Maryam, istri Abu Utsman Sa’id bin Isma’il al-Hairi bertutur, Kami akan menunda bermain, tertawa, dan mengobrol hingga Abu Utsman masuk ke dalam wiridnya, yaitu shalat. Apabila dia telah masuk, dia akan berkhalwat dan tidak akan merasakan sedikit pun pembicaraan dan lainnya.

Suatu ketika aku duduk berdua dengannya, maka aku pun memanfaatkannya. Aku berkata, “Wahai Abu Utsman! Amalanmu yang manakah yang paling kamu harapkan?”

Dia bercerita, “Wahai Maryam, ketika aku tumbuh menjadi pemuda, ketika itu aku menggembala, dan mereka merayu-rayuku untuk menikah, tetapi aku tidak mau, kemudian seorang perempuan datang kepadaku seraya berkata, ‘Wahai Abu Utsman, aku sangat mencintaimu dengan kecintaan yang menghilangkan tidur dan ketenanganku. Aku minta kepadamu, demi Dzat Yang Maha membolak-balikkan hati, agar kamu sudi menikah denganku.’ Saya bertanya, ‘Apakah kamu memiliki orang tua?’ Ia menjawab, ‘Ya. Fulan, tukang jahit di tempat ini.’ Lalu aku mengirim surat kepadanya, dan dia mengiyakanku. Maka aku pun menikah dengannya. Ketika aku hendak menggaulinya, aku menemukannya buta sebelah, pincang, buruk rupa. Aku pun berdoa, ‘Ya Allah! milikMu-lah segala pujian atas apa yang Engkau takdirkan untukku.’ Keluargaku mencaciku atas hal itu. Tetapi aku malah tambah memuliakannya, sehingga ia tidak membiarkanku keluar dari sisinya. Aku pun tidak menghadiri majelis karena mengedepankan ridhanya dan untuk menjaga hatinya. Aku tetap bersamanya dalam keadaan ini selama lima belas tahun. Aku mendampinginya seakan-akan aku memegang bara, dan aku tidak menampakkan hal itu sedikit pun kepadanya, sampai ia meninggal. Tidak ada sesuatu pun yang lebih aku harapkan daripada kemampuanku untuk menjaga perasaannya.” ( Thara`if min at-Turats al-Arabi, hal. 267.)

Diposting oleh: Abu Thalhah Andri Abdul Halim, di nukil dari, “90 Kisah Malam Pertama” karya Abdul Muththalib Hamd Utsman, edisi terjemah cet. Pustaka Darul Haq Jakarta