Setiap keluarga tahu dan paham peranan harta dalam keluarga, ibarat bahan bakar bagi kendaraan bermotor, bila tersedia secara cukup, bila tidak maka ia tidak berjalan, bila harta tersedia secara cukup, bila tidak maka anggotanya hanya bisa duduk, agar hal ini tidak terjadi maka anggota keluarga patut berusaha.

Tanggung jawab atas harta berpijak kepada dua titik pertanyaan, dari mana ia diperoleh, dari halalkah atau haram? Keluarga muslim tentu memastikan yang pertama. Kedua, ke mana ia dibelanjakan? Ke bidang yang halal atau ke yang haram. Keluarga muslim memilih yang pertama. Untuk yang pertama ini terbagi menjadi tiga terkait dengan cara membelanjakannya, taqtir atau kikir, seimbang dan israf atau berlebih-lebihan.

Dari ketiganya yang terbaik adalah yang tengah, namanya juga seimbang, maka pasti ia yang tengah, karena seimbang itu tengah. Tentang hal ini Allah telah menetapkannya sebagai sifat Ibadurrahman, hamba-hamba ar-Rahman dalam firmanNya, “Dan orang-orang yang apabila mereka membelanjakan harta, mereka tidak berlebih-lebihan dan tidak pula kikir, akan tetapi di antara keduanya.” (Al-Furqan: 67).

Taqtir adalah kikir, termasuk terhadap diri sendiri. Ini penulis tunda dulu, kita bahas nanti saja insya Allah. Sedangkan israf adalah membelanjakan harta di bidang halal namun melampaui batas keseimbangan atau kebutuhan wajar. Walaupun bidangnya halal dan boleh, namun israf tidak boleh, karena sisi melampaui batas, sesuatu yang pada dasarnya boleh, bisa menjadi tidak boleh manakala sudah melampaui batas.

Sisi negatif israf

Pertama: Perbuatan yang tidak dicintai oleh Allah, sebagaimana Allah berfirman, “Janganlah kamu berlebih-lebihan, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (Al-An’am: 141). Tentunya bagi seorang muslim, bila sebuah perbuatan tidak dicintai Allah, dia patut meninggalkannya, karena seorang mukmin sepatutnya senantiasa mencari cinta Allah dengan melakukan apa yang Dia cintai.

Kedua: Perbuatan yang bertentangan dengan sikap syukur dan perbuatan ini tidak diridhai oleh Allah, sebagaimana Allah berfirman, “Dan jika kamu bersyukur niscaya Allah meridhai syukurmu.” (Az-Zumar: 7). Israf bukan cerminan syukur karena pelakunya tidak membelanjakannya dengan baik yang merupakan tuntutan syukur dan hal itu tidak diridhai oleh Allah.

Ketiga: Bagi keluarga, perbuatan ini dapat menggoyahkan pilarnya, karena tidak terwujudnya keseimbangan dalam anggaran pendapatan dan belanja keluarga. Bila keluarga terjerumus ke dalam israf yang sudah barang tentu menguras banyak biaya, maka ada sisi lain yang terbengkalai tanpa biaya, bila ekonomi keluarga tidak kuat, maka pilarnya akan runtuh dan keluarga akan kacau balau, bila ekonomi keluarga relatif kuat, maka yang kuat tidak perlu lama untuk keropos lalu hancur bila digerogoti oleh sikap israf.

Bentuk-bentuk Israf

Dalam keluarga bisa ditemukan beberapa bentuk israf yang dilakukan oleh anggotanya, sengaja atau tidak sengaja. Di antaranya:

Israf dalam Makan dan Minum

Dari sisi jumlah dan macam. Yang pertama berarti makanan tersebut berjumlah banyak dan melimpah, sehingga anggota keluarga tidak kuat menghabiskannya, seandainya sisanya diberikan kepada fakir miskin atau tetangga sebagai sedekah, maka tidak ada israf, karena tidak ada yang terbuang percuma, masalahnya adalah pada umumnya sisanya dibiarkan begitu saja sehingga ia basi dan akhirnya ke tempat sampah.

Dari sisi macam, maksudnya macam makanan yang dihidangkan berbagai bentuk, tidak masalah pada prinsipnya selama tidak ada yang terbuang sia-sia, namun kebiasaan berkata bahwa semakin beranekaragam makanan, semakin kecil peluang untuk memanfaatkannya karena perut sudah terisi oleh ini dan itu.

Israf di bidang ini diisyaratkan oleh firman Allah, “Makan dan minumlah dan jangan berlebih-lebihan, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (Al-A’raf: 31). Tidak dilarang sebuah keluarga menetapkan makanan dan minuman bermutu baik, berjumlah cukup dan beraneka ragam, selama hal itu sesuai dengan pendapatannya tanpa memaksanakan diri dan tanpa berlebih-lebihan.

Israf dalam Berpakaian

Dengan mengoleksi pakaian dalam jumlah banyak yang sangat jarang dipakai, bahkan mungkin hanya sekali dipakai saja dan selanjutnya menumpuk di almari pakaian sebagai pengisinya.

Berpakaian sesuai dengan kadar kepantasan, bahkan pakaian bagus dan bersih, bermutu dan baik termasuk keindahan dan “Innallaha Jamiil yuhibbul jamaal.”(sesungguhnya Alloh itu indah dan menyukai keindahan-ed) Namun semua itu bukan berarti israf. Bila misalnya lima pasang sudah mencukupi, maka untuk apa lebih dari itu? Dan biasanya yang lebih ini tidak terpakai, padahal di sana masih ada orang-orang yang pakiannya hanya satu, pakaian yang hanya meletak di tubuh saja, atau hanya dua stel saja, satu dicuci dan satu di pakai, seandainya yang lebih itu disalurkan kepada mereka niscaya lebih bermanfaat.

Israf dalam Peralatan

Hal ini bisa terlihat pada keluarga kaya, rumahnya berisi perabot-perabot mewah, bila ia dimanfaatkan, bila tidak maka itulah israf, karena yang sering terlihat adalah bahwa perabot-perabot dan barang-barang itu hanya sebatas sebagai penghias sudut ruangan atau pengisi rak semata, sama sekali tidak digunakan, padahal bila ditilik harganya maka akan membuat terbelalak sebagian orang.

Kendaraan salah satu perangkat yang banyak menyumbang sisi israf dalam keluarga, karena bagi banyak orang kendaraan bukan lagi sekedar kebutuhan, tetapi di samping itu ada sisi gengsi dan persaingan, sehingga kendaraan dimiliki bukan untuk kebutuhan inilah israf.

Sebagian keluarga menjadi pengoleksi barang antik yang manfaatnya hanya sebatas kebanggaan atau mainan semata, barang tersebut sudah sama sekali tidak berfungsi sebagaimana fungsi aslinya, namuan keluarga tersebut rela mendapatkannya dengan harga masya Allah, eh masya Allah atau naudzu billah ya? Wallahu a’lam.