Masalah

Abu Sa’ad al-Mutawalli berkata, Ucapan penghormatan yang diucapkan ketika keluar dari kamar mandi,

طَابَ حَمَّامُكَ.

“Semoga kamar mandimu baik.”

Ini tidak ada dasarnya, akan tetapi diriwayatkan bahwa Ali radhiyallahu ‘anhu berkata kepada seorang laki-laki yang keluar dari kamar mandi, طَهُرْتَ فَلاَ نَجَسْتَ “Kamu telah suci maka tidak ada yang menajisimu.”

Saya berkata, “Pembahasan ini tidak ada sesuatu pun yang shahih di dalamnya, apabila seandainya ada seseorang yang berkata kepada temannya, dengan tujuan cinta dan pertalian serta membuka rasa kasih sayang, semoga Allah melanggengkan nikmat untukmu… dan doa-doa semisalnya, maka tidak menjadi masalah.

Masalah: Apabila orang yang lewat mendahului orang yang dilewati, seraya mengatakan, “Semoga Allah menjadikan pagimu penuh dengan kebaikan atau kebaha-giaan,” atau “Semoga Allah memberimu kekuatan”, atau “Semoga Allah menghilangkan semangatmu” atau kalimat lainnya yang biasa dipakai manusia, maka dia tidak berhak mendapatkan jawaban, akan tetapi kalau dia mendoakannya semisalnya maka itu menjadi kebaikan, kecuali kalau dia meninggalkan jawabannya secara global sebagai teguran baginya karena sikap peninggalannya dan peremehannya terhadap salam “Assalamu’alaikum,” dan sebagai pendidikan baginya dan selainnya dalam memperhatikan cara memulai salam.

Pasal: Jika seseorang ingin mencium tangan orang lain. Apabila itu dilakukan karena kezuhudan, kebaikan, keilmuan, kemuliaan, penjagaan dan perkara agama atau semisalnya dari orang tersebut, maka hukumnya tidak makruh bahkan dianjurkan. Dan apabila dilakukan karena kekayaan, dunia, harta, kekuasaan, dan wibawanya dalam pandangan ahli dunia serta semisalnya, maka hukumnya sangat makruh. Al-Mutawalli dari kalangan sahabat kami berkata, “Tidak boleh,” dan mengisyaratkan bahwa hukumnya haram.

Kami meriwayatkan dalam Kitab Sunan Abu Dawud, dari Zari’ radiyallahu ‘anhu -pernah dalam utusan Abdul Qais- dia berkata,

فَجَعَلْنَا نَتَبَادَرُ مِنْ رَوَاحِلِنَا فَنُقَبِّلُ يَدَ النَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم وَرِجْلَهُ.

“Kami segera turun dari kendaraan kami dan mencium tangan dan kaki Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam.”

Kami juga meriwayatkan dalam Kitab Sunan Abu Dawud: dari Ibnu Umar radiyallahu ‘anhu sebuah kisah, dia berkata di dalamnya,

فَدَنَوْنَا -يَعْنِي مِنَ النَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم فَقَبَّلْنَا يَدَهُ.

“Maka kami mendekat -maksudnya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam,- lalu kami mencium tangannya.”

Adapun seseorang yang mencium pipi anaknya yang kecil dan saudaranya, dan mencium selain pipinya seperti mata dan semisalnya, dengan niat simpati, kasih sayang, kelembutan, dan cinta kekeluargaan, maka hukumnya sunnah. Dan hadits-hadits tentangnya sangat banyak, shahih dan masyhur, baik anak tersebut laki-laki ataupun perempuan. Begitu juga mencium anak temannya dan anak-anak kecil lainnya dengan niat seperti ini.

Sedangkan mencium dengan syahwat maka hukumnya haram berdasarkan kesepakatan (ulama), baik anak laki-laki ataupun yang lainnya, bahkan memandang kepadanya -baik kerabat ataupun orang lain (ajnabi)- dengan syahwat, maka hukumnya haram berdasarkan dengan kesepakatan (ulama).

Kami meriwayatkan dalam kitab Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim, dari Abi Hurairah radiyallahu ‘anhu, dia berkata,

قَبَّلَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم الْحَسَنَ بْنَ عَلِيٍّ رضي الله عنه وَعِنْدَهُ اْلأَقْرَعُ بْنُ حَابِسٍ التَّمِيْمِيُّ، فَقَالَ اْلأَقْرَعُ: إِنَّ لِي عَشَرَةً مِنَ الْوَلَدِ، مَا قَبَّلْتُ مِنْهُمْ أَحَدًا، فَنَظَرَ إِلَيْهِ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم ثُمَّ قَالَ: مَنْ لاَ يَرْحَمُ لاَ يُرْحَمُ.

“Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam mencium al-Hasan bin ‘Ali radiyallahu ‘anhu , dan bersamanya al-Aqra’ bin Habis at-Tamimi. Al-Aqra’ berkata, ‘Aku mempunyai sepuluh orang anak laki-laki dan tak ada satu pun dari mereka yang aku cium.’ Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam memandang kepadanya kemudian bersabda, ‘Barangsiapa yang tidak menyayangi maka ia tidak akan disayang’.”

Kami meriwayatkan dalam kitab Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim, dari Aisyah radiyallahu ‘anha,,, dia berkata,

قَدِمَ نَاسٌ مِنَ اْلأَعْرَابِ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه و سلم فَقَالُوْا: أَتُقَبِّلُوْنَ صِبْيَانَكُمْ؟ فَقَالُوْا: نَعَمْ، قَالُوْا: لكِنَّا وَاللهِ مَا نُقَبِّلُ، فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم أَوَأَمْلِكُ إِنْ كَانَ اللهُ نَزَعَ مِنْكُمُ الرَّحْمَةَ؟

“Serombongan orang dari Badui datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, mereka bertanya, ‘Apakah kalian mencium anak-anak kecil kalian?’ Mereka menjawab, ‘Ya’. Mereka berkata, ‘Akan tetapi demi Allah, kami tidak mencium (mereka).’ Maka Rasulullah bersabda, ‘Apakah saya memiliki (kuasa untuk memberi rasa kasih) di mana Allah mencabut rasa sayang dari hati kalian?'”

Ini adalah lafazh salah satu riwayat, dan ia diriwayatkan dengan banyak lafazh.

Kami meriwayatkan dalam kitab Shahih al-Bukhari dan lainnya, dari Anas radiyallahu ‘anhu dia berkata,

أَخَذَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم ابْنَهُ إِبْرَاهِيْمَ فَقَبَّلَهُ وَشَمَّهُ.

“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mengambil putranya Ibrahim, lalu mengecup dan menciumnya.”

Kami meriwayatkan dalam Sunan Abu Dawud, dari al-Bara` bin Azib radiyallahu ‘anhu, dia berkata,

دَخَلْتُ مَعَ أَبِي بَكْرٍ رضي الله عنه أَوَّلَ مَا قَدِمَ الْمَدِيْنَةَ، فَإِذَا عَائِشَةُ ابْنَتُهُ رضي الله عنه مُضْطَجِعَةٌ قَدْ أَصَابَتْهَا حُمَّى، فَأَتَاهَا أَبُو بَكْرٍ فَقَالَ: كَيْفَ أَنْتِ يَا بُنَيَّةُ؟ وَقَبَّلَ خَدَّهَا.

“Saya masuk (rumah pent.) bersama Abu Bakar radiyallahu ‘anhu ketika pertama kali mendatangi Madinah, tiba-tiba kami mendapatkan Aisyah, putrinya berbaring karena terserang demam, maka Abu Bakar mendatanginya seraya berkata kepadanya, ‘Bagaimana keadaanmu wahai putriku?,’ dan dia mencium pipinya.”

Kami meriwayatkan dalam kitab-kitab at-Tirmidzi, an-Nasa`i, dan Ibnu Majah dengan sanad-sanad yang shahih, dari Shafwan bin Assal seorang sahabat radiyallahu ‘anhu, dia berkata,

قَالَ يَهُوْدِيٌّ لِصَاحِبِهِ: اِذْهَبْ بِنَا إِلَى هذَا النَّبِيِّ، فَأَتَيَا رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم فَسَأَلاَهُ عَنْ تِسْعِ آيَاتٍ بَيِّنَاتٍ … فَذَكَرَ اْلحَدِيْثَ إِلَى قَوْلِهِ: فَقَبَّلُوْا يَدَهُ وَرِجْلَهُ، فَقَالاَ: نَشْهَدُ أَنَّكَ نَبِيٌّ.

“Seorang Yahudi berkata kepada temannya, ‘Pergilah bersama kami kepada Nabi ini, maka keduanya mendatangi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dan menanyakan kepada beliau tentang sembilan tanda-tanda kenabian…, maka dia menyebutkan hadits sampai perkataannya, ‘Maka mereka mencium tangan dan kaki Rasulullah seraya berkata, ‘Kami bersaksi bahwa kamu adalah seorang Nabi’.”

Kami meriwayatkan dalam Sunan Abu Dawud dengan isnad yang shahih lagi jayyid, dari Iyas bin Daghfal, dia berkata,

رَأَيْتُ أَبَا نَضْرَةَ قَبَّلَ خَدَّ الْحَسَنِ بْنِ عَلِيٍّ رضي الله عنه.

“Saya melihat Abu Nadhrah mencium pipi al-Hasan bin Ali radiyallahu ‘anhu .”

Saya berkata, “Abu Nadhrah, namanya adalah al-Mundzir bin Malik bin Qutha’ah adalah seorang tabi’in yang tsiqah.

Dan dari Ibnu Umar radiyallahu ‘anhu, bahwasanya dia mencium putranya, Salim, dan mengatakan,

اِعْجَبُوْا مِنْ شَيْخٍ يُقَبِّلُ شَيْخًا.

“Takjubkah kalian terhadap seorang tua yang mencium orang tua.”

Dan dari Sahal bin Abdullah at-Tustari, seorang pemimpin yang mulia, salah seorang ahli zuhud, dan banyak beribadah radiyallahu ‘anhu, bahwasanya ia mendatangi Abu Dawud as-Sijistani, dan berkata, “Keluarkanlah untukku lidahmu yang mengucapkan hadits Rasulullah agar saya menciumnya.” Maka dia pun menciumnya.”

Dan perbuatan-perbuatan ulama Salaf berkaitan dengan (masalah ini) sangatlah banyak untuk disebutkan. Wallahu a’lam.

Pasal: Tidak mengapa mencium wajah mayit yang shalih untuk bertabarruk.

Dan tidak mengapa seorang laki-laki yang mencium wajah sahabatnya ketika datang kembali dari bepergian dan semisalnya.

Kami meriwayatkan dalam Shahih al-Bukhari, dari Aisyah radiyallahu ‘anha dalam hadits panjang tentang wafatnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, dia berkata,

دَخَلَ أَبُو بَكْرٍ رضي الله عنه فَكَشَفَ عَنْ وَجْهِ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه و سلم ثُمَّ أَكَبَّ عَلَيْهِ فَقَبَّلَهُ وَبَكَى.

“Abu Bakar radiyallahu ‘anhu masuk, lalu dia membuka (penutup) muka Rasulullah -shallallahu’alaihi wasallam- kemudian beliau merunduk, mencium beliau, dan menangis.”

Kami meriwayatkan dalam Kitab at-Tirmidzi, dari Aisyah radiyallahu ‘anha dia berkata,

قَدِمَ زَيْدُ بْنُ حَارِثَةَ الْمَدِيْنَةَ، وَرَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم فِي بَيْتِي، فَأَتَاهُ، فَقَرَعَ الْبَابَ، فَقَامَ إِلَيْهِ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم يَجُرُّ ثَوْبَهُ فَاعْتَنَقَهُ وَقَبَّلَهُ.

“Zaid bin Haritsah datang ke Madinah, sedangkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallamberada di rumahku, maka dia mendatangi beliau, lalu mengetuk pintu, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menghampirinya dengan menarik bajunya, selanjutnya beliau memeluk dan menciumnya.”

At-Tirmidzi berkata, “Hadits ini hasan.”

Sedangkan berpelukan dan mencium wajah selain anak kecil dan orang yang datang dari suatu perjalanan dan yang semisalnya maka sangat dibenci (makruh), Abu Muhammad al-Baghawi dan yang lainnya dari Ahlu Hijaz telah menetapkan kemakruhannya itu.

Dan yang menunjukkan kepada kemakruhan hal ini, adalah hadits yang telah kami riwayatkan dalam kitab at-Tirmidzi dan Ibnu Majah, dari Anas radiyallahu ‘anhu, dia berkata,

قَالَ رَجُلٌ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، الرَّجُلُ مِنَّا يَلْقَى أَخَاهُ أَوْ صَدِيْقَهُ أَيَنْحَنِي لَهُ؟ قَالَ: لاَ، قَالَ: أَفَيَلْتَزِمُهُ وَيُقَبِّلُهُ؟ قَالَ: لاَ، قَالَ: أَفَيَأْخُذُ بِيَدِهِ وَيُصَافِحُهُ؟ قَالَ: نَعَمْ.

“Seorang laki-laki berkata, ‘Wahai Rasulullah, seorang laki-laki dari kami (kaum Muslimin) bertemu dengan saudaranya (seiman) atau teman dekatnya, apakah dia harus membungkuk kepadanya?’ Beliau menjawab, ‘Tidak’. Dia bertanya, ‘Apakah dia harus memeluk dan menciumnya?’ Beliau menjawab, ‘Tidak’. Dia bertanya, ‘Apakah dia harus meraih tangannya dan menjabatnya?’ Beliau menjawab, ‘Ya’.”

At-Tirmidzi berkata, “Hadits ini hadits hasan”.

Saya berkata, “Hal inilah yang telah kami sebutkan dalam bab berciuman dan berpelukan, dan bahwasanya hal ini tidak apa-apa apabila dilakukan ketika menyambut kedatangan seseorang dari perjalanan dan semisalnya, dan hukumnya makruh tanzih pada selainnya. Hal ini dimaksudkan pada selain mencium orang yang tak berjenggot yang wajahnya ganteng. Orang yang tak berjenggot yang ganteng, maka haram menciumnya dalam kondisi apapun, apakah datang dari perjalanan atau tidak. Dan yang zhahir bahwa memeluknya sama dengan menciumnya atau perbuatan yang dekat dengan menciumnya. Dan tidak ada bedanya dalam hal ini bahwa yang mencium dan dicium adalah shalih atau fasik atau salah satunya shalih; semuanya sama. Madzhab yang shahih menurut kami adalah pengharaman melihat kepada orang yang tak berjenggot yang ganteng, walaupun tanpa syahwat dan aman dari fitnah, maka hal tersebut diharamkan sebagaimana mencium wanita karena dia semakna.

Sumber : Ensiklopedia Dzikir Dan Do’a, Imam Nawawi, Pustaka Sahifa Jakarta. Disadur oleh Yusuf Al-Lomboky