Realita berkata bahwa dewasa ini pemerintah di belahan penjuru bumi sedang menghadapi sebuah problem yang cukup memusingkan, yaitu merebak dan meningkatnya penyakit menular seksual, khususnya AIDS, di kalangan masyarakat dan khususnya di kalangan lapisan masyarakat usia produktif.

Dalam rangka mengatasinya pemerintah di masing-masing negara mengambil langkah-langkah yang menurutnya baik dan mujarab dalam mengekang perkembangan penyakit ini, dana yang tidak kepalang tanggung digelontorkan dan dikucurkan demi menghambat laju pertumbuhannya yang semakin hari semakin membuat miris, yang perlu dicermati dari langkah-langkah tersebut adalah bahwa ia tidak menyentuh dasar persoalan yang sebenarnya, atau bisa kita katakan, langkah-langkah yang hanya mengatasi persoalan di permukaan semata, bahkan ada langkah yang justru kontraproduktif, alias bertentangan dengan maksud dan tujuan dari langkah itu sendiri.

Seluruh pakar kesehatan dan para ahli kedokteran mengakui bahwa pemicu berkembangnya penyakit ini adalah kebebasan seksual, hidup bergonta-ganti pasangan, hidup tanpa terikat oleh jalinan pernikahan. Seluruh pakar kesehatan juga telah mengamini bahwa pencegahan adalah pengobatan terbaik, lebih-lebih sebagian dari penyakit ini belum ditemukan obatnya sampai saat ini, tidak ada cara lain untuk mengobatinya selain mencegahnya.

Tetapi yang mengherankan, pada saat pemicu penyakit ini telah disepakati oleh semua kalangan dan pengobatan terbaiknya adalah dengan mencegahnya, yang mengherankan adalah bahwa solusi yang ditawarkan dan kemudian dipraktekkan jauh panggang dari api, di mana letak nalarnya ketika kondomisasi ditawarkan sebagai sebuah solusi dalam perkara ini? Bahkan ada sebuah iklan yang mengajak menyelamatkan suatu daerah di tanah air, di mana pertumbuhan AIDS di daerah ini sangat mengkhawatirkan, dengan kondom. Siapa pun mengetahui bahwa sarung karet ini sama sekali tidak menangkal apa pun, tidak berguna, kata al-Qur`an, La yusminu wa la yughni min ju’, menggarami lautan, melempar batu ke gunung, kata pepatah. Tetapi lha kok masih diiklankan, begitulah orang yang telah terkungkung oleh kurungan hawa nafsu.

Kalau perkaranya telah disepakati bahwa pemicu penyakit menular seksual adalah seks bebas alias perzinaan, maka yang masuk akal adalah melakukan langkah-langkah meminimalkannya bahkan mematikannya, menutup pintu-pintunya, menghambat sarana-sarananya, mengubur pemicu-pemicunya. Tetapi sekali lagi memprihatinkan, hal ini sama sekali tidak dilakukan, kalaupun dilakukan maka sifatnya hanya hangat-hangat tahi ayam, sehingga yang terjadi pintu-pintunya tetap terbuka lebar, sarana-sarannya masih merajalela, akibatnya orang dengan mudah mendapatkannya semudah dia mendapatkan seteguk air atau sebungkus kacang goreng. Jerih payah para ustadz, para dai dan para mubaligh dalam menyadarkan dan membimbing masyarakat seolah-olah menguap tiada bekas di hadapan kekuatan syahwat dengan persenjataan yang lengkap.

Begitu pula ketika perkaranya telah disepakati bahwa pengobatan terbaik adalah pencegahan, dan pencegahan yang terbaik, tidak ada lagi selainnya, adalah pernikahan yang suci lagi bersih, maka semestinya dan sewajarnya jika pernikahan ini dimudahkan dan diiklankan dengan gencar, agar masyarakat khususnya anak-anak muda lebih serius melangkah ke sana, tidak sebatas bersenang-senang sesaat saja. Dan Islam sendiri sebagai agama menyeluruh dan sempurna telah mempelopori hal ini sejak pertama kali ia diturunkan.

Penulis tidak merasa berlebih-lebihan kalau mengatakan bahwa Islam melalui lembaga pernikahan yang luhur dan akhlak-akhlaknya yang mulia adalah solusi satu-satunya untuk menanggulangi mewabahnya penyakit ini. Tidak mengherankan kalau prosentase penyebaran penyakit ini di negara-negara muslim atau di masyarakat muslim jauh lebih rendah dibandingkan dengan penyebarannya di selainnya, atau dengan bahasa berbeda, penyebarannya di kalangan pasangan suami istri yang hidup bersih dan setia jauh lebih rendah daripada selainnya. Kalaupun ada seorang muslim atau orang yang telah berkeluarga, lalu dia terinfeksi penyakit ini maka kesalahan pasti ada pada dirinya, bukan pada Islam atau tatanan keluarga.

Bahaya kehidupan permisif

Ada sebagian orang berpandangan bahwa tidak menikah sebagai sebuah kebebasan, mereka mengelu-elukannya, mereka tertarik dengan prinsip menuntaskan hawa nafsu bersama siapa yang mereka inginkan, bagaimana mereka inginkan dan pada saat yang mereka inginkan. Pandangan dan pemikiran ini terlihat seolah-olah sebagai pemikiran yang lurus akan tetapi begitu ia diikuti dan akibatnya yang sangat buruk diketahui, maka pengusungnya akan menyadari dengan baik bahwa tidak ada pemikiran yang lebih membahayakan bagi kelangsungan pribadi dan masyarakat daripada pemikiran ini, karena di belakangnya adalah wabah penyakit yang membinasakan manusia, tidak itu saja ia mematikan kasih sayang dan cinta suci melalui jalinan rumah tangga.

Pada saat manusia terbenam dalam kehidupan seks bebas tanpa ikatan dan syarat, mereka memberikan seluruh perhatian kepada kehidupan permisif, pada saat itu diketahui bahwa mereka berjalan menuju lembah kebinasaan, tidak bisa tidak. Orang yang berakal pasti tidak akan rela kepada kehidupan permisif, jiwanya akan menolak memandang wanita hanya karena dia wanita yang dijadikan sebagai alat untuk melampiaskan hajat syahwat dan kenikmatan yang haram dan kotor.

Pada saat pemikiran seks bebas dilontarkan di Eropa dan Amerika, ia laris manis, orang-orang yang bersemangat merespon pemikiran ini, karena kenikmatan yang menjanjikan, akan tetapi akibatnya kehidupan mereka justru tidak berbahagia, angka bunuh diri meningkat, jumlah aborsi melonjak, prosentase anak jalanan meroket dan ikatan kasih sayang semakin melemah dan memudar. Hal ini diakui oleh orang-orang berakal dari mereka. Dari sini mereka mulai meletakkan benteng kokoh di hadapan kehidupan permisif yang mungkar ini dengan menyerukan kepada kehidupan rumah tangga demi melindungi keberadaan dan kehidupan mereka..

Pada saat manusia mengekor di belakang pemikiran ini –yakni seks bebas atau pola hidup permisif- pada saat itu mereka tidak akan menemukan batas tepi dalam mengenyangkan seks mereka, ibarat orang minum air laut, ini dari satu sisi, mereka tidak menemukan ketenangan jiwa, ini dari sisi kedua, mereka tidak akan mampu menjaga kesehatan, ini dari sisi ketiga, karena syahwat adalah kekuatan bagi manusia, jika rambu-rambu dan aturan-aturan tidak lagi berlaku maka kekuatan ini akan pudar dan padam, dalam kondisi ini akan muncul kekuatan syahwat lain yang mengarah kepada penyimpangan, karena syahwat yang normal sudah padam, orang sudah sedemikian jenuh, akhirnya mereka mencari alternatif, maka lahirnya fenomena homoseksual atau lesbian.

Apabila manusia berlepas diri dari rambu-rambu yang melindunginya maka dia tidak akan mampu berdiri kokoh di hadapan syahwatnya yang menggelora. Dia selalu ingin menuntaskan hawa nafsunya pada setiap wanita yang dilihat dan dikaguminya. Jika wanita tersebut tidak meresponnya maka dia akan sangat kecewa karena dia gagal meraih maksudnya dan menuntaskan keinginannya. Jika keinginannya selalu terwujud setiap kali maka dia menghancurkan kekuatannya dan melenyapkan kesehatannya kemudian dia kehilangan keinginan dan kendali di hadapan nafsu dan ambisinya yang menggelegak.

Dominasi hawa nafsu dalam kehidupan manusia melenyapkan keluhuran rohani dan perhatian yang layak bagi kemanusiaan, maka lenyaplah usaha-usaha yang serius lagi tulus demi masyarakat, demi umat dan demi seluruh kemanusiaan, energi dan kekuatan hanya diperuntukkan kepada seks dan seks, dari sini segi-segi luhur kehidupan memudar, kehidupan bergeser kepada kehidupan yang amburadul, malapetaka besar, kegelapan yang gulita, orang-orang terjerumus ke dalamnya lalu berusaha keluar tetapi tidak mampu. Jadi kehidupan permisif hanya akan menghancurkan kehidupan manusia itu sendiri. Wallahu a’lam.