Manakala seorang muslimah masuk ke dalam gerbang pernikahan, dia masuk ke dalam ladang ibadah, betapa tidak sementara pernikahan itu sendiri pada dasarnya merupakan ibadah. Ketaatan dan kepatuhan muslimah kepada suami, pelayanan dan pengabdiannya kepadanya, usahanya untuk membuat suami rela dan bahagia, semua itu menyaingi dan menandingi ibadah-ibadah besar semacam jihad, haji, menghadiri Jum’at dan jamaah. Bahkan respon baik yang ditunjukkan seorang istri kepada suami pada saat suaminya menginginkan dirinya merupakan lahan ibadah untuk mereka berdua.

Lahan ini akan semakin meluas manakala Allah berkenan menitipkan buah hati hasil kasih sayang suami istri. Seorang muslimah memperoleh kesibukan atau tugas baru sebagai calon ibu. Menjaga anak di dalam kandungannya selama sembilan bulan. Melahirkannya ke alam dunia dengan susah payah. Menyusui, merawatnya dan mendidiknya sehingga anak mampu melakukan kebutuhannya sehari-hari. Semua ini merupakan ladang pahala bagi ibu yang lebar lagi subur, tiada tertandingi dan tidak diraih bahkan oleh suami sekali pun. Belum lagi dalam keadaan demikian, suami juga menuntut haknya yang mengharuskan istri menunaikan kewajibannya. Belum lagi jika sang adik menyusul, adiknya lagi menyusul dan seterusnya.

Tidak dipungkiri bahwa semua itu merupakan peluang ibadah yang lebar bagi ibu jika dijalani dengan keikhlasan dan kelapangan hati. Namun semua itu adalah lahan ibadah hablum minan nas, terkait dengan manusia dan dalam hal ini adalah manusia terdekat dengan sang ibu, keluarga: suami dan anak-anak. Padahal idealnya adalah keseimbangan antara kedua hak dan kewajiban tersebut. Tidak jarang sang ibu merasa kurangnya alokasi waktu untuk kewajiban yang kedua ini atau dia melihat rada sulit untuk menyeimbangkan keduanya karena kesibukan yang pada umumnya sudah tersedot kepada kewajiban yang pertama.

Ibu tidak perlu cemas dan khawatir, masih ada celah dan peluang untuk dimanfaatkan, kembali kepada kita sendiri, bersediakah kita memanfaatkan celah walaupun itu tidaklah lebar, maukah kita menggunakan peluang meskipun ia juga tidak banyak. Kuncinya adalah kita sendiri. Baik-baik memanfaatkan dan mengatur. Salah satu ibadah terpenting yang kudu dijaga oleh para ibu adalah shalat.

Ini adalah ladang ibadah bagi seorang ibu. Penulis mengerti bahwa seorang muslimah niscaya shalat. Namun terkadang, karena kesibukan mengurusi sana-sini di dalam rumah, seorang muslimah baru bisa shalat pada saat waktu hampir habis. Ini jangan sampai terjadi. Di sini perlunya seorang ibu memanfaatkan waktu jeda di sela-sela kesibukannya. Akan lebih utama jika ibu bisa melaksanakan shalat di awal waktu karena dengan itu dia telah menunaikan hak Rabbnya dan setelahnya dia bisa fokus kepada kesibukannya tanpa terbebani kewajiban yang belum tertunaikan.

Dari Abdurrahman bin Auf berkata, Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِذَا صَلَّتِ المَرْأَةُ خَمْسَهَا وَصَامَتْ شَهْرَهَا وَحَصَنَتْ فَرْجَهَا وَأَطَاعَتْ بَعْلَهَا دَخَلَتْ مِنْ أَيِّ أَبْوَابِ الجَنَّةِ شَاءَتْ .

Jika seorang wanita menjaga shalat lima waktu, berpuasa pada bulannya, menjaga kehormatannya dan menaati suaminya, niscaya dia masuk surga dari pintu mana saja yang dia inginkan.” Diriwayatkan oleh Ahmad nomor 1661, hadits hasan lighairihi.

Perhatikanlah wahai ibu bagaimana Nabi shallallohu ‘alaihi wasallam menjadikan menjaga shalat dari seorang wanita muslimah termasuk ibu sebagai salah satu sebab diraihnya surga Allah. Maka tidak lagi ada alasan setelah ini dengan sibuk ini, sibuk itu sehingga ibadah yang mulia ini terbengkalai.

Penting pula diperhatikan bagi ibu terkait dengan menjaga shalat fardhu ini, yaitu menjaga shalat penyempurnanya, shalat rawatib qabliyah dan ba’diyah terutama yang muakkad yaitu sepuluh rakaat: dua sebelum Shubuh, dua sebelum Zhuhur dan dua setelahnya, dua ba’da Maghrib dan dua ba’da Isya`. Dari sepuluh ini yang paling muakkad lagi adalah dua qabla Shubuh, di mana Nabi shallallohu ‘alaihi wasallam menyatakan bahwa ia lebih utama daripada dunia dan segala isinya.

Penting pula diperhatikan oleh ibu terkait dengan menjaga shalat, bahwa sebaik-baik tempat shalat bagi wanita adalah rumahnya, meskipun hadir ke masjid untuk shalat tidak dilarang, namun yang lebih utama bagi ibu adalah rumah. Semakin tersembunyi tempat shalat bagi seorang wanita, semakin utama tempat tersebut.

Dari Ummu Salamah dari Nabi shallallohu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sebaik-baik masjid (tempat shalat) bagi wanita adalah di dalam rumahnya.” Diriwayatkan oleh Ahmad, Ibnu Khuzaemah dan al-Hakim, dia berkata, “Sanadnya shahih.”.

Hanya dengan satu nomor ini seorang ibu bisa merengkuh tiga keutamaan sekaligus. Menjaga shalat lima waktu, menjaga shalat rawatib dan melaksanakannya di tempat terbaik yaitu rumah.

Termasuk dalam hal ini adalah melaksanakan shalat-shalat penunjang, maksud penulis adalah shalat-shalat yang tidak berbarengan dengan shalat-shalat fardhu, seperti shalat dhuha, dua rakaat sunnah adzan, dua rakaat ba’da wudhu, shalat witir, qiyamul lail. Shalat ini mempunyai keutamaan-keutamaan tersendiri secara khusus di samping keutamaan umum yaitu menambal kekurangan yang terjadi di dalam shalat fardhu.

Shalat dhuha misalnya, waktunya sesuai dengan namanya yaitu waktu dhuha. Pada waktu tersebut biasanya ibu mempunyai jeda waktu. Pekerjaan rumah biasanya sudah rampung, suami berangkat kerja, anak-anak di sekolah, kalau anak masih menyusu biasanya pada waktu tersebut dia sedang tidur. Inilah peluang bagi ibu. Hendaknya dia tidak menyia-nyiakannya. Cukup dua rakaat atau empat rakaat saja. Tidak mengambil waktu lama bukan?

Cukup disayangkan jika shalat ini dilewatkan begitu saja, karena ia adalah shalat awwabin, orang-orang yang selalu kembali kepada Allah dengan taubat. Ia adalah salah satu wasiat Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam kepada Abu Hurairah yang selalu dia jaga. Ia mencukupi kewajiban sedekah setiap pagi untuk setiap persendian Bani Adam yang berjumlah tiga ratus enam puluh. Ia adalah penjamin meraih jaminan pencukupan dari Allah di akhir hari. Semua keutamaan ini diriwayatkan secara shahih dari Nabi shallallohu ‘alaihi wasallam.

Shalat witir misalnya, ia adalah shalat yang dicintai oleh Allah karena Allah adalah witir. Ia adalah shalat ahlul qur’an, demikian Nabi shallallohu ‘alaihi wasallam berbicara kepada mereka pada saat beliau menganjurkan shalat ini. Ia adalah salah satu wasiat Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam kepada Abu Hurairah yang selalu dia jaga. Agar lebih mudah maka ibu bisa melaksanakan shalat ini setelah shalat Isya` atau sebelum tidur, seperti yang dilakukan oleh Abu Hurairah.

Dua rakaat ba’da wudhu misalnya, jika ia dilaksanakan dengan khusu’ maka ia menjadi sebab ampunan bagi dosa-dosa yang telah berlalu, sebagaimana yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim dari Usman bin Affan berkata, “Aku melihat Rasulullah shsllallohu ‘alaihi wasallam berwudhu seperti wudhuku ini, kemudian beliau bersabda, ‘Barangsiapa berwudhu seperti wudhuku ini kemudian shalat dua rakaat tanpa berbicara kepada dirinya –maksudnya adalah khusu’- di dalamnya maka dosanya yang telah berlalu diampuni.

Shalat ini yang menjadikan Bilal masuk surga di mana Nabi shallallohu ‘alaihi wasallam mendengar suara sepasang sandalnya. Imam al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam bersabda kepada Bilal, “Wahai Bilal, katakan kepadaku tentang amalan yang paling bisa diharapkan yang kamu lakukan dalam Islam, karena aku mendengar suara kedua sandalmu di depanku di surga.” Bilal menjawab, “Aku tidak melakukan suatu amal yang paling bisa diharapkan menurutku daripada shalat sebanyak apa yang telah ditulis bagiku untuk melakukannya dan itu aku lakukan setiap aku bersuci kapan pun, di suatu waktu di malam atau siang hari.”

Ini semuanya menunjukkan kepada kita semuanya betapa besar dan pentingnya ibadah shalat dalam Islam, maka sangat tidak patut bila sebagai muslimah menyia-nyiakannya. Wallahu a’lam.