Dari ash-Shamma’a binti Busr radhiyallahu ‘anha, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

{ لا تَصُومُوا يَوْمَ السَّبْتِ إلاَ فِيمَا اُفْتُرِضَ عَلَيْكُمْ فَإِنْ لَمْ يَجِدْ أَحَدُكُمْ إلَّا لِحَاءَ عِنَبٍ أَوْ عُودَ شَجَرَةٍ فَلْيَمْضُغْهَا } رَوَاهُ الْخَمْسَةُ وَرِجَالُهُ ثِقَاتٌ إلَّا أَنَّهُ مُضْطَرِبٌ وَقَدْ أَنْكَرَهُ مَالِكٌ وَقَالَ أَبُو دَاوُد : هُوَ مَنْسُوخٌ. قال أبو عيسى هذا حديث حسن ومعنى كراهته في هذا أن يخص الرجل يوم السبت بصيام لأن اليهود تعظم يوم السبت

”Janganlah kalian berpuasa pada hari Sabtu kecuali puasa yang diwajibkan bagi kalian. Jika salah seorang di antara kalian tidak mendapatkan (makanan untuk berbuka) kecuali kulit anggur atau ranting pohon, maka hendaklah ia mengunyahnya.”
(HR. al-Khomsah (Ahmad, at-Tirmidzi, Abu Dawud, an-Nasaa’i dan Ibnu Majah rahimahumullah), dan rijal (perawinya) tsiqat/kredibel, hanya saja ia adalah hadits yang mudhtharib, dan dingkari (dikatakan munkar) oleh Imam Malik rahimahullah dan Abu Dawud rahimahullah berkata:”ia mansukh (dihapus hukumnya).”. Imam at-Tirmidzi rahimahullah mengatakan bahwa hadits ini hasan, dan maknanya adalah makruh bagi seseorang untuk mengkhususkan hari sabtu dengan berpuasa, karena orang Yahudi mengagungkan hari sabtu)

Penilaian Para Ulama Terhadap Hadits ini:

Para ulama ahli hadits berbeda pendapat dalam menilai hadits ini, berikut beberapa penilaian mereka rahimahumullah

Al-Mubar Kafury rahimahullah berkata:”Hadits ini dishahihkan oleh al-Hakim sesuai syarat al-Bukhari.” Imam an-Nawawi berkata:”Telah dishahihkan oleh para imam”. Demikian yang ada dalam kitab al-Mirqah.

Syaikh Abdurrahman Al-Bassam menshahihkan hadits ini dalam Taudhihul Ahkam syarh Bulughul Maram. Adapun Syaikh Sa’d bin ‘Abdullah Alu Humaid mengatakan bahwa hadits ini hasan.

Syaikh Syu’aib al-Arnauth dalam ta’liqnya terhadap Musnad Ahmad berkata:”Rijal (para perawinya tsiqah, hanya saja dia memiliki ‘illah (cacat) disebabkan idhthirab (goncang) dan mu’aradhah (menyelisihi hadits-hadits lain) ”

Al-Mubar Kafury rahimahullah berkata:”Imam Abu Dawud rahimahullah berkata dalam kitab Sunan Abi Dawud:”Hadits ini mansukh.” Dan di dalamnya ia juga berkata:”Imam Malik berkata:’Ini adalah dusta.”.

Imam al-Mundziri rahimahullah berkata:”Hadits ini diriwayatkan dari hadits ‘Abdullah bin Busr dan dari hadits bapaknya, yaitu Busr dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dan dari hadits ash-Shamma’a dari’Aisyah radhiyallahu ‘anha istri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.

Imam an-Nasa’i rahimahullah berkata:’Haidits-hadits ini mudhtharib (goncang/saling bertentangan).’” sampai di sini perkataan Imam al-Mundziri rahimahullah.

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah dalam at-Talkhish berkata:”Imam al-Hakim berkata:”Ada hadits lain dengan sanad shahih yang menyelisihi hadits ini, kemudian diriwayatkan dari Kuraib bahwasanya sejumlah Shahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengutusnya untuk menemui Umi Salamah radhiyallahu ‘anha agar ia bertanya kepada Umi Salamah tentang hari-hari di mana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam banyak berpuasa, maka beliau (Umi Salamah) mengatakan bahwa hari itu adalah hari sabtu dan ahad (minggu). Lalu aku (Kuraib) kembali kepada mereka (para Shahabat). Lalu mereka semua bangkit dan menanyakannya langsung kepada Umi Salamah radhiyallahu ‘anha dan beliau membenarkannya.”

Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mengatakan (tentang hari sabtu dan ahad), sesungguhnya keduanya adalah hari raya bagi orang-orang Musyrik, maka aku ingin menyelisihi mereka. Dan diriwayatkan oleh an-Nasaa’i, al-baihaqi dan Ibnu Hibban. Dan Imam at-Tirmidzi rahimahullah meriwayatkan dari hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha beliau berkata, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam biasa berpuasa dalam satu bulan pada hari sabtu, ahad, senin dan …sampai akhir hadits.”

Penjelasan Hadits:

Berikut ini beberapa penjelasan Ulama ahli hadits seputar hadits ini:

Al-Mubar Kafury rahimahullah berkata dalam Tuhfatul Ahwadzi:” Ath-Thayyibi rahimahullah berkata:”Mereka (para Ulama) berkata bahwa larangan tersebut adalah dengan menyendirikannya (dengan berpuasa) sebagaimana pada hari jum’at. Dan maksud dari larangan tersebut adalah untuk menyelisihi orang Yahudi. Dan larangan itu menurut jumhur ulama adalah larangan tanzih (makruh).”

Saya (Al-Mubar Kafury) berkata:”Hadits-hadits ini (maksudnya :hadits di atas dan hadits Umu Salamah yang menjelaskan bahwa Nabi banyak berpuasa pada hari sabtu dan ahad sebagaimana dalam riwayat Imam Ahmad dan an-Nasa’i serta hadits-hadits lain yang mengindikasikan bolehnya puasa hari jum’at kalau digabung dengan hari sebelumnya atau setelahnya (sabtu) bisa digabungkan dengan mengatakan bahwa larangan itu ditujukan bagi orang yang berpuasa di hari sabtu dengan menyendiri (tidak digabung dengan hari lain), dan bolehnya berpuasa bagi yang menggabungkanya dengan hari sebelumnya atau sesudahnya. Yang menguatkan hal ini adalah bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah mengizinkan bagi orang yang melakukan berpuasa hari jum’at untuk melakukan puasa pada sari sabtu setelahnya (setelah jum’at). Maka menggabungkan beberapa dalil selama masih memungkinkan lebih utama daripada mengatakan bahwa salah satunya mansukh/dihapus. Dan adapun alasan hadits itu mudhtharib maka mungkin bisa dibantah dengan apa yang dikatakan oleh al-Hafizh dalam Talkhish al-Habir. Adapun perkataan Imam Malik rahimahullah bahwa hadits itu dusta, maka tidak nampak bagiku sisi kedustaannya. Wallahu Ta’ala A’lam.”

Dalam ‘Aunul Ma’bud Syarh Sunan Abi Dawud, Syaikh Muhammad Syamsul Haq al-‘Azhim Abadi (penulis kitab tersebut) berkata:”Ath-Thayyibi rahimahullah berkata:”Mereka (para Ulama) berkata bahwa larangan tersebut adalah dengan menyendirikannya (dengan berpuasa) sebagaimana pada hari jum’at. Dan maksud dari larangan tersebut adalah untuk menyelisihi orang Yahudi. Dan larangan itu menurut jumhur ulama adalah larangan tanzih (makruh). Adapun kata افترض (difardhukan) maka ia mencakup makna wajib, sunnah, qadha’, puasa kafarah dan yang semakna dengan itu adalah apabila bertepatan dengan puasa sunnah muakkadah, seperti puasa ‘Arafah, ‘Asyuraa’ atau puasa rutinnya (misal senin kamis). Dan Ibnu Malik menambahkan dan sepuluh dzulhijjah, atau di puasa yang terbaik yaitu puasa Dawud. Dan bahwasanya larangannya (larang puasa sabtu) adalah kalau kita terlalu serius memperhatikannya dan menjaganya (dalam mengamalkannya), sehingga seolah-olah ia menganggapnya wajib sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi.”

Ath-Thayyibi berkata:”Jumhur ulama sepakat bahwa larangan ini dan larangan menyendirikan berpuasa hari jum’at adalah makruh bukan haram.”

Dan hadits ini telah dikritisi oleh sejumlah imam, seperti Imam Malik bin Anas, Ibnu Syihab az-Zuhri, dan an-Nasaa’i. Dan jangan terpedaya dengan pernyataan Imam at-Tirmidzi yang mengatakan hadits tersebut hasan, atau Imam al-Hakim yang mengatkannya shahih. Dan jika memang benar hasan maka tidak bisa menentang hadits Juwairiyyah binti al-Harits radhiyallahu ‘anha yang disepakati keshahihannya oleh Syaikhani (al-Bukhari dan Muslim)

Imam as-Suyuthi rahimahullah dalam Syarah sunan Ibnu Majah berkata:”Janganlah kalian berpuasa hari sabtu” maksud dari larangan itu adalah menyendirikan puasa pada hari sabtu, bukan larangan puasa secara mutlak, karena ada hadits Umi Salamah radhiyallahu ‘anha, yang mana dia berkata:

كان رسول الله صلى الله عليه و سلم يصوم يوم السبت ويوم الأحد أكثر ما يصوم من الأيام ويقول انهما يوما عيد للمشركين فانا أحب ان اخالفهم رواه أحمد

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berpuasa pada hari sabtu dan ahad lebih banyak dibandingkan pada hari-hari lainnya, dan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan bahwa keduanya adalah hari raya orang musyrik dan aku ingin menyelisihi mereka (HR. Ahmad)

Maka yang lebih utama adalah dengan mengatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan kita untuk meninggalkan puasa pada hari sabtu supaya tidak menunjukkan pengagungan terhadap hari tersebut dengan puasa. Dan di dalamnya ada penyelisihan terhadap orang yahudi, sekalipun mereka tidak berpuasa untuk merayakan hari raya mereka, tapi mereka (yahudi) mengagungkan hari raya mereka dengan cara yang lain. Dan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam berpuasa pada dua hari itu (sabtu dan ahad) untuk menyelisihi mereka. Dan kesimpulannya adalah sebab larangan adalah suatu masalah dan sebab perbuatan adalah masalah lain.

Ath-Thahawi rahimahullah beliau adalah salah seorang ahli hadits dari kalangan madzhab Hanafiah berkata dalam Syarh Ma’anil Atsar:”Berpuasa pada hari sabtu dibolehkan menurut kami .Sesungguhnya larangan puasa tersebut adalah agar tidak mengagungkan hari sabtu,sehingga orang menahan makan,minum,jima’ pada hari itu seperti yang dilakukan kaum Yahudi. Namun jika orang berpuasa bukan untuk mengagungkannya dan tidak bermaksud meniru kaum Yahudi maka hal itu tidak dimakruhkan.”

Imam Nawawi rahimahullah, beliau adalah salah seorang ulama ahli hadits dari kalangan madzhab Syafi’iyyah berkata dalam Al-Majmu’:”Dan yang benar dalam masalah yang telah kami paparkan dari sahabat kami, yakni dimakruhkan berpuasa pada hari sabtu saja jika tidak bertepatan dengan puasa rutin berdasarkan hadist ash-Shama’.”

Syaikh Musthafa al-‘Adawi hafizhahullah di dalam kitab beliau Mafatiihul Fiqh fiid Diin menjelaskan akan bolehnya berpuasa hari sabtu. Dan beliau mengharuskan kita untuk mengumpulkan nash-nash dalam suatu masalah yang sama sebelum menghukumi sesuatu. Jangan hanya melihat satu hadits ia mengharamkan atau menghalalkan sesuatu, sebelum ia melihat nash-nash yang lain yang berseberangan dengan nash tersebut.

Beberapa Hadits Yang Mengindikasikan Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam Berpuasa Pada Hari Sabtu

Hadits dari Juwairiyyah binti Harits radhiyallahu ‘anha:

أن النبي صلى الله عليه وسلم دخل عليها يوم الجمعة وهي صائمة فقال أصمت أمس قالت لا قال تريدين أن تصومي غدا قالت لا قال فأفطري .

”Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk ke juwairiyah pada hari Jum’at, sedang dia (yakni : juawairiyah-ed) sedang berpuasa, lalu beliau bertanya kepadanya :“Apakah kemarin engkau berpuasa?” Ia menjawab:”Tidak.”. Nabi berkata lagi:“Apakah engkau ingin berpuasa besok (Sabtu)?” Ia menjawab:”Tidak.” Nabi bersabda:“(Kalau demikian) batalkan puasamu.” (hadits ini shahih diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan Abu Dawud)

Dalam hadits di atas Nabi membolehkan Juwairiyyah berpuasa hari jum’at bila telah berpuasa satu hari sebelumnya atau akan berpuasa sesudahnya, yaitu hari sabtu. Ini menunukkan bahwa berpuasa hari sabtu boleh kalau digabungkan dengan hari lain.

Hadits Umu Salamah yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, an-Nasa’i dan dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah:

أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ أَكْثَرَ مَا يَصُومُ مِنَ اَلْأَيَّامِ يَوْمُ اَلسَّبْتِ, وَيَوْمُ اَلْأَحَدِ, وَكَانَ يَقُولُ: ” إِنَّهُمَا يَوْمَا عِيدٍ لِلْمُشْرِكِينَ, وَأَنَا أُرِيدُ أَنْ أُخَالِفَهُمْ ” – أَخْرَجَهُ النَّسَائِيُّ, وَصَحَّحَهُ اِبْنُ خُزَيْمَةَ, وَهَذَا لَفْظُهُ

“Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam banyak berpuasa pada hari Sabtu dan Ahad.” Beliau pun berkata, “Kedua hari tersebut adalah hari raya orang musyrik, sehingga aku pun senang menyelisihi mereka.” (HR. An-Nasa’i dan dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah)

Hadits yang dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam bersabda:

لا يَصُومَنَّ أَحَدُكُمْ يَوْمَ اَلْجُمُعَةِ, إِلا اَنْ يَصُومَ يَوْمًا قَبْلَهُ, أَوْ يَوْمًا بَعْدَهُ – مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ

“Janganlah salah seorang di antara kalian berpuasa pada hari Jum’at, kecuali jika ia berpuasa pada hari sebelumnya atau sesudahnya.”(HR. al-Bukhari dan Muslim)

Hadits di atas juga menunjukkan bahwa Nabi membolehkan seseorang berpuasa hari jum’at jika didahului dengan satu hari sebelumya atau satu hari setelahnya. Dan ini bisa dipahami bahwa berpuasa pada hari sabtu dibolehkan jika digabung dengan hari lain dan tidak terlarang secara mutlak.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam banyak melakukan puasa di bulan Sya’ban dan pasti akan bertemu dengan hari Sabtu.

Dalil tentang keutamaan puasa asy-Syura, dan bahwasanya beliau tidak mengecualikannya jika hari tersebut bertepatan dengan hari sabtu. Demikian juga puasa hari ‘Arafah.

Dalil tentang keutamaan puasa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan berpuasa enam hari di bulan Syawal setelah sebelumnya berpuasa Ramadhan. Ini juga bisa bertemu dengan hari Sabtu.

Dalil tentang keutamaan puasa pada Ayyamul Biidh (13, 14, dan 15 Hijriyah) setiap bulannya, dan nabi tidak mengecualikanya apabila bertepatan dengan hari sabtu. Karena sudah dimaklumi bahwa pasti salah satu tanggal tersebut bertepatan dengan hari sabtu.

Dan masih banyak hadits yang mengindikasikan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam membolehkan puasa pada hari Sabtu.

Beberapa Fatwa ‘Ulama:

Berikut ini fatwa Syaikh Ibnu Baz rahimahullah dan Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah seputar puasa hari Sabtu.

Fatwa Syaikh Ibnu Baz rahimahullah

Fadhilatusy Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah ditanya tentang hadits:

لا تَصُومُوا يَوْمَ السَّبْتِ إلاَ فِيمَا اُفْتُرِضَ عَلَيْكُمْ

”Janganlah kalian berpuasa pada hari Sabtu kecuali puasa yang difardhukan bagi kalian.”

Maka inilah jawaban beliau rahimahullah:

Hadits tersebut sudah dikenal dan ia ada di Bulughul Maram dalam kitab ash-Shiyam. Dan ia adalah hadits dha’if yang syadz (ganjil) dan menyelisihi hadits-hadits yang shahih, seperti sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:

لا يَصُومَنَّ أَحَدُكُمْ يَوْمَ اَلْجُمُعَةِ, إِلا اَنْ يَصُومَ يَوْمًا قَبْلَهُ, أَوْ يَوْمًا بَعْدَهُ – مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ

“Janganlah salah seorang di antara kalian berpuasa pada hari Jum’at, kecuali jika ia berpuasa pada hari sebelumnya atau sesudahnya.”(HR: al-Bukhari dan Muslim)

Dan sudah diketahui bersama bahwa hari setelahnya adalah hari sabtu, dan hadits ini ada dalam ash-Shahihain (shahih al-Bukhari 1985 dan Muslim 1144). Dan juga Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dahulu terbiasa berpuasa sabtu dan ahad, dan beliau bersabda:

أَنَّ رَإِنَّهُمَا يَوْمَا عِيدٍ لِلْمُشْرِكِينَ, وَأَنَا أُرِيدُ أَنْ أُخَالِفَهُمْ ”

“Kedua hari tersebut adalah hari raya orang musyrik, dan aku ingin menyelisihi mereka.” Lihat Musnad Imam Ahmad 26750, Shahih Ibnu Hibban (3616)

Dan hadits-hadits yang semakna dengan ini banyak, semuanya menunjukkan akan bolehnya puasa sunnah hari sabtu. Semoga Allah memberikan taufiq kepada semuanya. Wassalamu ‘alaikum wa Rahmatullahi wa Barakaatuh.
[Majmu’ Fatawa wa Maqaalaat Mutanawwi’ah Ibnu Baz imahullah (15/412-413). Dinukil dari http://www.sahab.net/forums/index.php?showtopic=124143]

Fatwa Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah

Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata:”Hendaklah diketahui bahwa puasa hari sabtu memiliki beberapa keadaan:
1. Keadaan pertama, yaitu berpuasa di hari sabtu pada puasa fardhu seperti puasa ramadhan, qadha, puasa kafarah, puasa pengganti hadyu tamattu’, dan yang lainnya. Maka ini tidak menagapa (boleh), selama ia tidak mengkhususkannya dengan keyakinan bahwasanya ia memiliki keistimewaan.
2. Keadaan kedua, ia berpuasa pada hari sebelumnya yaitu hari jum’at maka ini tidak mengapa, karena Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada salah seorang isterinya, Ummahatul Mukminin, yang ia sedang berpuasa pada hari Jum’at:”Apakah kemarin engkau berpuasa?” Ia menjawab:”Tidak” Nabi bertanya kembali:”Apakah engkau akan berpuasa besok?” Ia menjawab:”Tidak” Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:”Maka berbukalah”.

Maka sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ”Apakah engkau akan berpuasa besok?” menunjukkan boehnya berpuasa hari sabtu bersamaan dengan hari jum’at.
3. Keadaan ketiga, berpuasa hari sabtu bertepatan dengan puasa hari-hari yang disyari’atkan, seperti Ayamul Biidh (13, 14, 15 bulan Hijriyyah),hari ‘Arafah, hari ‘Asyuraaa’, enam hari bulan Syawal bagi yang berpuasa Ramadhan, dan puasa sembilan hari Dzulhijjah. Maka ini tidak mengapa,karena ia tidak berpuasa semata-mata karena ia hari sabtu, akan tetapi karena ia adalah hari-hari yang disyari’atkan untuk berpuasa.
4. Keadaan keempat, hari sabtu bertepatan dengan kebiasaan rutin puasanya. Seperti orang yang terbiasa berpuasa sehari dan berbuka satu hari (puasa Dawud), lalu jadwal puasanya bertepatan dengan hari sabtu, maka ini juga tidak mengapa (diperbolehkan), sebagaimana sabda Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam ketika melarang mendahului Ramadhan dengan puasa sehari atau dua hari sebelumnya:”Kecuali seseorang yang memiliki rutinitas puasa, maka silahkan dia berpuasa” Dan ini (puasa hari sabtu) seperti itu juga.
5. Keadaan kelima, mengkhususkannya dengan berpuasa sunah sehari (tidak disambung dengan hari lain). Maka inilah letak larangannya, jika haditsnya shahih tentang larangan hal itu (puasa hari Sabtu).
[Majmu’ Fatawa wa Rasaa’il Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah (20/57). Dinukil dari http://www.4algeria.com/vb/showthread.php?t=315535]

Kesimpulan:

Sebagian Ulama ada yang mengatakan hadits di atas (larangan puasa hari sabtu) adalah hadits Maqbul (shahih atau hasan). Maka dari itu sebagian mereka mengharamkan secara mutlak puasa pada hari sabtu, baik didahului dengan satu hari sebelumnya atau tidak, dan sama saja apakah bertepatan dengan puasa sunnah yang lain atau tidak. Namun sebagian mereka yang mengatakan hadits itu hasan mereka tidak berpendapat dengan keharaman puasa pada hari sabtu, karena mereka melihat dengan hadits-hadits yang lain, seperti Syaikh Sa’d bin ‘Abdullah Alu Humaid dalam Fatawa Haditsiyyah.

Di antara ulama (dan ini sebagian besarnya) menyatakan bahwa hadits tersebut tidak shahih, ada yang mengatakan munkar, kadzib, syadz dan lain-lain. Sehingga mereka membolehkan puasa pada hari sabtu secara mutlak. Lebih-lebih jika bertepatan dengan puasa sunnah muakkadah seperti puasa Asy-Syura, puasa ‘Arafah dan lainnya.

Sebagian ulama lainnya menilai bahwa hadits larangan berpuasa pada hari Sabtu adalah jayid (boleh jadi shahih atau hasan). Namun yang mereka pahami, puasa hari Sabtu hanya terlarang jika bersendirian. Bila diikuti dengan puasa sebelumnya pada hari Jum’at, maka itu dibolehkan.

Hanya Allah yang memberi taufik. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.

Maka dari penjelasan di atas bisa ditarik kesimpulan bahwa puasa ‘Arafah tetap boleh dilakukan sekalipun bertepatan dengan hari Sabtu. Wallaahu A’lam

(Sumber: Tuhfatul Ahwadzi, ‘Aunul Ma’bud, Taudhihul Ahkam, Syarh Sunan Ibnu Majah karya Imam Suyuthi dan sumber-sumber lainnya. Diposting oleh Abu Yusuf Sujono)