Terkadang kita dapati di dalam kitab at-Tahdzib seorang perawi hadits yang para Ulama berkata tentangnya:“Tsiqah”, sedangkan ulama yang lainnya mengatakan:“Dha’if”, lantas apa yang harus kita lakukan?

Dan terkadang pula muncul suatu hukum yang berbeda dan kontradiksi dari salah satu orang imam ahli hadits, sebagai contoh Ibnu Ma’in (Yahya bin Ma’in), kadang kala dia mengatakan:“Tsiqah”, dan kadang kala mengatakan:“Dha’if”, maka bagaimana menghukuminya?

Maka untuk menjawab hal ini mari kita simak penjelasan Syaikh Sa’d bin Abdillah Alu Humaid berikut ini.

Di hadapan kalian ada dua hal atau dua sikap:

Pertama; Anda lihat orang yang men-jarh (mencacat) dan yang men-ta’dil (memberikan rekomendasi). Apakah dia termasuk orang (ulama) yang mengetahui sebab-sebab pemberian rekomendasi (kepada seorang rawi)? Jika hukum ini (tsiqah ataupun dha’if) ini muncul dari seorang imam yang memiliki pengetahuan akan hal itu, maka anda akan tenang dengan hukumnya. Lalu jika anda melihat kepada orang yang menyelisihinya dan anda dapati bahwa dia juga imam yang memiliki pengetahuan juga seperti imam yang pertama, maka di sini anda harus melihat hal yang kedua.

Kedua; anggaplah perawi itu tsiqah sebelum jelas kedhaifannya, lalu lihatlah kepada perkataan yang men-jarh (mencacat) nya, apakah dia men-jarh dengan terperinci (detail) atau tidak?

Jika dia men-jarh secara terperinci, maka jarh yang terperinci didahulukan (dikedepankan) daripada rekomendasi (ta’dil) pada kondisi seperti ini. Maka kalau salah seorang imam (ahli hadits yang kompeten dalam masalah ini) berkata:“Fulan tsiqah”, sedangkan yang lainnya berkata:“Tidak bahkan dia tidak tsiqah, karena aku melihatnya meminum khamr (minuman keras), atau karena seseorang mengabarkan kepadaku bahwa dia melihatnya meminum khamr .” Maka kita membawa perkataan imam yang memberikan rekomendasi bahwa itulah kesimpulan yang nampak tentang perawi tersebut menurut penilaiannya, adapun yang men-jarh maka dia datang dengan membawa pengetahuan yang lebih (tentang perawi tersebut) yang tidak diketahui oleh imam yang pertama, lalu kita memberikan udzur kepadanya dan mengambil pendapat imam yang men-jarhnya.

Peringatan penting

Seandainya seorang yang men-jarh berkata:“Sesungguhnya dia (salah seorang perawi hadits) meminum khamr.” Maka kita mengarahkan pandangan kita kepada perkara lain yaitu:“Apa jenis khamr yang diminumnya?”, karena ahli Kufah meminum nabidz (air perasan korma) sekalipun ia memabukkan, karena mereka berpendapat bahwa hal itu tidak haram, dan mereka berpandangan bahwa yang haram adalah khamr yang dibuat dari korma dan anggur. Dan terkadang engkau mendapati mereka meminum nabidz dengan alasan agama, seolah-olah dia mengatakan:“Aku berpendapat dengan pendapat ini, dan sebagai penguat akan hal itu maka aku menegaskannya bahwasanya aku meminumnya.”

Para ulama rahimahumullah berkata:“Maka apabila engkau melihat seorang ahli Kufah meminum nabidz maka jangan engkau jarh dia karena hal itu. Dan bila engkau melihat seorang ahli Bashrah meminumnya maka mungkin untuk men-jarhnya dengan hal itu.”

Dan bagi seseorang yang men-jarh hendaknya dia tahu dengan apa dia men-jarh seorang perawi, dan sebagian mereka terkadang jarhnya dibangun di atas sesuatu yang sebetulnya bukan cacat (alat/alasan untuk menjarh).

Contohnya: Jarir bin ‘Abdirrahman men-jarh Simak bin Harb, lalu dikatakan kepadanya:“Kenapa engkau men-jarhnya.” Dia (Jarir) menjawab:“Karena aku melihatnya kencing sambil berdiri.” –karena Jarir berpendapat dengan hadits Ibnu Abbas, dan dia tidak tahu sebab-sebab khilaf (perbedaan pendapat), karena di sini ada hadits yang bertentangan dengannya secara zhahir yaitu:

أن النبي صلى الله عليه وسلم أتى سباطة قوم فبال قائما (رواه البخاري و مسلم)

” “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mendatangi tempat pembuangan sampah milik suatu kaum. Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam kencing sambil berdiri..” (HR. Bukhari dan Muslim)

Contoh lain:

Syu’bah men-jarh al-Minhal bin ‘Umar, lalu dia ditanya:“Kenapa engkau men-jarhnya?” Dia menjawab:“Karena aku melewati depan pintu rumahnya, lalu aku mendengar suara thonbur (alat musik sejenis gitar/rebab).” Maka dikatakan kepadanya (Syu’bah):“Apakah engkau bertanya kepadanya tentang hal itu?” Dia menjawab:“Tidak, aku belum menanyakannya.” Al-Mizzi mengomentari setelah itu:“Tidakkah engkau bertanya kepadanya, barangkali dia belum tahu (bahwa musik itu haram hukumnya-ed).”

Dan kalau kita mendapati ungkapan dari Abu Hatim ar-Razi rahimahullah dalam men-dha’ifkan (melemahkan-ed) seorang perawi, maka ia mengisyaratkan bahwa hal itu dikarenakan buruknya hafalan perawi itu, seperti mengatakan:“Haditsnya ditulis akan tetapi tidak berhujjah dengannya.” Maka makna hal itu adalah bahwa dia (Abu Hatim) memandang bahwa perawi tersebut adalah orang yang adil akan tetapi dalam hafalannya ada masalah. Kemudian kita mendapati bahwa perawi ini dikatakan tsiqah (kredibel-ed) oleh al-Hakim dan Ibnu Hibban rahimahumallah. lalu kita dapatkan pula imam Ahmad berkata:“Tidak mengapa (tidak bermasalah-ed).” Maka ada 3 tingkatan, lalu apa yang harus kita lakukan?

Kita dapati bahwa Abu Hatim ar-Razi rahimahullah termasuk orang yang tegas (mudah dalam men-jarh) dalam men-jarh, dan Ibnu Hibban dan al-Hakim rahimahumallah termasuk orang yang mudah/menggampangkan dalam memberikan rekomendasi kepada perawi, sedangkan imam Ahmad rahimahullah termasuk yang pertengahan. Oleh karena itu kita mengambil yang pertengahan, dan karena Abu Hatim melihat dari sisi kelemahan (dha’if) perawi, dan Ibnu Hibban dan al-Hakim melihat dari sisi kebenaran (ketepatan) perawi. maka masing-masing dari mereka mengambil dari satu sisi lalu menghukuminya dan tidak menghukumi dengan cara umum.

Lalu datanglah hukum imam Ahmad rahimahullah di tengah-tengah dan mengatakan:“Tidak mengapa dengannya” Maka hadits tidak sampai pada derajat dha’if sebagaimana dikatakan oleh Abu Hatim dan tidak pula sampai pada derajat shahih sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Hibban dan al-Hakim, akan tetapi haditsnya hasan.

Dan apabila datang kepada kita rekomendasi dan tidak ada jarh yang menyelisihinya kita terima rekomendasi itu. Dan jika datang kepada kita jarh dan tidak ada yang rekomendasi menyelisihinya, maka dalam masalah ini ada perbedaan; Sebagian mereka berkata:“Jarhnya tidak diperinci maka hukum asalanya adalah perawi tersebut adil, dan bagaimana kita menerima jarh yang tidak diperinci?”

Dan yang benar adalah bahwa jarh yang mujmal (global/tidak diperinci-ed) bisa diterima, karena seorang perawi tidak lepas dari dua keadaan:Pertama: Menerima jarh yang ditujukan padanya, Kedua:atau dia adalah seorang perawi yang majhul (tidak dikenal-ed), dan haditsnya dha’if. Maka kedha’ifan itu ada pada dua keadaan. Wallahu A’lam

Sumber: فتاوى حديثية, Syaikh Sa’d bin Abdillah Alu Humaid, jilid 1 halaman 44-47, Dar ‘Uluumis Sunnah. Diposting oleh Abu Yusuf Sujono)