Pemikiran-pemikiran

4- Tidak ada tempat berlari dari taklid, ia adalah perkara yang disyariatkan bahkan diwajibkan pada saat belum tercapainya derajat ijtihad, hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala, “Bertanyalah kepada orang-orang yang berilmu jika kamu tidak mengetahui.” (Al-Anbiya`: 7).

Imam asy-Syathibi berkata, “Seorang ahli taklid bukan ulama, dia hanya bisa bertanya kepada orang-orang yang berilmu, mereka-lah rujukannya dalam perkara-perkara agama secara mutlak.”

Para sahabat Nabi saw berbeda-beda di bidang ilmu, tidak semua sahabat ahli fatwa, agama juga tidak diambil dari mereka semuanya, para sahabat ahli fatwa bisa dihitung, selanjutnya lingkaran fatwa melebar di zaman tabiin dan tabi’ut tabiin sampai akhirnya dipegang oleh tangan para imam di antara mereka adalah Imam yang Empat.

5- Berlepas diri dari sikap taklid kepada para imam ahli ijtihad, mengeluarkan hukum halal dan haram dari al-Qur`an dan sunnah secara langsung dan membuka pintu ijtihad di hadapan kaum muslimin selebar-lebarnya membawa kepada kekacauan agama yang tidak berujung, lebih dari itu mencabik-cabik syariat Allah di antara khayalan-khayalan dan kemantapan personal yang tidak berdasar.

6- Mujtahid kontemporer tidak boleh berijtihad kecuali dalam perkara-perkara baru tidak untuk perkara-perkara lama yang sudah ada.

Sebagian dari penggerak gerakan ini meletakkan syarat-syarat ijtihad, di antaranya:

A- Menguasai bahasa Arab dan metode-metodenya untuk bisa memahami al-Qur`an dan sunnah.
B- Pengetahuan tentang al-Qur`an yang sempurna.
C- Pengetahuan tentang sunnah yang sempurna khususnya yang berkenaan dengan hukum-hukum syariat.
D- Mengetahui nasikh dan mansuk dari dalil-dalil.
E- Mengetahui ijma’ sehingga tidak menyimpang darinya.
F- Menguasai kaidah-kaidah Ushuliyah terkait dengan pemahaman yang benar terhadap al-Qur`an dan sunnah.
G- Di samping adanya kepribadian dan akhlak yang tinggi, ilmu dan agama: akidah dan amalnya tidak disangsikan.

Ekses

Kuatnya seruan dan gerakan kepada Mdzhabiyah melahirkan sikap ta’ashshub kepada madzhab, menelorkan perdebatan di antara para pengikutnya, dan terkadang mendorong kepada sikap permusuhan di antara mereka, sampai perselisihan di antara mereka terkadang menyeret kepada keinginan untuk menyakiti, sehingga timbul fitnah di antara kaum muslimin.

Yaqut al-Hamawi dalam Mu’jam al-Buldan 1/273 berkata setelah menyebutkan masa lalu Asfahan yang cemerlang, “Kerusakan terjadi di beberapa sudut kota karena banyaknya fitnah dan fanatik di antara Syafi’iyah dengan hanafiyah dan pertikaian di antara kedua kubu, setiap kali satu kubu berkuasa maka ia mencaplok kubu lainnya, menghancurkan dan membakarnya tanpa mempedulikan kemuliaan dan kehormatan.”

Hafizh adz-Dzahabi dalam biografi Hakim Damaskus yang bermadzhab Hanafi Muhammad bin Musa al-Balasaghuni mengatakan bahwa Muhammad ini pernah berkata, “Kalau aku mempunyai kekuasaan maka aku akan mengambil jizyah dari Syafi’iyah.” Penulis Maraqi al-Falah yang bermadzhab Hanafi berkata tentang air najis, “Jika air itu dipakai membuat adonan maka ia diberikan kepada anjing atau ternak. Ada sebagian yang berkata, dijual kepada orang bermadzhab Syafi’i.”

Termasuk dalam hal ini adalah apa yang terjadi di antara Malikiyah dengan Zhahiriyah setelah Daulah Muwahhidin di Maghrib berdiri, para penguasa memerintahkan agar kitab-kitab Malikiyah dibakar selain bagian yang ada al-Qur`an dan haditsnya dan selanjutnya rakyat harus bermadzhab Zhahiri, sebuah fitnah besar atas orang-orang Malikiyah.

Kesimpulan

Segi positif gerakan ini adalah pengayaan terhadap Fikih Islam melalui ijtihad-ijtihad para imam dan para ulama pengikut mereka, mayoritas kaum muslimin menerimanya di zaman ini, ia menyebar di seluruh penjuru begeri kaum muslimin setelah ditutupnya pintu ijtihad, dibukanya pintu taklid, merebaknya kebodohan dan kemalasan untuk mencari ilmu.

Namun sisi negatif dari gerakan ini adalah lahirnya banyak perbedaan, perpecahan dan persengketaan, hal ini tentu melemahkan kaum muslimin, kenyataan membuktikan bahwa sebagain pengikut madzhab berkeyakinan bahwa madzhabnya-lah yang shahih dan benar.

Semua itu berujung kepada seruan untuk menutup pintu ijtihad dan larangan kepada muslim untuk tidak mengikuti salah satu madzhab yang ada serta pengharusan atas seorang muslim untuk memegang madzhabnya dan tidak keluar darinya seujung jari pun sekalipun ia tidak berdasar kepada al-Qur`an dan sunnah.

Manhaj yang baik adalah manhaj pertengahan, menghargai dan mengikuti madzhab fikih tetapi tanpa fanatik buta atau mencampakkannya sama sekali, karena pada dasarnya seorang muslim berkewajiban untuk mengikuti al-Qur`an dan sunnah, bermadzhab hanya sebatas sarana tanpa didasari sikap fanatik.

Ta’ashshub madzhabi telah menyeret sebagian kaum muslimin kepada keyakinan bahwa perbedaan merupakan dassar dalam perkara-perkara agama yang pokok sekali pun banyak ayat dan hadits yang menyeru kepada persatuan dan kesatuan serta berpegang teguh kepada tali Allah dan kokoh.

Dari al-Mausu’ah al-Muyassarah, isyraf Dr. Mani’ al-Juhani.