Ketahuilah bahwa yang paling utama untuk diucapkan seorang Muslim ialah, “As-Salamu ‘alaikum warahmatullah wabarakatuh.” Ia melafalkan dengan dhamir jama’ (plural), meskipun orang yang diberi salam cuma satu orang. Sementara orang yang menjawabnya mengucapkan: Wa ‘alaikumus salam warahmatullah wabarakatuh. Ia memulai dengan wawu athaf (وَ ) dalam ucapannya, “Wa ‘alaikum.”

Di antara yang menuliskan secara jelas bahwa yang paling utama bagi orang yang memulai salam adalah mengucapkan, “As-Salamu ‘alaikum warahmatullah wabarakatuh,” ialah Imam Qadhi Abu al-Hasan al-Mawardi dalam kitabnya, al-Hawi dalam kitab as-Sair, Imam Abu Sa’d al-Mutawalli dari kalangan sahabat kami dalam kitab Shalat al-Jumu’ah, dan selain keduanya.

Dalilnya ialah apa yang kami riwayatkan dalam Sunan ad-Darimi, Sunan Abu Dawud dan Sunan at-Tirmidzi, dari Imran bin al-Hushain radiyallahu ‘anha, ia mengatakan,

جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم ، فَقَالَ: السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ. فَرَدَّ عَلَيْهِ، ثُمَّ جَلَسَ. فَقَالَ النَّبِيُّ: عَشْرٌ. ثُمَّ جَاءَ آخَرُ، فَقَالَ: السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ. فَرَدَّ عَلَيْهِ، ثُمَّ جَلَسَ. فَقَالَ: عِشْرُوْنَ. ثُمَّ جَاءَ آخَرُ، فَقَالَ: السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ، فَرَدَّ عَلَيْهِ، فَجَلَسَ، فَقَالَ: ثَلاَثُوْنَ.

“Seorang laki-laki datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam seraya mengatakan, ‘As-Salamu ‘alaikum.’ Beliau menjawabnya, kemudian orang tersebut duduk, lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan, ‘Sepuluh.’ Kemudian yang lainnya datang seraya mengatakan, ‘As-Salamu ‘alaikum warahmatullah.’ Beliau menja-wabnya, kemudian orang itu duduk, lalu beliau mengatakan, ‘Dua puluh.’ Kemudian datang yang lainnya seraya mengatakan, ‘As-Salamu ‘alaikum warahmatullah wabarakatuh.’ Beliau menjawabnya, lalu orang tersebut duduk, lantas beliau mengatakan, ‘Tiga puluh’.” At-Tirmidzi berkata, “Hadits hasan.”

Dalam riwayat lain milik Abu Dawud dari riwayat Mu’adz bin Anas radiyallahu ‘anhu ada tambahan atas hal ini. Ia mengatakan,

ثُمَّ أَتَى آخَرُ، فَقَالَ: السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ وَمَغْفِرَتُهُ. فَقَالَ: أَرْبَعُونَ.وَقَالَ: هكَذَا تَكُوْنُ الْفَضَائِلُ.

“Kemudian datang yang lainnya seraya mengatakan, ‘As-Salamu ‘Alaikum Warahmatullah Wabarakatuh Wamaghfiratuh.’ Beliau mengatakan, ‘Empat puluh.’ Beliau melanjutkan, ‘Demikianlah keutamaan-keutamaan itu terjadi’.”

Kami meriwayatkan dalam kitab Ibn as-Sunni dengan sanad dhaif dari Anas radiyallahu ‘anhu, ia mengatakan,

كَانَ رَجُلٌ يَمُرُّ بِالنَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم يَرْعَى دَوَابَّ أَصْحَابِهِ، فَيَقُوْلُ: السَّلاَمُ عَلَيْكَ يَا رَسُوْلَ اللهِ، فَيَقُوْلُ لَهُ النَّبِيُّ صلى الله عليه و سلم : وَعَلَيْكَ السَّلاَمُ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ وَمَغْفِرَتُهُ وَرِضْوَانُهُ. فَقِيْلَ: يَا رَسُوْلُ اللهِ، تُسَلِّمُ عَلَى هذَا سَلاَمًا مَا تُسَلِّمُهُ عَلَى أَحَدٍ مِنْ أَصْحَابِكَ؟ قَالَ: وَمَا يَمْنَعُنِيْ مِنْ ذلِكَ، وَهُوَ يَنْصَرِفُ بِأَجْرِ بِضْعَةَ عَشَرَ رَجُلاً؟

“Seorang laki-laki lewat di hadapan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam untuk menggembalakan ternak para sahabatnya seraya mengucapkan, ‘As-Salamu ‘alaika, ya Rasulallah.’ Beliau menjawab, ‘Wa ‘alaikas salamu warahmatullahi wabarakatuhu wamaghfiratuhu waridhwanuh.’ Beliau ditanya, ‘Wahai Rasulullah, engkau mengucapkan salam kepada orang ini dengan salam yang belum pernah engkau ucapkan kepada seorang pun dari para sahabatmu?’ Beliau menjawab, ‘Apakah yang menghalangiku dari hal itu, sementara dia pergi dengan membawa pahala tiga belas orang lebih?‘”

Menurut para sahabat kami, jika orang yang memulai salam mengucapkan, “As-Salamu ‘alaikum,” maka salam sudah terlaksana. Jika ia mengucapkan, “As-Salamu ‘alaika,” atau “Salamun ‘alaika,” maka itu sudah terlaksana juga. Adapun menjawabnya, maka minimal, “Wa ‘alaikas salam,” atau “Wa’alaikumus salam.” Jika ia membuang huruf wawu dengan mengucapkan, “Alaikumus salam,” maka itu sudah sah dan sudah memadai menjadi jawaban. Inilah madzhab yang shahih lagi masyhur yang dinashkan oleh asy-Syafi’i dalam al-Umm. Ini pula pendapat jumhur sahabat kami. Abu Sa’d al-Mutawalli dari kalangan sahabat kami menegaskan dalam kitabnya, at-Tatimmah, bahwa itu tidak sah dan belum menjadi jawaban. Ini adalah lemah atau keliru. Ini menyelisihi al-Qur`an, Sunnah dan nash imam kita, asy-Syafi’i. Adapun di dalam al-Qur`an, Allah Subhanahu waTa`ala berfirman,

وَقَالُوا سَلاَمًا قَالَ سَلاَمٌ

“Mereka mengucapkan, ‘Salamun (selamat).’ Ibrahim menjawab, ‘Salam (selamatlah)’.” (Hud: 69).

Meskipun ini adalah syariat untuk umat sebelum kita, namun syariat kita mengakuinya, yaitu hadits Abu Hurairah yang telah kami kemukakan sebelumnya tentang jawaban malaikat pada Adam. “Sebab Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam mengabarkan kepada kita bahwa Allah Subhanahu waTa`ala berfirman,

هِيَ تَحِيَّتُكَ وَتَحِيَّةُ ذُرِّيَّتِكَ.

“Ia adalah salam penghormatanmu dan salam penghormatan keturunanmu.”

Dan umat ini termasuk keturunannya. Wallahu a’lam.

Para sahabat kami bersepakat bahwa seandainya ia menjawab, “Alaikum,” maka itu tidak cukup sebagai jawaban. Seandainya ia menjawab, “Wa’alaikum,” dengan wawu, apakah menjadi jawaban? Mengenai hal itu ada dua pendapat menurut para sahabat kami.

Seandainya orang yang memulai salam mengucapkan, “Salamun ‘alaikum,” atau mengucapkan, “As-Salamu ‘alaikum,” maka orang yang menjawabnya mengucapkan dalam dua bentuk, “Salamun ‘alaikum,” atau mengucapkan, “As-Salamu ‘alaikum.” Allah Subhanahu waTa`ala berfirman,

وَقَالُوا سَلاَمًا قَالَ سَلاَمٌ

“Mereka mengucapkan, ‘Salamun (selamat).’ Ibrahim menjawab, ‘Salam (selamatlah)’.” (Hud: 69).

Imam Abu al-Hasan al-Wahidi dari kalangan sahabat kami mengatakan, “Engkau boleh memilih melafalkan salam dalam bentuk ma’rifah atau nakirah. Tetapi dengan alif dan lam (dalam bentuk ma’rifah) lebih utama.”

Pasal

Kami meriwayatkan dalam Shahih al-Bukhari dari Anas radiyallahu ‘anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam ,
أَنَّهُ كَانَ إِذَا تَكَلَّمَ بِكَلِمَةٍ، أَعَادَهَا ثَلاَثًا حَتَّى تُفْهَمَ عَنْهُ، وَإِذَا أَتَى عَلَى قَوْمٍ، فَسَلَّمَ عَلَيْهِمْ، سَلَّمَ عَلَيْهِمْ، ثَلاَثًا.

“Bahwa jika beliau mengucapkan suatu ucapan, maka beliau mengulanginya tiga kali hingga ucapannya dapat dipahami. Jika beliau mendatangi suatu kaum, kemudian mengucapkan salam kepada mereka, beliau mengucapkan salam kepada mereka tiga kali.”

Aku katakan, Hadits ini mengandung pengertian bahwa orang yang diberi salam tersebut adalah bila jumlahnya cukup banyak. Penjelasan tentang masalah ini akan disebutkan, juga pernyataan al-Mawardi, penulis al-Hawi, mengenai hal tersebut, insya Allah.

Pasal

Minimal yang menjadikan orang yang mengucapkan salam dapat dikategorikan telah melaksanakan sunnah salam, yaitu ia mengeraskan suaranya sehingga dapat didengar oleh orang yang diberi salam. Jika ia tidak mendengarnya, maka ia dinilai belum mengucapkan salam dan salamnya tidak wajib dijawab. Sementara yang menggugurkan kewajiban menjawab salam, minimal adalah mengeraskan suaranya yang dapat didengar oleh orang yang memberi salam. Jika ia tidak mendengarnya, maka kewajiban menjawab salam belum gugur darinya. Hal ini disebutkan oleh al-Mutawalli dan selainnya.

Aku katakan, Dianjurkan untuk mengeraskan suaranya yang benar-benar bisa didengar oleh orang yang diberi salam. Jika ia ragu salamnya tidak bisa terdengar oleh mereka, maka ia lebih mengeraskannya lagi.

Adapun jika mengucapkan salam kepada orang-orang yang tidak tidur, sementara di sisi mereka ada orang-orang yang sedang tidur, maka disunnahkan untuk merendahkan suaranya asalkan masih terdengar oleh orang-orang yang tidak tidur dan tidak membuat bangun orang-orang yang sedang tidur.

Kami meriwayatkan dalam Shahih Muslim dalam hadits al-Miqdad radiyallahu ‘anhu yang panjang, ia mengatakan,

كُنَّا نَرْفَعُ لِلنَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم نَصِيْبَهُ مِنَ اللَّبَنِ، فَيَجِيْءُ مِنَ اللَّيْلِ، فَيُسَلِّمُ تَسْلِيْمًا لاَ يُوْقِظُ نَائِمًا وَيُسْمِعُ الْيَقْظَانَ، وَجَعَلَ لاَ يَجِيْئُنِي النَّوْمُ، وَأَمَّا صَاحِبَايَ، فَنَامَا، فَجَاءَ النَّبِيُّ صلى الله عليه و سلم ، فَسَلَّمَ كَمَا كَانَ يُسَلِّمُ…وَاللهُ أَعْلَمُ.

“Kami menghidangkan untuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam susu bagian beliau. Ketika beliau datang pada malam hari, beliau mengucapkan salam yang tidak membangunkan orang yang sedang tidur namun terdengar oleh orang yang tidak tidur. Aku tidak tidur, sementara kedua sahabatku tidur, lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam datang dan mengucapkan salam sebagaimana yang biasa beliau lakukan….” Wallahu a’lam.

Pasal

Imam Abu Muhammad al-Qadhi Husain, Imam Abu al-Hasan al-Wahidi dan selainnya dari kalangan sahabat kami berpendapat, disyaratkan agar menjawab dengan segera. Jika menundanya kemudian menjawabnya, maka itu tidak dinilai sebagai jawaban, dan ia berdosa karena tidak menjawab.

Sumber : Ensiklopedia Dzikir Dan Do’a, Imam Nawawi, Pustaka Sahifa Jakarta. Disadur oleh Yusuf Al-Lomboky