Kendala-kendala Terhadap Kompetensi[

Kendala secara bahasa artinya adanya halangan atau kondisi yang tidak sebagaimana asalnya. Bila dikaitkan dengan kejadian, artinya yang tidak permanen. Bila dikatakan ada kendala dalam urusannya, artinya ada yang menghalanginya untuk meneruskan perbuatannya sebagaimana biasanya.

Secara terminologis dalam ilmu fiqih adalah kejadian yang datang kepada seseorang di luar kewajaran sehingga melenyap-kan kompetensi yang dia miliki atau paling tidak menguranginya dan merubah justifikasinya.

Klasifikasi Kendala Kompetensi

Kendala-kendala kompetensi itu terbagi menjadi dua:

Pertama : Kendala-kendala samawi (berasal dari Sang Pen-cipta, yaitu Allah). Kendala ini tidak bisa dicampurtangani oleh manusia soal pembuatannya. Seperti kondisi gila, pingsan, linglung, tidur, sakit dan mati.

Kedua : Kendala-kendala yang diusahakan manusia. Artinya, manusia memiliki kemampuan untuk campur tangan mewujud-kannya. Seperti mabuk, ketidaktahuan dan hutang.

Gila ada kerusakan otak yang timbul karena depresi. Gila dapat melenyapkan kompetensi seseorang di tengah ia melakukan tugasnya, sehingga segala aktivitas yang dilakukan olehnya bisa batal dan menjadi sia-sia, tidak berbekas sama sekali. Hal ini tentu saja tidak bertentangan dengan soal kewajiban zakat pada hartanya, kewajibannya menanggung barang yang dirusaknya. Semua itu bukan termasuk dalam taklif, namun termasuk dalam perkara sebab akibat. Namun pertanggungjawabannya dialamat-kan kepada orang yang menjadi walinya.

Idiot, maksudnya adalah kelemahan dalam daya fikir karena lemahnya kesadaran dan daya tangkap. Penyakit ini tidak meng-hilangkan kompetensi secara keseluruhan, tetapi jelas mengu-ranginya. Segala aktivitas orang yang idiot ini disamakan dengan aktivitas anak kecil yang sudah nalar. Selama aktivitas itu me-mang bermanfaat semata, hukumnya sah. Kalau berbahaya, dianggap batal. Bila terkadang bermanfaat dan terkadang juga berbahaya, hukumnya tergantung izin dari walinya.

Sementara itu tidur dan pingsan dapat menghilangkan kom-petensi melaksanakan kewajiban dengan sempurna. Karena baro-meter kompetensi adalah akal. Sementara tidur menghilangkan akal dan mencegah kemampuan memilih. Akan tetapi pingsan dan tidur tidak menghilangkan tanggungjawab merusak barang. Karena sebagaimana telah dijelaskan, itu tidak termasuk dalam persoalan taklif. Namun berkaitan dengan hubungan sebab akibat yang konsekuensinya harus ditanggung.

Adapun mabuk, mayoritas ulama berpendapat bahwa mabuk yang diharamkan itu tidak menggugurkan pembebanan hukum, dan tidak juga menggugurkan kompetensi pelaksanaan amal. Semua aktivitas orang mabuk adalah sah dan berlaku. Namun ka-langan Malikiyah berpendapat lain, dalam riwayat yang populer dari mereka. Demikian juga Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Mere-ka menganggap seluruh aktivitas orang mabuk itu batal, dalam kondisi apapun, menggugurkan pembebanan hukum dan meng-hilangkan kompetensi melakukan amal.

Adapun ketidakmampuan, yakni lawan dari kemampuan, yakni yang menyebabkan seseorang membelanjakan harta dan menghamburkannya tanpa aturan. Segala aktivitas orang pandir semacam itu disamakan hukumnya dengan perbuatan anak kecil yang nalar. Bila memiliki kemungkinan bermanfaat dan berba-haya, dikembalikan kepada pendapat walinya. Kalau ia meng-izinkan, hukumnya sah dan berlaku. Bila tidak, ya tidak.