Memahami sesuatu mempunyai kode etik, rambu-rambu dan batasan-batasan, jika semua ini diperhatikan maka hasil dari sebuah pemahaman adalah kebenaran, sebaliknya adalah sebaliknya. Sumber boleh sama, namun hasil bisa berbeda makala kode etik memahami sumber tersebut berbeda. Bisa saja terjadi dua pihak menimba dan merujuk kepada satu sumber, namun apa yang didapatkan oleh keduanya ternyata tidak sama, penyebabnya adalah cara atau metode yang dipakai oleh masing-masing orang berbeda.

Hal ini berlaku pula dalam bidang dalil-dalil yang berbicara tentang Asma` wa Shifat Allah Ta’ala. Agar kita bisa menarik kesimpulan yang lurus dan pemahaman yang benar, maka diperlukan cara dan kode etik dalam memahami dalil-dalilnya, kekeliruan cara bisa bermuara kepada kekeliruan hasil, dan itu fatal.

Dalil yang menetapkan Asma` wa Shifat hanyalah al-Qur`an dan sunnah

Maka nama-nama dan sifat-sifat Allah tidak ditetapkan dengan selain keduanya. Dari sini maka nama dan sifat yang ditetapkan oleh keduanya wajib ditetapkan, nama dan sifat yang dinafikan oleh keduanya wajib dinafikan, sedangkan nama dan sifat yang tidak ditetapkan dan tidak pula dinafikan oleh keduanya, maka tidak ditetapkan dan tidak dinafikan dari sisi lafazhnya, sementara dari sisi makna maka ia harus dirinci, jika maknanya benar layak dengan kebesaran Allah maka ia diterima, jika maknanya adalah batil tidak patut bagi keagungan Allah maka ia harus ditolak.

Di antara yang ditetapkan untuk Allah adalah semua sifat yang dikandung oleh salah satu dari nama-nama Allah, baik secara muthabaqah atau tadhammun atau iltizam.

Di antara yang ditetapkan untuk Allah adalah semua sifat yang ditunjukkan oleh salah satu dari perbuatan-perbuatan Allah seperti istiwa` di atas Arasy, nuzul, turun ke langit terdekat dan seterusnya.

Di antaranya adalah sifat-sifat dzatiyah bagi Allah di mana bagi makhluk merupakan anggota tubuh, seperti wajah, dua tangan, dua mata dan lainnya.

Di antara yang dinafikan dari Allah adalah sifat-sifat kekurangan dengan menetapkan kebalikannya yang sempurna seperti al-maut, an-naum, an-nisyan, al-ajz, azh-zhulm, al-ghaflah (mati, tidur, lupa, lemah, zhalim dan lalai).

Di antara yang tidak ditetapkan dan tidak dinafikan adalah kata al-Jihah, (arah). Jika ada yang bertanya, apakah kita menetapkan arah bagi Allah? Kami menjawab kata ini tidak tertera di dalam al-Qur`an dan sunnah, tidak penetapan dan tidak pula penafian, cukup sebagai penggantinya adalah keterangan bahwa Allah di langit bersemayam di atas Arasy.

Adapun dari segi makna maka ada tiga kemungkinan. Pertama, arah bawah atau rendah, makna ini batil karena bertentangan dengan uluw, ketinggian Allah yang ditetapkan oleh al-Qur`an, sunnah, akal dan fitrah.

Kedua, arah uluw, tinggi atau atas, namun ia mengelilingi Allah, makna ini juga batil karena Allah Ta’ala lebih agung untuk dikelilingi oleh sesuatu dari makhlukNya. Ketiga, arah atas atau tinggi yang tidak mengelilingiNya, makna yang ketiga ini banar, karena Allah Ta’ala Mahatinggi atas seluruh makhlukNya tidaka da sesuatu pun dari makhluknya yang mengelilinginya.

Wajib memahami nash-nash al-Qur`an dan sunnah khususnya yang terkait dengan Asma` wa Shifat sesuai dengan zhahirnya tanpa mentahrifnya

Karena inilah yang dilakukan oleh para salaf shalih dan mereka melakukan hal itu karena memang demikianlah yang diajarkan oleh Rasulullah saw kepada mereka. Dan Allah Ta’ala telah mencela orang-orang Yahudi yang mentahrif kalam Allah dan Dia menjelaskan bahwa karena perbuatan mereka itu, mereka menjadi orang-orang yang paling jauh dari iman.

“Apakah kamu masih mengharapkan mereka akan percaya kepadamu, padahal segolongan dari mereka mendengar firman Allah, lalu mereka mengubahnya setelah mereka memahaminya, sedang mereka mengetahui?â€‌ (Al-Baqarah: 75).

Dari al-Qawa’id al-Mutsla, Ibnu Utsaimin.