Golongan yang mengingkari Asma` wa Shifat yang disebut juga Ahli Ta’thil, madzhab mereka menyeret kepada beberapa konsekuensi batil. Kebatilan konseksuensi dari suatu madzhab merupakan bukti kebatilan madzhab tersebut. Di antara konsekuensi batil madzhab ini adalah:

Pertama, bahwa Ahli Ta’thil tidak memalingkan nash-nash sifat dari zhahirnya kecuali karena mereka meyakini bahwa ia menyeret kepada tasybih (menyamakan) Allah Ta’ala dengan makhlukNya dan hal ini merupakan kekufuran karena ia berseberangan dengan firman Allah Ta’ala, “Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia.â€‌ (Asy-Syura: 11). Nuaim bin Hammad al-Khuza’i salah satu syaikh Imam al-Bukhari berkata, “Barangsiapa menyamakan Allah dengan makhlukNya maka dia telah kafir. Barangsiapa mengingkari apa yang dengannya Allah menyifati diriNya maka dia telah kafir. Sifat yang Allah tetapkan untuk diriNya dan rasulNya tetapkan untukNya tidak mengandung tasybih.â€‌ Dan sudah dimaklumi bahwa menganggap zhahir kalam Allah dan sabda rasulNya sebagai tasybih atau kekufuran atau menyeret kepada keduanya merupakan kekufuran.

Kedua, bahwa Allah Ta’ala tidak menjelaskan apa yang wajib diimani dan diyakini oleh kaum muslimin terkait dengan Asma` wa ShifatNya, akan tetapi Allah Ta’ala menyerahkan hal ini kepada akal mereka, mereka menetapkan apa yang mereka ingin dan mengingkari apa yang mereka suka. Hal ini adalah kebatilan yang nyata.

Ketiga, bahwa Nabi saw, para sahabat dan salaf shalih serta para imam mereka melalaikan perkara ilmu dan penjelasan tentang sifat-sifat yang wajib diyakini kepada Allah, atau hal itu mungkin, sebab tidak ada satu huruf pun yang dinukil dari mereka yang mendukung madzhab Ahli Ta’thil.

Dalam kondisi ini ada dua kemungkinan, Nabi saw dan para sahabatnya serta salaf shalih tidak mengetahui atau tidak mampu untuk mengetahui atau mereka mengetahui namun mereka melalaikannya dan tidak menjelaskannya kepada umat. Dua-duanya batil.

Keempat, bahwa firman Allah Ta’ala dan sabda Rasulullah saw bukan merupakan rujukan bagi manusia dalam perkara penting ini, di mana ia berkait dengan keyakinan mereka terhadap Tuhan mereka, padahal ia termasuk salah satu target diutusnya para rasul dan diturunkannya kitab-kitab, yaitu agar manusia mengenal Rabb mereka, akan tetapi rujukan dalam hal ini adalah akal manusia yang beraneka macam yang tidak berpatokan baku, selanjutnya nasib apa yang bertentangan dengan akal tersebut adalah didustakan atau ditahrif dengan kedok takwil.

Kelima, boleh menafikan apa yang Allah dan rasulNya tetapkan, mungkin dikatakan tentang firman Allah Ta’ala, “Dan Tuhanmu datang.â€‌ (Al-Fajr: 22) bahwa Dia tidak datang. Hadits, “Tuhan kami turun ke langit terdekat.â€‌ bahwa Dia tidak turun, karena menurut mereka penyandaran â€کdatang’ dan â€کturun’ kepada Allah adalah majaz bukan hakiki dan tanda majaz yang paling jelas menurut pihak yang menetapkannya adalah keabsahan pembuangannya, yakni sah dan tidak mengapa jika ia dibuang, padahal menafikan apa yang Allah dan rasulNya tetapkan merupakan kebatilan yang paling batil.

[b[Bantahan Terhadap Pihak Yang Menetapkan Sebagian Sifat dan Mengingkari Sebagian Yang lain

Mereka adalah Asy’ariyah dan Maturidiyah, mereka menetapkan dengan alasan bahwa akal menetapkan dan menunjukkan kepadanya, mereka menafikan dengan alasan bahwa akal menafikan dan tidak menunjukkan kepadanya.

Karena mereka berbicara dengan akal maka kami akan berkata dengan akal juga, kami kepada mereka, apa yang kalian nafikan dengan alasan bahwa akal tidak menunjukkan kepadanya mungkin ditetapkan melalui akal yang dengannya kalian menetapkan apa yang kalian tetapkan.

Sebagai contoh, mereka menetapkan sifat iradah bagi Allah Ta’ala dan menafikan sifat rahmat bagiNya. Yang pertama mereka tetapkan dengan alasan dari sisi akal, bahwa perbedaan makhluk-makhluk dan kekhususannya menunjukkan adanya iradah. Yang kedua mereka nafikan dengan alasan, karena sifat ini berarti kelembutan dan kelembekan dari pemberi rahmat kepada penerimanya, hal ini mustahil bagi Allah.

Kami katakan, sifat rahmat yang kalian nafikan dengan alasan akal mungkin ditetapkan dengan alasan yang sama, nikmat-nikmat Allah yang datang silih berganti kepada hamba-hambaNya dari segala arah, azab-azabNya yang ditepis dari mereka setiap saat menunjukkan adanya sifat rahmat bagi Allah Ta’ala. Petunjuknya lebih nyata, lebih jelas daripada petunjuk kekhususan terhadap sifat iradah karena ia nampak di depan mata segala kalangan, yang umum maupun yang khusus.

Adapun penafian sifat rahmat dengan alasan bahwa ia merupakan kelembutan dan kelembekan, maka kami membantahnya dengan mengatakan, jika alasan ini boleh digunakan maka dengannya kita bisa menafikan sifat iradah dengan mengatakan, iradah adalah kecenderungan pemiliknya kepada apa yang diharapkan berupa terwujudnya manfaat dan tertepisnya mudharat, dan hal ini berarti Allah memerlukan dan membutuhkan makhlukNya.

Jika mereka membantah, iradah yang demikian adalah iradah makhluk. Maka kami katakan, rahmat yang berarti kelembekan dan kelembutan juga rahmat makhluk.

Dengan ini jelaslah kebatilan madzhab Ahli Ta’thil, baik yang umum maupun yang khusus. Dengan ini pula diketahui bahwa metode Asy’ariyah dan Maturidiyah dalam bab Asma` wa Shifat tidak layak digunakan untuk membantah syubhat Mu’tazilah dan Jahmiyah karena dua alasanâ€‌

Satu, ia adalah metode bid’ah, tidak berdasar kepada ajaran Rasulullah saw, pemahaman para sahabat dan salaf shalih. Bid’ah tidak menepis bid’ah, akan tetapi sunnahlah yang menepisnya.

Dua, Mu’tazilah dan Jahmiyah mungkin berhujjah dalam perkara yang mereka nafikan atas Asy’ariyah dan Maturidiyah dengan hujjah yang sama yang digunakan oleh Asy’ariyah dan Maturidiyah atas Ahlus Sunnah. Mu’tazilah dan Jahmiyah berkata, kalian membolehkan untuk diri kalian menafikan beberapa sifat Allah dengan dasar dalil akal yang kalian klaim, lalu mengapa kalian melarang kami melakukan hal yang sama dengan dalil yang sama, kami memiliki akal, kalian mempunyai akal juga, jika akal kami keliru, apakah hanya akal kalian saja yang benar?

Ini adalah hujjah yang telak dari Mu’tazilah dan Jahmiyah kepada Asy’ariyah dan Maturidiyah yang tidak akan mereka jawab selama metode bid’ah tetap mereka pertahankan. Yang bisa menjawab hanyalah kembali kepada al-Qur`an dan sunnah sejalan dengan pemahaman salaf dalam masalah ini yang menetapkan apa yang Allah Ta’ala tetapkan untuk diriNya dan rasulNya tetapkan untuknya tanpa tamtsil, takyif, tahrif dan ta’thil. Wallahu a’lam.

Dari al-Qawa’id al-Mutsla, Ibnu Utsaimin.