Sifat ini ditetapkan dari dua segi:

Pertama: Beragam petunjuk dalam al-Qur’an tentang uluw Allah, terkadang dengan menyebut uluw, terkadang dengan menyebut fauqiyah, terkadang dengan menyebutkan turunnya perkara-perkara darinya terkadang dengan menyebutkan naiknya perkara-perkara kepadaNya dan terkadang dengan menyatakan bahwa Dia di langit.

1 – Dengan kata uluw, seperti firmanNya, “Dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (Al-Baqarah: 255). “[i[Sucikanlah nama Tuhanmu yang Maha Tinggi.” (Al-A’la: 1).

2 – Dengan kata fauqiyah, seperti firmanNya, “Dan Dialah yang berkuasa atas sekalian hamba-hambaNya.” (Al-An’am: 18). “Mereka takut kepada Tuhan mereka yang di atas mereka dan melaksanakan apa yang diperintahkan (kepada mereka).” (An-Nahl: 50).

3 – Turunnya perkara-perkara dariNya, seperti firmanNya, “Dia mengatur urusan dari langit ke bumi.” (As-Sajdah: 5). “Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan al-Qur’an.” (Al-Hijr: 9). Dan lain-lain.
4 – Naiknya perkara-perkara kepadaNya, seperti firmanNya, “KepadaNyalah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang shalih dinaikkanNya.” (Fathir: 10). “Malaikat-malaikat dan Jibril naik (menghadap) kepada Tuhan.” (Al-Maarij: 4).

5 – Dia di langit, seperti firmanNya, “Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang (berkuasa) di langit bahwa dia akan menjungkir balikkan bumi bersama kamu.” (Al-Mulk: 16).

Kedua: Sunnah telah hadir secara mutawatir dari Nabi dari perkataan, perbuatan dan ketetapanNya.

1 – Dari perkataan Rasulullah:
Ia hadir menyebutkan uluw dan fauqiyah. Sabda Nabi, أ“أˆأچأ‡أ¤ أ‘أˆأ¬ أ‡أ،أƒأڑأ،أ¬ (Maha Suci Allah yang Maha Tinggi). (Diriwayatkan oleh Muslim). Sabdanya ketika menyinggung langit. أ¦أ‡أ،أ،أ¥ أ‌أ¦أ‍ أ‡أ،أڑأ‘أ” (Allah di atas Arasy). (Diriwayatkan Oleh Ibnu Khuzaemah).

Perkataan Nabi hadir dengan menyebutkan bahwa Allah di langit seperti sabda beliau, “Mengapa kalian tidak mempercayaiku padahal aku adalah orang kepercayaan yang di langit.” (Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim).

2 – Dari perbuatan Nabi: Seperti beliau mengangkat jarinya ke langit pada saat beliau berkhutbah di hari Arafah di perkumpulan terbesar di haji wada’. Para sahabat tidak pernah berkumpul dalam jumlah yang lebih besar dari ini karena peserta haji bersama Nabi sekitar seratus ribu orang dan Nabi wafat sementara mereka berjumlah sekitar seratus dua puluh empat ribu orang, ini berarti bahwa mayoritas kaum Muslimin hadir di perkumpulan tersebut. Nabi bersabda, “Bukankah aku telah menyampaikan?” Mereka menjawab, “Ya.” Nabi mengulang, “Bukankah aku telah menyampaikan?” Mereka menjawab, “Ya.” Nabi mengulang, “Bukankah aku telah menyampaikan?” Mereka menjawab, “Ya.” Nabi bersabda, “Ya Allah saksikanlah.” Nabi menunjuk dengan jarinya ke langit dan mengarahkannya kepada hadirin. (Diriwayatkan oleh Muslim).
Termasuk dalam hal ini adalah beliau kedua tangannya ke langit pada saat berdoa.
Ini adalah penetapan uluw dengan perbuatan.

3 – Dari ketetapan Nabi: Hadits Muawiyah bin al-Hakam bahwa dia datang kepada Nabi dengan membawa hamba sahaya perempuannya yang ingin dia merdekakan. Nabi bertanya kepada hamba sahaya tersebut, “Di mana Allah?” Dia menjawab, “Di langit.” Nabi bertanya, “Siapa aku?” Dia menjawab, “Rasulullah.” Nabi bersabda kepada Muawiyah, “Merdekakan dia karena dia Mukmin.” (Diriwayatkan oleh Muslim).

Hamba sahaya ini tidak belajar dan biasanya para hamba sahaya adalah orang-orang yang bodoh, lebih-lebih dia tidak merdeka, tidak memiliki dirinya, meskipun demikian dia mengetahui bahwa Tuhannya di langit. Pada saat yang sama terdapat manusia-manusia sesat yang mengingkari bahwa Allah di langit, kata mereka: Dia tidak di atas alam tidak di bawah alam tidak di kanan dan tidak di kirinya atau Dia di segala tempat.
Ini semua adalah dalil-dalil dari al-Qur’an dan Sunnah.

Ketiga: Dari ijma’, Salaf telah berijma’ bahwa Allah dengan dzatNya di langit sejak masa Rasulullah sampai hari kita ini.

Kalau kamu berkata, bagaimana mereka berijma’?
Kami jawab: Pembiaran mereka terhadap ayat-ayat dan hadits-hadits seperti ini padahal uluw, fauqiyah, turunnya perkara-perkara dariNya dan naiknya ia kepadanya diulang-ulang di dalamnya tanpa mereka menghadirkan makna yang menyelisihi adalah merupakan ijma’ dari mereka atas petunjuknya.

Oleh karena itu Syaikhul Islam berkata, “Salaf telah berijma’ di atas itu.” Dia juga mengatakan, “Tidak dinukil dari salah seorang dari mereka bahwa Allah tidak di langit atau Allah di bumi atau Allah tidak di dalam alam tidak di luar alam, tidak bersambung tidak terpisah atau isyarat riil kepadanya tidak boleh.”

Keempat: Adapun dalil akal maka kami katakan, tanpa ragu bahwa Allah mungkin di atas dan mungkin di bawah, yang kedua ini mustahil karena ia adalah kekurangan konsekuensinya makhluk berada di atasNya maka Dia tidak memiliki ketinggian yang sempurna, kekuasaan yang sempurna dan kekuata yang sempurna pula. Jika yang kedua mustahil maka mungkin hanyalah yang pertama.

Ada dalil aqli lain yaitu kita katakan, bahwa uluw adalah sifat kesempurnaan dengan kesepakatan orang-orang berakal, kalau memang ia adalah sifat kesempurnaan maka harus ditetapkan kepada Allah karena setiap sifat kesempurnaan yang mutlak adalah milik Allah.

Kami katakan mutlak untuk menjaga kesempurnaan yang relatif yang merupakan kesempurnaan dalam satu kondisi dan kekurangan dalam kondisi yang lain, tidur misalnya adalah kekurangan akan tetapi bagi yang memerlukannya untuk memulihkan kekuatannya adalah kesempurnaan.

Kelima: Adapun dalil fitrah maka ia adalah perkara yang tidak mungkin diperdebatkan dan diingkari dengan kesombongan karena setiap manusia telah difitrahkan bahwa Allah di langit. Oleh karena itu ketika kamu dihadapkan kepada suatu persoalan yang tidak mungkin kamu hadapi dan kamu menghadap kepada Allah untuk menghadapinya maka hatimu menuju ke langit. Bahkan orang-orang yang mengingkari uluw dzat mereka tidak mampu mencegah kedua tangannya menghadap ke langit.
Ini adalah fitrah yang tidak mungkin diingkari.

Bahkan mereka berkata: Sebagian yang tidak berbicara mengetahui bahwa Allah di langit sebagaimana di dalam hadits yang meriwayatkan bahwa Sulaiman bin Daud keluar memohon hujan bersama orang-orang, dia melihat seekor semut terlentang mengangkat kakinya ke langit, semut itu berkata, “Ya Allah, kami adalah makhlukMu dan kami selalu membutuhkan airMu.” Sulaiman berkata, “Pulanglah kalian karena kalian akan diberi hujan dengan doa selain kalian.” Ini adalah ilham fitri.

Alhasil bahwa perkara Allah di langit adalah perkara yang maklum oleh fitrah.
Demi Allah kalau bukan karena rusaknya fitrah para pengingkar tersebut niscaya mereka mengetahui bahwa Allah di langit tanpa membuka buku pun karena perkaranya yang ditetapkan oleh fitrah tidak perlu mengkaji buku.

Dari Syarh al-Aqidah al-Wasithiyah, Syaikh Ibnu Utsaimin.