Dari sahabat Zaid bin Tsabit berkata, aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

نضر الله امرأ سمع منا حديثا فحفظه حتى يبلغه فرب حامل فقه إلى من هو أفقه منه ورب حامل فقه ليس بفقيه… أخرجه أبو داود في كتاب العلم.

“Semoga Allah mencerahkan wajah seseorang yang mendengar dari kami sebuah hadits, lalu menghafalnya, hingga dia menyampaikannya, maka bisa jadi dia membawa fiqh(meriwayatkan hadits) kepada orang yang lebih faqih (paham) darinya. Dan bisa jadi seorang pembawa fiqh (perawi hadits) tidak paham (terhadap hadits yang diriwayatkannya).”(HR. Abu Dawud kitab al-‘Ilmu)

Al-Qadhi ‘Iyadh rahimahullah berkata:“Ketahuilah bahwa cara meriwayatkan hadits, cara-cara mendapatkan hadits dan kaidah-kaidah periwayatan ada bermacam-macam dan hal itu terkumpul dalam delapan macam dan setiap macam memiliki cabang-cabang dan ranting-ranting.” (al-Ilma’ ila Ma’rifati ar-Riwayati wa Taqyiidi as-Samaa’)

Al-Auzaa’i rahimahullah berkata:“Hadits yang aku izinkan kepadamu seorang diri maka katakanlah ketika meriwayatkan Khabbaranii (dia mengabarkan kepadaku), haditsku yang dibacakan di hadapan jama’ah (sekelompok orang) dan engkau berada di antara mereka maka katakanlah: Khabbaranaa (dia mengabarkan kepada kami), apa yang engkau baca di hadapanku seorang diri, katakanlah:akhbarani, apa yang aku izinkan untuk jama’ah dan engkau berada di sana maka katakanlah:Khabbaranaa, apa yang aku bacakan di hadapanmu seorang diri maka katakanlah: hadatsani dan apa yang aku bacakan di hadapan jama’ah dan engkau ada di tengah-tengah mereka katakanlah: hadatsana.” (ar-Ramahurmuzi, al-muhadditsu al-Fashil)

Makna at-Tahammul dan al-Adaa’

At-Tahammul adalah mengambil atau mendapatkan hadits dari syaikh (guru) dengan salah satu cara dari cara-cara tahammul

Al-Adaa’ adalah meriwayatkan hadits dan menyampaikannya dan wajib dalam hal ini terpenuhinya kelayakan seseorang untuk mendengar hadits, menerimanya dan membawanya.

Tamyiz adalah syarat dalam kelayakan seorang perawi menerima hadits.

Yaitu seorang perawi memahami apa yang dia dengar dan dia menangkap dan menguasainya. Para ulama berbeda pendapat dalam masalah kapan seorang perawi layak (dianggap sah) mendengar hadits. Secara ringkas pendapat mereka terbagi menjadi tiga pendapat; pendapat yang mengatakan bahwa usia yang layak untuk mendengar hadits adalah 5 tahun, pendapat yang kedua yaitu perkataan al-Hafizh Musa bin Harun al-Hamal bahwa usia yang layak adalah usia kanak-kanak yang bisa membedakan antara sapi dan keledai, dan pendapat ketiga adalah bahwa usia yang layak adalah ketika seorang anak memiliki kemampuan untuk memahami pembicaraan dan bisa menjawabnya.

Syarat kelayakan al-adaa’ (menyampaikan hadits).

1. al-‘Adalah yaitu perilaku yang membawa pemiliknya untuk bertakwa.

2. Islam, tidak diterima riwayat dari orang kafir.

3. Baligh, tidak diterima riwayat seseorang yang belum sampai ke usia taklif(usia di mana seseorang dikenai kewajiban syari’at).

4. Adh-Dhabth yaitu hafal dan terjaganya hadits itu dalam tulisannya sejak mendapatkan hadits (tahammul) hingga waktu menyampaikan (adaa’).

Cara-cara tahammul

1. Sama ‘(mendengar secara langsung dari syaikh)

Yaitu mendengar hadits dari bacaan syaikh (guru), sama saja apakah syaikh tersebut mengucapkan hadits tersebut dari hafalannya atau dari bacaan kitabnya.

2. Membaca di hadapan syaikh

Yaitu seorang murid (perawi) membacakan hadits (dari hadits-hadits yang diriwayatkan syaikhnya) dan syaikhnya mendengar, sama saja apakah dia (murid) membaca sendiri atau orang lain yang membacanya dan dia mendengar dan sama saja apakah syaikh menyimak bacaan tersebut dengan hafalannya atau dengan memegang kitabnya.

3. Ijazah

Yaitu seorang syaikh memberi izin bagi muridnya untuk meriwayatkan hadits darinya, atau meriwayatkan kitabnya tanpa mendengar riwayat itu darinya.

4. Munawalah

Yaitu seorang syaikh memberikan kitab atau lembaran (yang berisi hadits) kepada muridnya untuk meriwayatkannya. Dan jenis ini ada dua macam yaitu yang disertai dengan ijazah (izin) dan yang tidak disertai dengan ijazah.

Mukatabah

Yaitu seorang syaikh menuliskan hadits yang pernah didengarnya untuk orang yang hadir di hadapannya atau untuk orang yang tidak hadir. Dan ini mencakup mukatabah yang disertai dengan ijazah ataupun yang tidak.

5. al-I’lam

Yaitu seorang perawi memberitahukan kepada muridnya tentang sumber hadits atau kitab tanpa memberi izin untuk meriwayatkannya.

7. Wasiat

Yaitu seorang ahli hadits mewasiatkan kitab-kitabnya kepada seseorang ketika syaikh tersebut meninggal atau safar (bepergian).

8. Wijadah

Yaitu seorang perawi menemukan/mendapatkan kitab atau lembaran hadits dengan tulisan seseorang dilengkapi dengan sanadnya.

Ungkapan dalam menyampaikan hadits

1 Ungkapan yang mengisyaratkan bahwa cara mendapatkan hadits tersebut lewat sama’ yaitu: sami’naa, haddatsanaa, akhbarana

2. Ungkapan yang mengisyaratkan bahwa cara mendapatkan hadits tersebut lewat cara membaca di hadapan syaikh: qara’tu ‘ala fulan(aku membaca di hadapan fulan), atau dibacakan hadits di hadapan fulan dan aku mendengarnya)

3. Ungkapan yang mengisyaratkan bahwa cara mendapatkan hadits tersebut lewat ijazan atau munawalah: akhbarana fulan ijazatan(mengabarkan kepada kami fulan secara ijazah)

4. Ungkapan yang mengisyaratkan bahwa cara mendapatkan hadits tersebut lewat mukatabah: kataba ilayya fulan qaalaa: akhbaranaa(fulan menuliskan kepadaku dan berkata: mengabarkan kepada kamu…)

5. Ungkapan yang mengisyaratkan bahwa cara mendapatkan hadits tersebut lewat I’lam dan wasiat: aushaa ilayya fulan (mewasiatkan kepadaku fulan) atau a’lamanii fulan (memberitahuku fulan).

6. Ungkapan yang mengisyaratkan bahwa cara mendapatkan hadits tersebut lewat wijadah: qara’tu bikhothi fulan: hadatsanaa fulan (aku membaca tulisan fulan: fulan mengabarkan kepada kami)

(Sumber: Taisir Mushthalahil hadits, karya Mahmud Thahan, dan طرق التحمل و الأداء في الحديث dari http://js-fes.yoo7.com/t105-topic. Diposting oleh Abu Yusuf Sujono)