Kesepuluh

Sarana Tarhiib (memberi peringatan) dan Targhiib (memberi motivasi).
Mungkin saja yang menjadikan para pembuat hadits palsu adalah perkataan ulama ” bahwasanya hadits-hadits dha’if bisa diamalkan dalam hal Fadha’il A’mal (keutamaan-keutamaan amal) dan yang semakna dengannya berupa hal-hal yang berkaitan dengan hukum-hukum dan hal-hak”. Sepertinya mereka menganggap bahwa agama ini kurang dan butuh untuk dilengkapi dan disempurnakan, sekalipun Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman:

(اليوم أكملت لكم دينكم وأتممت عليكم نعمتي ورضيت لكم الإسلام ديناً)

“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.”(QS. Al-Maa’idah: 3)

Jangan merasa heran wahai kaum muslimin yang mukhlish (ikhlash), karena sesungguhnya seluruh bid’ah dalam agama yang disebut oleh sebagian manusia bahkan sebagian ulama dengan “bid’ah hasanah”, dan mereka memberikan dalih-dalih dan menghiasinya dengan hiasan-hiasan agama (supaya seolah-olah bagian dari agama) adalah penambahan dalam agama.

Seandainya saja penambahan itu hanya dalam amalan saja tentu tidak begitu parah, akan tetapi penambahan itu juga ada dalam masalah aqidah/keyakinan juga, seperti keyakinan adanya sebagian orang shalih yang sudah mati bisa menjadi perantara antara manusia dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam memenuhi hajat (kebutuhan) mereka. Bisa jadi dengan meyakini bahwa mereka (orang mati) bisa memenuhi hajat mereka dengan sendirinya tanpa sebab, karena mereka memiliki kekuatan/kekuasaan ghaib. Atau bisa jadi Allah memenuhi hajat mereka dikarenakan kedudukan mereka, maka jadilah iradah (kehendak) Allah dalam hal itu mengikuti/tergantung iradah (kehendak) mereka, sebagaimana telah masyhur (terkenal) ucapan mereka:“Sesungguhya Allah memiliki hamba-hamba yang apabila mereka berkehendak niscaya Allah akan berkehendak (menyetujui kehendak mereka).” dan lain-lain.

Maka apabila engkau berkata kepada mereka bahwa syari’at (ajaran) kalian ini tidak diizinkan oleh Allah, mereka akan mendatangkan kepadamu perumpamaan-perumpamaan yang Allah Subhanahu wa Ta’ala bersih (Mahasuci) dari perumpamaan-perumpamaan tersebut, seperti mereka menyerupakan Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan raja-raja dan penguasa yang didekati melalui orang-orang yang dicintai mereka, supaya mereka (raja dan penguasa) melakukan sesuatu yang seandainya bukan karena perantara mereka, niscaya para raja dan penguasa itu tidak akan melakukannya. Dan mereka tidak mengetahui bahwa iradah (kehendak) Allah tidak akan berubah dikarenakan seseorang, karena pengkhususan, dan dominannya kehendak Allah berdasarkan ilmu Allah yang qadim (terdahulu) yang tidak berubah.

Kesebelas

Pembolehan meletakkan (membuat) sanad untuk sebuah ungkapan/kalimat yang bagus, supaya dikira hadits. Mereka (para ulama hadits) menyebutkan hal ini sebagai sebab munculnya hadits palsu secara terpisah, padahal ia masuk ke dalam sebab yang lalu (sebab kesepuluh).

Keduabelas

Mempopulerkan diri, ini dilakukan oleh sebagian orang yang mengaku-ngaku berilmu di hadapan orang-orang yang berbicara di sekitarnya apabila dihadapkan pada pembahasan tentang hadits. Lalu datang pertanyaan tentang kondisi hadits itu dari sisi shahih,dha’if (lemah) atau maudhu’ (palsu)nya. Maka orang yang lemah dalam agama dan rusak dalam ilmunya akan berkata:“Hadits ini diriwayatkan oleh imam Fulan dan dishahihkan oleh Fulan.” Dan ia menyandarkannya kepada kitab-kitab hadits yang jarang ditemukan, supaya orang-orang mengira kalau dia adalah orang meneliti sesuatu (hadits) yang tidak diteliti oleh selainnya, atau dia membuat sanad baru untuk hadits itu. Mereka (ahli hadits) berkata:“Barangkali saja belum pernah terlintas dalam pendengarannya lafazh hadits yang ditanyakan itu sebelumnya.”

Dan jenis ini (dari jenis-jenis pemalsuan hadits) termasuk salah satu cabang dari cabang-cabang kedustaan atas nama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Dan terkadang hadits itu didengar oleh orang-orang yang tidak mengetahui hakikat yang sebenarnya orang itu, maka dia akan meyakini kebenaran hal itu, dan dia menisbatkannya (menyandarkannya) kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan ia berkata:“Hadits ini diriwayatkan oleh Fulan dan dishahihkan oleh Fulan.” Sebagaimana yang dikatakan oleh pemalsu hadits itu.

Inilah yang disebutkan oleh para Ulama ahli hadits, kami tidak menambahkan sedikitpun dari diri kami sendiri, karena mereka, para ulama rahimahullah tidak menyisakan tempat/kesempatan berbicara bagi seseorang (karena lengkapnya penjelasan mereka). Dari sini diketahui bahwa memastikan seluruh hadits yang dipalsukan adalah sesuatu yang tidak mungkin dilakukan, dan bahwasanya sangat dibutuhkan sikap kehati-hatian dalam menerima setiap hadits yang ada dalam suatu kitab, atau yang didengar dari seseorang, hingga diketahui bahwa para Huffazh (ulama ahli hadits) bersepakat akan keshahihan riwayat itu.

Apabila salah seorang di antara mereka (para huffazh) mengkritik salah seorang perawi dalam sanad hadits itu, maka yang diikuti/di amalkan saat itu adalah apa yang dikatakan oleh mereka (ahli hadits) bahwa:“Jarh (celaan/kritikan) didahulukan daripada pujian (rekomendasi).”

Dan setelah itu kita baru mengkaji hadits itu secara dirayah (secara kandungan matan hadits), apabila dia menyelisihi sesuatu yang wujud (nampak) di alam, atau menyelisihi salah satu ushul (pokok) dari pokok-pokok syari’at yang telah valid berdasarkan al-Qur’an dan as-Sunnah yang shahih, atau menyelisihi amalan kaum muslimin generasi awal dari kalangan para Shahabat radhiyallahu ‘anhum, tabi’in dan tabi’ut tabi’in rahimahumullah, maka hadits itu tertolak atau tidak bisa dijadikan hujjah/dalil.

Kesimpulannya bahwa semua dalil-dalil yang valid dari agama ini yang sampai kepada kita secara pasti hanyalah al-Qur’an, hadits-hadits mutawatir (dan ia sangat sedikit), dan apa yang dianut oleh generasi awal umat ini berupa amal yang berkaitan dengan ibadah. Karena ibadah-ibadah dan asas-asasnya berupa aqidah, dan manajemen jiwa sudah sempurna pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam secara global maupun terperinci. Adapun hal-hal dan permasalan-permasalahan yang berkaitan dengan kasus-kasus baru dan kontemporer maka syari’at Islam telah datang dengan ushul-ushul (pokok-pokok) agama yang umum dan kaidah-kaidah yang menyeluruh, yang bisa menjawab permasalahan itu. Maka perhatikanlah masalah ini karena ia bermanfaat bagimu. Wallahu al-Muwaffiq.

(Sumber: disarikan dari أسباب وضع الحديث واختلاقه karya syaikh Rasyid Ridha rahimahullah dari http://www.bab.com/articles/full_article.cfm?id=3573. diposting oleh Abu Yusuf Sujono)