Sahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu menuturkan:

سأل رجل فقال: ” متى الساعة؟.- قال: ( وما أعددت لها)؟.- قال: لا شيء، إلا أني أحب الله ورسوله.- فقال: (أنت مع من أحببت). قال أنس: فما فرحنا بشيء فرحنا بقول النبي: أنت مع من أحببت. قال أنس: فأنا أحب النبي وأبا بكر وعمر، وأرجو أن أكون معهم بحبي إياهم، وإن لم أعمل أعمالهم” [البخاري، الأدب، باب علامة الحب في الله دون قول أنس].

“Seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:‘(wahai Rasulullah) Kapan kiamat?’Beliau menjawab:‘Apa yang telah engkau siapkan untuk menyambutnya?’ Dia berkata‘Tidak ada, hanya saja aku mencintai Allah dan Rasul-Nya.’ Maka beliau bersabda:‘Engkau bersama orang yang engkau cintai.‘ Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata:‘Maka tidaklah aku bergembira melebihi kegembiraanku karena sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:’Engkau bersama orang yang engkau cintai.‘ Anas berkata:’Maka aku mencintai Nabi, Abu Bakar, dan Umar dan aku berharap bisa bersama mereka karena kecintaanku kepada mereka, walaupun aku tidak beramal seperti amalan mereka.'” (HR.al-Bukhari kitab al-Adab, bab ‘Alamatul Hub fiillah)

Setiap manusia pasti mengenal cinta, dan Islam sebagai agama yang sempurna telah mengatur masalah ini, dan bahkan Islam menjadikan cinta sebagai salah satu pilar dan rukun ibadah. Hal itu dikarenakan ibadah dalam Islam memiliki tiga pilar yaitu Khauf (rasa takut), Roja’ (harapan) dan Mahabbah (cinta). Ketiga pilar itu harus seimbang dalam kehidupan ibadah seorang muslim, karena apabila seorang muslim beribadah hanya dengan salah satu pilar dan melupakan pilar yang lain maka akan pincanglah ibadahnya. Seorang yang beribadah hanya dengan cinta saja, maka dia akan menjadi seorang sufi yang hanya cinta kepada Allah tetapi tidak takut dan tidak berharap kepada Allah, sehingga dia tidak takut terhadap siksa Allah Subhanahu wa Ta’ala. Orang yang beribadah hanya dengan Roja’ (harapan) saja juga, maka dia akan menjadi seorang Murji’ah yang selalu berharap kepada Allah tanpa takut akan siksanya sehingga dia menganggap bahwa dosa yang dia lakukan tidak akan membahayakannya. Demikian pula orang yang beribadah hanya dengan takut saja, maka dia akan menjadi seorang yang putus harapan dari rahmat Allah dan dia akan menjadi seorang Khawarij sehingga dia akan mengkafirkan pelaku-pelaku dosa besar. Maka kesimpulannya bahwa ketiga pilar ibadah tersebut harus senantiasa ada dan seimbang dalam diri setiap muslim.

Syaikh As-Sa’di rahimahullah berkata:“Pondasi tauhid dan ruhnya adalah mengikhlashkan (memurnikan) kecintaan hanya kepada Allah, dan itu adalah pondasi dari penyembahan dan penghambaan dan bahkan ia adalah hakekat tauhid, tidak sempurna tauhid sebelum sempurna kecintaan seorang hamba kepada Rabbnya.”

Cinta dalam Islam terbagi menjadi beberapa macam, Dalam salah satu kitabnya “Jawabul Kaafii” Ibnul Qayyim al-Jauziyah membagi cinta menjadi beberapa macam:

Pertama, Mahabbatullah (cinta kepada Allah)

Hal ini saja belum cukup untuk menyelamatkan seseorang dari adzab Allah dan memperoleh pahala dari-Nya. Sebab, kaum musyrikin, kaum Nasrani, Yahudi, dan selain mereka juga mencintai Allah (namun kecintaan mereka tidak bermanfaat).

Kedua, Mahabbatu maa yuhibbullah (mencintai perkara yang dicintai Allah)

Cinta yang seperti inilah yang memasukkan pemiliknya ke dalam Islam dan mengeluarkan pelakunya dari kekufuran. Dan orang yang paling dicintai Allah adalah yang paling lurus dan kuat kecintaanya terhadap apa-apa yang dicintai Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Ketiga, Al-Hubb lillah wa fillah (mencintai karena Allah dan dalam ketaatan kepada-Nya)

Hal ini merupakan konsekwensi dari mencintai perkara yang dicintai-Nya. Dan tidak lurus kecintaan terhadap sesuatu yang dicintai Allah, melainkan dengan mencintai sesuatu karena Allah dan dalam ketaatan kepada-Nya.

Keempat, Al-Mahabbatu ma’allah (mencintai selain Allah bersama Allah)

Ini adalah kecintaan yang syirik, barang siapa yang mencintai sesuatu bersama Allah bukan karena Allah, bukan sebagai sarana kepadaNya, dan bukan dalam ketaatan kepadaNya, maka dia telah menjadikan sesuatu tersebut sebagai tandingan bagi Allah. Seperti inilah kecintaan kaum musyrikin.

Kelima, cinta yang sejalan dengan tabiat

Yaitu kecenderungan seseorang terhadap perkara yang sesuai dengan tabiatnya, seperti seorang yang haus mencintai air, yang lapar mencintai makanan, seseorang mencintai isteri dan anaknya, dll. Kecintaan ini sebenarnya tidaklah tercela, kecuali jika tabiat cinta tersebut melalaikan dari mengingat Allah dan yang menyibukkan hamba dari mencintai-Nya serta taat kepadaNya. Sebagaimana yang telah Allah firmankan:

( يا أيها الذين آمنوا لا تلهكم أموالكم ولا أولادكم عن ذكر الله )

“Hai orang-orang beriman, janganlah hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian Maka mereka Itulah orang-orang yang merugi.”QS. Al-Munafiquun: 9)

Dan firman-Nya:

( رجال لا تلهيهم تجارة ولا بيع عن ذكر الله )

…orang-orang yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingat Allah.”(QS An-Nuur: 37)

Adapun Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah mengatakan bahwa cinta terbagi menjadi 2 jenis:

1. Cinta ibadah

Yaitu ketundukkan dan pengagungan, dan hendaklah ada penghormatan dalam hati seseorang kepada sesuatu yang dicintainya yang memberikan konsekwensi menjalankan apa yang diperintahkannya dan dan meninggalkan apa yang dilarangnya. Dan kecintaan ini adalah khusus bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka barang siapa mencintai selain Allah dengan kecintaan yang seperti ini (kecintaan ibadah) maka dia telah berbuat syirik besar. Dan para ulama menamakan kecintaan ini dengan kecintaan khusus (al-Mahabbah al-Khaashshah)

2. Cinta bukan ibadah

Cinta jenis ini memiliki beberapa macam:

a. Kecintaan karena Allah dan di dalam ketaatan kepada Allah

Hal itu dengan menjadikan faktor pendorong dari kecintaan ini adalah kecintaan kepada Allah. Hal ini bisa berupa kecintaan kepada manusia seperti mencintai para Nabi, para Rasul, Shiddiqin, para Syuhada dan orang-orang shalih. Bisa berupa kecintaan kepada amal perbuatan seperti mencintai shalat, zakat, dan amalan-amalan kebaikan yang lain. Dan bisa juga berupa waktu seperti mencintai bulan Ramadhan, sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah dan lain-lain. Dan berupa tempat seperti mencintai masjid, Ka’bah, gunung Uhud dan lain-lain. Kecintaan jenis ini hukumnya mengikuti jenis yang pertama (cinta ibadah).

b. Kecintaan belas kasihan dan kasih sayang

Hal itu seperti kecintaan kepada anak kecil, orang-orang dhu’afa, orang-orang sakit dan lain-lain.

c. Kecintaan penghormatan

Hal itu seperti kecintaan seseorang kepada orang tuanya, gurunya dan kepada orang tua dari kalangan orang baik.

d. Kecintaan secara tabiat (fitrah/alami)

Hal itu seperti seseorang kepada makanan, minuman, pakaian, kendaraan dan tempat tinggal.

Dan kecintaan yang paling mulia dari macam-macam kecintaan di atas (jenis kedua) adalah kecintaan yang pertama (kecintaan karena Allah dan di dalam ketaatan kepada Allah), dan kecintaan yang lainnya (dari jenis kedua) hukumnya adalah mubah/boleh, kecuali apabila disertai dengan sesuatu yang menjadikannya ibadah maka kecintaan tadi berubah menjadi ibadah. Sebagai contoh seseorang mencintai orang tuanya dengan kecintaan penghormatan, dan apabila kecintaan tersebut disertai dengan niat beribadah kepada Allah sehingga dia berbakti kepada orang tuanya maka kecintaan itu menjadi ibadah. Demikian juga seseorang mencintai anaknya dengan kecintaan kasih sayang, apabila kecintaan tersebut disertai dengan sesuatu yang mengharuskan dia menunaikan apa yang diperintahkan oleh Allah berupa menjadikan anak tersebut shalih maka jadilah kecintaan itu ibadah.

Hal yang sama juga terjadi pada kecintaan yang berupa fitrah, seperti kecintaan kepada makanan, minuman, pakaian dan tempat tinggal, apabila diniatkan dengan kecintaan tersebut adalah untuk membantu/memudahkan dia untuk beribadah maka kecintaan itu menjadi ibadah. Maka hal-hal tersebut apabila diniatkan untuk ibadah maka menjadi ibadah, karena amalan seseorang sesuai dengan niatnya sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hadits yang sudah kita hafal.

Demikian sebaliknya kecintaan-kecintaan tersebut (dari kecintaan b sampai d) bisa menjadi dosa dan kemaksiatan dan bahkan kesyirikan apabila menjadikaanya di atas kecintaan kepada Allah, dan juga apabila kecintaan pada hal-hal di atas menjadikan seseorang terjatuh kepada sesuatu yang diharamkan oleh Allah atau menjadikan dia meninggalkan larangan Allah. Sebagai contoh seorang anak meminta kepada orang tuanya sebuah mainan dan orang tuanya tidak mampu membelikannya, lantas karena kecintaannya tersebut sang ayah rela mencuri demi menyenangkan anaknya, atau seorang istri meminta pakaian baru kepada suaminya dan suaminya tidak mampu membelinya lantas dia mengkorupsi uang di kantornya demi menyenangkan istrinya. Contoh lain, seseorang menyukai olah raga tertentu, lalu demi kecintaannya terhadap olah raga tersebut dia rela menonton dan mengikuti olah raga itu sekalipun dia meninggalkan shalat. Kasus lain misalnya pasangan suami istri menginginkan hadirnya seorang anak, kemudian segala cara dia tempuh demi mendapatkan seorang anak hingga dia harus mendatangi dukun atau tempat-tempat yang dianggap keramat agar mereka bisa mendapatkan anak. Maka kecintaan mereka terhadap kehadiran anak menjadikan mereka menyekutukan Allah. Dan masih banyak contoh-contoh lain dalam kehidupan kita, dan hendaklah setiap kita memposisikan kecintaan kita kepada Allah dan Rasul-Nya pada posisi tertinggi di atas kecintaan kita kepada selain keduanya. Hal ini karena kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya adalah salah satu cara untuk meraih manisnya iman, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:

ثلاث من كن فيه وجد حلاوة الإيمان أن يكون الله ورسوله أحب إليه مما سواهما ، وأن يحب المرء لا يحبه إلا لله ، وأن يكره أن يعود في الكفر كما يكره أن يقذف في النار) متفق عليه.(

“Tiga hal apabila ketiganya terdapat dalam diri seseorang, maka dia akan mendapatkan manisnya iman, (yaitu) menjadikan Allah dan Rasul-Nya lebih dicintai melebihi selain keduanya, seseorang mencintai orang lain dan dia tidak mencintainya kecuali karena Allah dan dia benci untuk kembali kepada kekafiran sebagaimana dia membenci untuk dilemparkan kedalam neraka.”(Mutafaq ‘Alaihi)

Dan kecintaan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah salah satu syarat keimanan sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

لا يؤمن أحدكم حتى أكون أحب إليه من ولده ووالده والناس أجمعين) البخاري، الإيمان.

“Tidak beriman salah seorang di antara kalian, hingga menjadikan aku lebih dicintai melebihi kecintaannya kepada anaknya, bapaknya dan seluruh manusia.” (HR.al-Bukhari kitab al-Iman)

Disebutkan dalam shahih al-Bukhari bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah, menggandeng tangan Umar bin Khathathab radhiyallahu ‘anhu, lalu Umar berkata:

يا رسول الله! لأنت أحب إلي من كل شيء إلا من نفسي. فقال النبي: لا، والذي نفسي بيده، حتى أكون أحب إليك من نفسك. فقال له عمر: فإنه الآن والله لأنت أحب إلي من نفسي.فقال النبي: الآن يا عمر). [البخاري، الأيمان والنذور، باب كيف كانت يمين النبي].

“Wahai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, sungguh Engkau adalah orang yang paling aku cintai, melebihi segala sesuatu, kecuali di atas diriku sendiri”.Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata:” Belum, demi yang jiwaku di tangan-Nya (demi Allah), sampai engkau menjadikan Aku lebih engkau cintai melebihi dirimu sendiri.”Maka Umar berkata kepada beliau:” Maka sekarang –Demi Allah- sungguh Engkau lebih aku cintai, melebihi diriku sendiri.”Maka Nabi pun berkata:”Sekarang wahai Umar (sudah benar).” (HR. Bukhari Kitab Sumpah dan Nadzar bab Bagaimana Sumpah Nabi)

Maka kalau kita kembali pada hadits yang ada pada awal pembahasan ini kita katakan:“Bagaimana jika seandainya yang dicintai adalah artis-artis, pemusik, para pemain bola dan lain-lain?” Bagaimana pula seandainya yang diagungkan dan dirayakan sebagai simbol cinta adalah seorang pendeta Nashrani yang bernama st. Valentine yang kematiannya dijadikan hari raya valentine?” Tentunya setiap muslim takut kalau nantinya dibagkitkan bersama mereka.

Maka sekali lagi, bahwa sebuah keharusan dan kunci keselamatan adalah dengan mencintai dan mengidolakan orang-orang yang dicintai Allah Subhanahu wa Ta’ala yaitu para Nabi dan Rasul, Shiddiqin, para Syuhada dan orang-orang shalih, dengan harapan kita dibangkitkan pada hari Kiamat bersama mereka.

(Sumber: Disarikan dari ”Al-Jidz’u yahinnu Ilaihi”, oleh Dr.Luthfullah bin Malaa ‘Abdul ‘Azhim, dari www.montada.rasoulallah.net, Anwaa’ul Mahabbah kamaa Shawwarahaa Ibnul Qoyyim dari www.sahab.net, al-Qulul al-Mufid syarh Kitabut Tauhid dll. Diposting oleh Abu Yusuf Sujono)