Perilaku dan sikap beliau kepada keluarga adalah puncak hikmah dari sisi ketenangan, kemuliaan, kasih sayang, cinta, dan kesabaran. Beliau mengobati setiap kejadian dengan obat berdosis tepat lagi mujarab dan dengan tindakan yang bijak, terkadang beliau melihat, dalam suatu kondisi, kemarahan tidak berguna lebih-lebih kekerasan, walaupun sepintas kondisi tersebut mungkin memicu emosi, akan tetapi beliau bersikap tenang tanpa meremehkan, kalem namun tetap tegas, dingin tanpa mengecilkan, santun namun berpendirian, beliau mengerti bahwa tabiat di mana seorang wanita diciptakan di atasnya memiliki peranan besar dalam kondisi tersebut, yang bersangkutan tidak kuasa berpisah darinya, bahkan terkadang kondisi menunjukkannya kepada sesuatu yang berbeda dengan hakikatnya maka dia bertindak berdasarkan hal itu.

Nabi shallallohu ‘alaihi wasallam mengetahui banyak tentang perkara wanita, tabiat dan perilakunya, hal ini tidak mengherankan karena beliau berkeluarga lebih besar, bersinggungan dan bergesekan dengan mereka secara langsung, memberikan pengetahuan dan pengalaman dalam skala lebih besar. Beliau juga mengetahui bahwa perhitungan seseorang terhadap pasangannya dalam perkara besar dan kecil ibarat jarum yang menusuk jalinan kehidupan rumah tangga, jika rasa sakit karena satu tusukan bisa ditahan akan tetapi siapa yang tahan jika tusukan tersebut bertubi-tubi dan ia menitikkan darah kehidupan rumah tangga tersebut, bahkan bisa mengakhiri hubungan suami istri itu sendiri.

Oleh karena itu Nabi shallallohu ‘alaihi wasallam menghadapi beberapa kasus dalam rumah tangganya dengan diam yang berarti atau senyum penuh kasih atau kesabaran yang lembut atau gurauan yang manis yang merubah wajah kondisi tersebut, beliau bisa mengerti latar belakang pemicu kasus, beliau memahami pendorong terjadinya peristiwa, sehingga beliau menyikapinya secara proporsional, mengatasinya secara seimbang, pas dengan situasi dan kondisi, tidak meledak-ledak sarat emosi, tidak acuh tak acuh tanpa peduli, hasilnya mujarab, kasus dan peristiwa tersebut mengalir dengan sendirinya dan ia pun selesai dan rampung dengan baik.

Nabi shallallohu ‘alaihi wasallam menikahi Shafiyah binti Huyay setelah perang Khaibar, beliau pulang ke Madinah, para wanita Anshar mendengar tentang Shafiyah, mereka datang untuk melihatnya, salah seorang dari mereka adalah Aisyah, beliau memberi kesempatan kepadanya untuk melihat secara sembunyi-sembunyi, beliau menunggu sehingga Aisyah melihatnya, sambil tersenyum beliau bertanya, “Bagaimana kamu melihat?” Aisyah yang telah dirasuki oleh rasa cemburu menjawab, “Aku melihat seorang wanita Yahudi.” Nabi shallallohu ‘alaihi wasallam bersabda, “Jangan berkata begitu, dia telah masuk Islam dan Islamnya baik.”

Shafiyah datang kepada beliau mengadukan Hafshah dan Aisyah karena keduanya membanggakan diri mereka dengan mengatakan bahwa mereka berdua dari Quraisy dan masih ada hubungan kerabat, sementara dia adalah wanita asing bagi mereka, Nabi shallallohu ‘alaihi wasallam tidak marah, beliau melihat bahwa kemarahan bukan obat yang bisa dipakai menghadapi kondisi ini, beliau berpikir bagaimana mengganti kemarahan Shafiyah dengan kerelaan dan mengembalikan kedudukannya di hadapan mereka.

Dengan ketenangan orang yang bijak, beliau memalingkan Shafiyah kepada satu segi yang tidak tertandingi oleh Aisyah dan Hafshah, beliau bersabda, “Mengapa kamu tidak berkata kepada mereka berdua, ‘Bagaimana kalian berdua merasa lebih baik dariku sementara suamiku adalah Muhammad, bapakku adalah Harun dan pamanku adalah Musa?” Sebuah obat mujarab.

Anas berkata, Nabi shallallohu ‘alaihi wasallam sedang berada di rumah salah seorang istrinya, lalu salah seorang Ummul Mukminin mengirim sebuah nampan berisi makanan kepada beliau, maka istri di mana beliau sedang berada di rumahnya memukul tangan pelayan yang membawa nampan maka nampan itu terjatuh dan pecah, Nabi shallallohu ‘alaihi wasallam menggabungkan kembali nampan yang pecah tersebut, kemudian beliau mengumpulkan makanan yang tercecer dan meletakkannya di nampan itu, beliau bersabda, “Ibu kalian cemburu.” Kemudian beliau menahan pelayan itu sehingga beliau menghadirkan nampan dari istri di mana beliau sedang berada di rumahnya, beliau memberikan nampan yang tidak pecah kepada istri yang mengirim makanan dan menahan nampan yang pecah untuk istri yang memecahkannya. Istri yang cemburu tersebut adalah Aisyah sedangkan istri yang mengirim makanan adalah Shafiyah. Ada yang berkata, Zaenab.

Nabi shallallohu ‘alaihi wasallam mengetahui apa yang dilakukan oleh rasa cemburu kepada pemiliknya, oleh karena itu beliau memperhitungkan pendorong kejiwaan pada diri Aisyah dan dampaknya dalam perilakunya. Ibnu Hajar menyebutkan dari Abu Ya’la secara marfu’, “Bahwa wanita yang cemburu tidak bisa melihat mana bagian atas lembah dan mana bagian bawahnya.” (Musnad Abu Ya’la VIII/4670). Maka pada saat kabut cemburu berlalu dari depan matanya, dia menyesali apa yang telah dia lakukan secara spontan, dia bertanya kepada beliau tentang kafarat dari apa yang telah dilakukannya, beliau menjawab, “Nampan seperti nampan dan makanan seperti makanan.” Diriwayatkan oleh an-Nasa`i, Abu Dawud dan Ahmad.

Nampan yang pecah tidak akan kembali utuh dan makanan yang tumpah tidak akan kembali seperti sediakala, lalu mengapa harus marah? Beliau juga memperhitungkan dampak kejiwaan pada diri pemilik makanan dan memutus jalan perseteruan yang mungkin muncul antara dia dengan Aisyah sebagai balasan atas tindakannya yang emosional tersebut. Balasan yang adil ini dan tindakan yang bijak tersebut mengandung makna yang bisa menghalangi terulangnya perilaku ini sekali lagi.

Nabi shallallohu ‘alaihi wasallam menikahi seorang wanita suku Kindah, wanita itu diantarkan kepada beliau untuk memulai hidup berumah tangga dengan beliau, di sini rasa cemburu mulai bekerja pada sebagian Ummul Mukminin: Aisyah, Hafshah dan lainnya, mereka bersepakat menghalangi wanita tersebut dari Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam, setelah sebelumnya Aisyah berkata, “Sungguh beliau telah meletakkan tangannya pada wanita asing, dia bisa memalingkan wajah beliau dari kita.” Maka mereka sepakat menyusun sebuah rencana, dengannya mereka bisa mewujudkan apa yang mereka inginkan. Pengantin wanita tiba, mereka menyambutnya dengan memberi ucapan selamat, kemudian mereka menampakkan seolah-olah mereka tulus dan cinta, maka mereka memberinya nasihat agar berlindung kepada Allah pada saat Nabi shallallohu ‘alaihi wasallam masuk kepadanya supaya beliau ridha kepadanya dengan keridhaan yang sempurna dan menyintainya dengan kecintaan yang mendalam. Begitu wanita miskin ini, dia tidak mencium aroma tipu daya, melakukan apa yang mereka nasihatkan, dia berkata kepada Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam begitu beliau hadir kepadanya, “Audzu billah minka, aku berlindung kepada Allah darimu.” Maka Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam berpaling darinya seraya bersabda, “Sungguh kamu telah berlindung kepada pemilik perlindungan. Pulanglah ke keluargamu

Adakah jalan untuk kembali? Yang ada adalah terwujudnya rencana para wanita pemilik kecemburuan. Kemarahan dalam kondisi ini tidak akan menyambung apa yang telah terputus, tidak akan merekatkan apa yang telah retak, jalan telah tertutup, pintu telah terkunci rapat, lalu apa gunanya kemarahan?

Sikap-sikap yang mengagumkan dari Nabi shallallohu ‘alaihi wasallam yang menjelaskan bagaimana beliau memperhitungkan setiap sikap, menimbang akibatnya dan bertindak sesuai dengan tuntutan hikmah dan kecerdikan, bagaimana dengan hal itu beliau menjadi seorang yang paling bijak di mana perilakunya sejalan dengan tuntutan tabiat sebuah kejadian. Cukuplah bagimu apabila kamu mengetahui bahwa hal itu berdampak mendalam dalam kelurusan kehidupan rumah tangga di atas dasar kesetiaan dan kebaikan, kasih sayang dan keadilan, pengawasan dan kepercayaan.

Menangani suatu perkara dengan tindakan yang bijak seperti ini sejak awal meletakkan pembatas bagi efek samping yang mungkin membesar, besarnya api hanya berasal dari percikan-percikannya yang kecil. Dengan itu faktor-faktor perpecahan dan pertengkaran bisa diredam sehingga ia tidak menemukan jalannya di antara suami istri yang biasanya di mulai dengan perkara-perkara ringan yang semestinya bisa diatasi dan ditepis sejak dini. Wallahu a’lam.