Madzhab Ja’fari adalah madzhab fikih bagi Syi’ah Imamiyah Itsna Asyariyah, di namakan dengan Ja’fari karena dinisbatkan kepada Ja’far bin Muhammad yang dikenal di kalangan mereka dengan Imam Shadiq, di samping kebanyakan pendapat madzhab diambil darinya seperti yang mereka katakan.

Pendiri dan Tokoh

Madzhab ini dinisbatkan kepada Ja’far bin Muhammad al-Baqir bin Ali Zainul Abidin bin al-Husain al-Hasyimi al-Qurasyi, Abu Abdullah yang dijuluki dengan ash-Shaqid, lahir tahun 80 H dan wafat tahun 148 H.

Nasabnya dari arah bapaknya terhubung kepada Nabi saw sedangkan dari ibunya bersambung kepada Abu Bakar ash-Shiddiq. Orang-orang Syi’ah menganggapnya sebagai imam yang keenam, imamahnya menurut mereka berlangsung selama lebih dari tiga puluh tahun setelah wafat bapaknya Imam Muhammad bin Ali yang dikenal dengan al-Baqir tahun 117 H.

Ja’far bin Muhammad menekuni ilmu sejak kecil, besar di Madinah dan keluar masuk majlis-majlis ilmu dari para tabiin termasuk bapaknya Imam al-Baqir. Dia menggabungkan antara fikih dengan hadits dan dia mempunyai hubungan baik dengan para fuqaha` di kota-kota besar.

Khalifah al-Manshur pernah membuat majlis dialog antara Ja’far dengan Imam Abu Hanifah, dan Abu Hanifah setelah itu berkata tentangnya, “Demi Allah, aku tidak melihat orang yang lebih fakih daripada Ja’far.”

Majlisnya di Madinah adalah tempat berkumpulnya para ulama, Imam Malik mengambil darinya, dia sering hadir di majlisnya dan mengambil manfaat dari fikih dan riwayatnya. Sekali pun belakangan orang-orang Syi’ah menisbatkan sesuatu yang tidak dia katakan, namun hal itu tidak mengurangi ketinggian derajatnya.

Tidak pernah berambisi menjadi pemimpin, usahanya adalah ilmu sekali pun di bidang kenegaraan dia mempunyai ijtihadnya. Diriwayatkan secara shahih darinya bahwa dia melaknat orang-orang yang bersikap berlebih-lebihan padanya dan menisbatkan sifat-sifat yang bukan miliknya. Ja’far mengumpulkan kawan-kawannya dan mengatakan hal itu kepada mereka serta menulis ke segala penjuru negeri bahwa dia berlepas diri dari orang-orang yang mengkultuskannya dan mengaggpa mereka sebagai orang-orang musyrik jika mereka tetap mengkultuskannya.

Suatu hari al-Manshur bertanya kepadanya, mengapa dia tidak sering datang ke majlisnya, maka Ja’far menjawab, “Tidak ada sesuatu yang membuat kami takut kepadamu karenanya, kamu tidak memegang perkara akhirat yang bisa kami harapkan, kamu tidak sedang dalam kenikmatan sehingga kami harus mengucapkan selamat dan kamu juga tidak dalam musibah sehingga kamu harus menghiburmu.”

Beberapa orang tabiin belajar dari Ja’far, di antara mereka adalah Yahya bin Said al-Anshari, Ayyub as-Sikhtiyani, Abu Amru bin al-Ala`, Syu’bah bin al-Qasim, Sufyan bin Uyainah dan lain-lain. Dia tinggal di Madinah beberapa waktu lamanya lalu pindah ke Irak dan tingal di sana untuk beberapa waktu, dia tidak pernah berambisi menjadi pemimpin dan tidak pernah menentang seorang khalifah pun.

Al-Bukhari, Muslim dan Ashabus Sunan meriwayatkan beberapa hadits darinya, karena dia adalah orang yang teguh berpegang kepada al-Qur`an dan sunnah. Ahlus Sunnah-Syahrastani berkata, “Pemilik ilmu agama yang mengalir, adab yang sempurna dalam hikmah, zuhud terhadap dunia dan kebersihan hati dari syahwat.”

Asy-Syahrastani menyebutkan bahwa Ja’far berlepas diri dari apa yang dinisbatkan oleh sebagaian pihak yang berlebih-lebihan kepadanya, dia juga berlepas diri dari intisari akidah madzhab Rafidhah seperti Ghaibah, Raj’ah, Bada`, Tanasukh (reinkarnasi), hulul dan tasybih.

Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa apa yang diriwayatkan dari Ali dan Ja’far ash-Shadiq terkait dengan perkara-perkara yang diklaim oleh orang-orang Bathiniyah adalah dusta murni.

Di antara ulama madzhab Ja’fari memberi warna kepada madzhab sehingga ia hidup seperti saat ini, jauh sekali dari fikih Imam Ja’far ash-Shadiq yang sebenarnya adalah:

Muhammad bin Ya’qub bin Ishaq al-Kulaini, seorang fakih Imamiyah, syaikh Syi’ah di Baghdad dan wafat di sana tahun 328 H, di antara buku-buknya al-Kafi fi Ulumuddin, terdiri dari tiga juz, yang pertama tentang Ushul Fikih dan dua yang akhir dalam masalah furu’, dia menyusunnya selama dua puluh tahun.

Muhammad bin Ali bin al-Husain bin Musa al-Qummi, wafat 381 H di Khurasan, di antara karya penanya al-I’tiqad, al-Muqni’ fil Fiqh dan Man la Yahdhuruhu al-Faqih.

Dari al-Mausu’ah al-Muyassarah, isyraf Dr. Mani’ al-Juhani.