan kefasikan, kebid’ahan atau sejenisnya, maka boleh pula menyebut mereka dengan hal itu, jika ada kemaslahatannya, karena itu dibutuhkan untuk memperingatkan (kaum Muslimin yang masih hidup) agar waspada dengan ihwal mereka, dan tidak menerima apa yang mereka katakan serta mengikuti apa yang mereka perbuat. Jika tidak dibutuhkan, maka tidak boleh. Berdasar-kan perincian inilah nash-nash tersebut ditempatkan. Sementara para ulama bersepakat untuk menyatakan cacat para perawi yang memang cacat. Wallahu a’lam.

BAB DOA YANG DIUCAPKAN OLEH PEZIARAH KUBUR

Kami meriwayatkan dalam Shahih Muslim, dari Aisyah[radiyallahu ‘anha], ia mengata-kan,

كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم كُلَّمَا كَانَ لَيْلَتُهَا مِنْ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه و سلم يَخْرُجُ مِنْ آخِرِ اللَّيْلِ إِلَى الْبَقِيْعِ، فَيَقُوْلُ: اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ دَارَ قَوْمٍ مُؤْمِنِيْنَ، وَأَتَاكُمْ مَا تُوْعَدُوْنَ، غَدًا مُؤَجَّلُوْنَ،
وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللهُ بِكُمْ لاَحِقُوْنَ اللّهُمَّ اغْفِرْ لأَهْلِ بَقِيْعِ الْغَرْقَدِ.

“Rasulullah[Shallallahu ‘alaihi wasallam], pada setiap malam giliran Aisyah, keluar pada akhir malam ke pekuburan Baqi’ lalu mengucapkan, ‘Semoga keselamatan terlimpah atas kalian wahai penduduk negeri kaum Mukminin. Apa yang dijanjikan kepada kalian kelak datang kepada kalian, dan kami insya Allah akan menyusul kalian. Ya Allah, ampunilah para penghuni Baqi’ al-Gharqad’.”

Kami meriwayatkan dalam Shahih Muslim, dari Aisyah[radiyallahu ‘anhu] juga bahwa ia mengatakan,

كَيْفَ أَقُوْلُ يَا رَسُوْلَ اللهِ (تَعْنِيْ: فِي زِيَارَةِ الْقُبُوْرِ) قَالَ: قُوْلِي: اَلسَّلاَمُ عَلَى أَهْلِ الدِّيَارِ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُسْلِمِيْنَ، وَيَرْحَمُ اللهُ الْمُسْتَقْدِمِيْنَ مِنَّا وَالْمُسْتَأْخِرِيْنَ، وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللهُ بِكُمْ لاَحِقُوْنَ.

“Bagaimana yang aku ucapkan, wahai Rasulullah (yakni, saat berziarah kubur)?” Beliau menjawab, “Ucapkanlah, ‘Semoga keselamatan terlimpah atas penghuni negeri (maksudnya peku-buran, ed.) dari kalangan kaum Mukminin dan Muslimin. Semoga Allah merahmati orang-orang yang terdahulu dan yang terkemudian di antara kami. Sesungguhnya kami, insya Allah, akan menyusul kalian’.”

Kami meriwayatkan dengan sanad-sanad shahih dalam Sunan Abu Dawud, Sunan an-Nasa`i dan Sunan Ibnu Majah, dari Abu Hurairah[radiyallahu ‘anhu],

أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم خَرَجَ إِلَى الْمَقْبَرَةِ، فَقَالَ: اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ دَارَ قَوْمٍ مُؤْمِنِيْنَ، وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللهُ بِكُمْ لاَحِقُوْنَ.

“Bahwa Rasulullah[Shallallahu ‘alaihi wasallam] keluar ke pekuburan lalu mengucapkan, ‘Semoga keselamatan terlim-pah atas kalian, wahai penghuni negeri (pekuburan, ed.) kaum yang beriman. Sesungguhnya Kami insya Allah akan menyusul kalian’.”

Kami meriwayatkan dalam kitab at-Tirmidzi, dari Ibnu Abbas[radiyallahu ‘anhu], ia me-ngatakan,

مَرَّ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم بِقُبُوْرِ الْمَدِيْنَةِ، فَأَقْبَلَ عَلَيْهِمْ بِوَجْهِهِ، فَقَالَ: اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ يَا أَهْلَ الْقُبُوْرِ، يَغْفِرُ اللهُ لَنَا وَلَكُمْ، أَنْتُمْ سَلَفُنَا وَنَحْنُ بِاْلأَثَرِ.

“Rasulullah[Shallallahu ‘alaihi wasallam] melewati kubur-kubur di Madinah, maka beliau menghadapkan wajahnya pada mereka seraya mengucapkan, ‘Semoga keselamatan terlimpah atas kalian, wahai penghuni kubur. Semoga Allah mengampuni kami dan kalian. Kalian mendahului kami dan kami akan menyusul’.” (At-Tirmidzi menilai sebagai hadits hasan).

Kami meriwayatkan dalam Shahih Muslim, dari Buraidah, ia mengata-kan,

كَانَ النَّبِيُّ صلى الله عليه و سلم يُعَلِّمُهُمْ إِذَا خَرَجُوا إِلَى الْمَقَابِرِ أَنْ يَقُوْلَ قَائِلُهُمْ: اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ أَهْلَ الدِّيَارِ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ، وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللهُ بِكُمْ لَلاَحِقُوْنَ، أَسْأَلُ اللهَ لَنَا وَلَكُمُ الْعَافِيَةَ.

“Nabi[Shallallahu ‘alaihi wasallam] mengajarkan kepada mereka, ketika pergi ke pekuburan, agar mengucapkan, ‘Semoga keselamatan terlimpah atas kalian, wahai penghuni negeri (pekuburan, ed.) dari kalangan kaum Mukminin, dan kami insya Allah akan menyusul kalian. Aku memohon kepada Allah keafiatan untuk kami dan untuk kalian’.”

Kami meriwayatkannya dalam kitab an-Nasa`i dan Ibnu Majah seperti ini, dan an-Nasa`i menambah, setelah lafazh ” لَلاَحِقُوْنَ”, “Kalian mendahului kami, dan kami akan menyusul kalian.”

Kami meriwayatkan dalam kitab Ibn as-Sunni, dari Aisyah[radiyallahu ‘anha],

أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه و سلم أَتَى الْبَقِيْعَ، فَقَالَ: اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ دَارَ قَوْمٍ مُؤْمِنِيْنَ، أَنْتُمْ لَنَا فَرَطٌ وَإِنَّا بِكُمْ لاَحِقُوْنَ. اللّهُمَّ لاَ تَحْرِمْنَا أَجْرَهُمْ، وَلاَ تُضِلَّنَا بَعْدَهُمْ.

“Bahwa Nabi[Shallallahu ‘alaihi wasallam] datang ke al-Baqi’ lalu mengucapkan, ‘Semoga keselamatan terlimpah atas kalian, (wahai penghuni) negeri kaum Mukminin, kalian telah mendahului kami dan kami insya Allah akan menyusul kalian. Ya Allah, janganlah Engkau halangi kami mendapatkan pahala mereka, dan janganlah Engkau sesatkan kami sepeninggal mereka’.”

Peziarah kubur dianjurkan untuk memperbanyak membaca al-Qur`an, berdzikir, dan berdoa untuk para penghuni pekuburan itu, semua orang yang sudah mati, dan kaum Muslimin seluruhnya. Dianjurkan memperbanyak ziarah, dan memperbanyak berdiri di sisi kubur ahli kebajikan dan keutamaan.
BAB PEZIARAH MELARANG ORANG YANG DILIHATNYA UNTUK MENANGIS KARENA BERSEDIH DI SISI KUBUR,
Memerintahkannya Untuk Bersabar, Juga Melarangnya Dari Hal-hal Lain Yang Dilarang Oleh Syariat

Kami meriwayatkan dalam Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim, dari Anas[radiyallahu ‘anhu]

, ia mengatakan,

مَرَّ النَّبِيُّ باِمْرَأَةٍ تَبْكِيْ عِنْدَ قَبْرٍ، فَقَالَ: اِتَّقِي اللهَ وَاصْبِرِيٌ.

“Nabi[Shallallahu ‘alaihi wasallam] melewati seorang wanita yang sedang menangis di sisi kubur, maka beliau menga-takan, ‘Bertakwalah kepada Allah dan bersabarlah‘”

Kami meriwayatkan dalam Sunan Abu Dawud, Sunan an-Nasa`i dan Sunan Ibnu Majah dengan sanad hasan, dari Basyir bin Ma’bad, yang dikenal dengan sebutan Ibnu al-Khashashiyah[radiyallahu ‘anhu], ia mengatakan,

بَيْنَمَا أَنَا أُمَاشِي النَّبِيَّ صلى الله عليه و سلم ، نَظَرَ، فَإِذَا رَجُلٌ يَمْشِي بَيْنَ الْقُبُوْرِ، عَلَيْهِ نَعْلاَنِ، فَقَالَ: يَا صَاحِبَ السِّبْتِيَّتَيْنِ، أَلْقِ سِبْتِيَّتَيْكَ ….وَذَكَرَ تَمَامَ الْحَدِيْثِ.

“Tatkala aku berjalan bersama Nabi a, beliau memandang, ternyata ada seorang laki-laki yang berjalan di antara kubur-kubur dengan memakai sandal, maka beliau mengatakan, ‘Wahai orang yang memakai dua sandal, lepaskanlah kedua sandalmu…‘ seraya menyebutkan kelan-jutan hadits.”

Aku katakan, “Sibtiyyah ialah sandal yang tidak ada bulu di atasnya. Yaitu dengan kasrah sin dan mensukunkan ba’ muwahhadah (huruf yang bertitik satu).”

Umat telah sepakat atas wajibnya menyuruh yang ma’ruf dan mencegah yang mung-kar. Dalil-dalil mengenai hal itu dalam al-Qur`an dan as-Sunnah sudah masyhur. Wallahu a’lam.
BAB MENANGIS DAN TAKUT KETIKA MELEWATI KUBUR KAUM YANG ZHALIM DAN TEMPAT MEREKA DIBINASAKAN,
Serta Menampakkan Kebutuhan Kepada Allah[Subhanahu waTa`ala] Dan Memperingatkan Agar Tidak Lalai Terhadap Hal Itu

Kami meriwayatkan dalam Shahih al-Bukhari,( dari Ibnu Umar [radiyallahu ‘anhu

أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم قَالَ لأَصْحَابِهِ (يَعْنِي: لَمَّا وَصَلُوا الْحِجْرَ دِيَارَ ثَمُوْدَ) لاَ تَدْخُلُوْا عَلَى هؤُلاَءِ الْمُعَذَّبِيْنَ إِلاَّ أَنْ تَكُوْنُوْا بَاكِيْنَ. فَإِنْ لَمْ تَكُوْنُوْا بَاكِيْنَ، فَلاَ تَدْخُلُوْا عَلَيْهِمْ. لاَ يُصِيْبُكُمْ مَا أَصَابَهُمْ.

[r/]

“Bahwa Rasulullah [Shallallahu ‘alaihi wasallam]mengatakan kepada para sahabatnya yakni tatkala mereka sampai di Hijr, negeri kaum Tsamud), ‘Janganlah kalian memasuki negeri kaum yang telah diazab itu, kecuali kalian dalam keadaan menangis. Jika kalian tidak menangis, maka janganlah memasuki negeri mereka; agar sesuatu yang telah menimpa mereka tidak menimpa kalian’.”
Ini adalah sanad yang semua perawinya bisa dipercaya. Kecuali Khalid bin Sumair, ia sangat sedikit diperbincangkan yang mana tidak membahayakan haditsnya. Hadits ini telah dishahihkan al-Hakim, adz-Dzahabi, Ibnu al-Qayyim, al-Haitsami, al-Asqalani dan al-Albani. Sanad hadits ini juga dinilai baik oleh Ahmad dan selainnya, serta dihasankan oleh an-Nawawi.

Sumber : Ensiklopedia Dzikir Dan Do’a, Imam Nawawi, Pustaka Sahifa Jakarta. Disadur oleh Yusuf