Kita bisa mengetahui seorang perawi itu adalah seorang Shahabat atau bukan dari beberapa hal:

Tawatur/kabar yang mutawatir

Hal ini seperti Abu Bakar dan ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma. Apakah ada yang ragu dengan status beliau berdua sebagai Shahabat? Tentu jawabannya tidak ada yang ragu.

Kemasyhuran dan ketenaran

Kemasyhuran bisa bisa diperoleh lewat beberapa cara, contohnya:

Dhimaam bin Tsa’labah radhiyallahu ‘anhu beliau terkenal dengan haditsnya ketika beliau mendatangi/menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam

’Ukasyah bin Mihshan radhiyallahu ‘anhu terkenal kisahnya dalam hadits tentang orang yang akan masuk Surga tanpa hisab dan adzab, dan beliau adalah salah satunya.

Disebutkan namanya secara tegas dalam hadits shahih

Seperti disebutkan namanya dalam hadits, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam didatangi oleh Fulan bin Fulan, maka berarti dia adalah Shahabat, atau hadits tersebut sanadnya bersambung kepada seseorang yang mengabarkan bahwa Fulan temasuk orang yang ikut berperang bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, atau pemberitahuan dengan cara apapun bahwa seseorang tertentu terbukti statusnya sebagai Shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.

Pengukuhan dari Tabi’in

Pengukuhan dari salah seorang Tabi’in bahwa Fulan adalah seorang Shahabat, dan ini diketahui dari ucapannya, seperti ketika Tabi’in mengucapkan:”Aku telah mendengar salah seorang Shahabat Nabi dan dia itu adalah Fulan bin Fulan.

Pernyataan dari dirinya sendiri

Pernyataan dari diri seorang perawi bahwasanya dia berjumpa dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam seperti kalau dia mengatakan:”Aku telah mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda demikian dan demikian” atau dia mengatakan:”Sesungguhnya aku adalah termasuk salah seorang yang bershahabat dengan Nabi.” Akan tetapi yang ini dibutuhkan beberapa syarat:

Pertama: Dia adalah seseorang yang adil, maksudnya adil menurut istilah ulama hadits yaitu dia berpegang teguh dengan aturan-aturan agama dengan melakukuan kewajiban-kewajiban, meninggalkan dosa-dosa besar dan tidak terus-menerus melakukan dosa kecil.

Kedua: Pengakuannya mungkin dan tidak mustahil. Maka apabila pengakuannya sebagai seorang Shahabat sebelum tahun 110 H maka ini mungkin (dia seorang Shahabat), akan tetapi apabila pengakuannya itu setelah tahun 110 H, maka pengakuanya tertolak, Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengabarkan di akhir hidupnya:

‏ ‏أرأيتكم ليلتكم هذه ؟ فإن على رأس مائة سنة منها لا يبقى ممن هو على ظهر الأرض أحد

”Apakah kalian mengetahui malam kalian ini? (maka ingatlah) Karena sesungguhnya pada penghujung seratus tahun kedepan, tidak tersisa di muka bumi ini seorang pun.” (maksudnya yang sekarang/pada saat Nabi bersabda tidak akan ada yang hidup 100 tahun kedepan) Hadits ini diriwayatkan oleh al-Bukhari rahimahullah (1/211) dengan nomor 116, Muslim rahimahullah nomor 2537 dan Abu Dawud rahimahullah nomor 348

Dan ini adalah dalil yang paling kuat sebagai bantahan terhadap orang yang menganggap bahwa Khidir masih hidup, seperti dikatakan oleh orang-orang Sufi yang salah seorang di antara mereka telah bertemu dengan Khidir dan berbicara langsung dengannya.

Muncul seorang laki-laki India pada abad keenam, namanya adalah Ratan, dia mengaku bahwa dirinya adalah salah seorang Shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, dan bahwasanya dia dipanjangkan umurnya sampai abad tersebut, lalu timbulah kerancuan dan keguncangan dalam hal ini. Maka dia dibantah oleh para Ulama di zamannya dan setelah matinya, dan di antara mereka yang membantah adalah al-Hafizh adz-Dzahabi rahimahullah dlam kitabnya dengan judul ”Kasru Watsani Ratan”.

(Sumber: Fataawaa Hadiitsiyyah halaman 29-31, Syaikh Sa’d bin ‘Abdullah Ali Humaid rahimahullah. Diposting oleh Abu Yusuf Sujono)