Allah subhanahu wata’ala berfirman, artinya,
“Dan Dia telah memberikan kepadamu (keperluanmu) dari segala apa yang kamu mohonkan kepada-Nya. Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah kamu dapat menghinggakannya. Sesungguhnya manusia itu, sangat zalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah). (QS. 14:34)

Karunia atau nikmat yang dianugerahkan oleh Allah subhanahu wata’ala kepada setiap manusia sungguh sangat banyak dan amat besar, siapa pun dia, bagaimana pun kondisinya dan apa pun status sosialnya. Bahkan, musibah yang menimpa seorang mukmin yang ia terima dengan penuh lapang dada, seraya menucapkan “inâ lillâh wainnâ ilaihi râji`ûn” (sesungguhnya kami ini adalah milik Allah subhanahu wata’ala dan sesungguhnya kepada-Nya lah kami kembali) itu pun menjadi karunia dan nikmat tersendiri baginya, sebagaimana dijelaskan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam haditsnya,
“Sungguhnya keadaan seorang mukmin itu sangat menakjubkan, karena semua keadaannya menjadi kebaikan bagi dirinya: jika mendapat nikmat ia bersyukur, maka itu mejadi kebaikan baginya, dan jika ditimpa musibah ia bersabar, maka itu menjadi kebaikan baginya”. (HR. Muslim)

Oleh karena sangat banyaknya karunia dan kenikmatan yang Allah anugerahkan kepada semua manusia yang kadang lalai, tidak tahu diri dan tidak mengenal kebaikan dan karunia Allah kepadanya, karena itu semua Allah subhanahu wata’ala menyapa manusia ini dengan mengatakan,
“Dan Dia telah memberikan kepadamu (keperluanmu) dari segala apa yang kamu mohonkan kepadanya. Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah kamu dapat menghinggakan nya.

Allah subhanahu wata’ala menyapa manusia agar mereka bersyukur kepada-Nya dan memanfaatkan semua karunia dan nikmat itu pada jalan yang diridhai-Nya, juga agar manusia tidak menjadi orang yang zalim dan kufur nikmat dan tahu betapa banyaknya karunia dan nikmat Allah yang telah Dia anugerahkan kepadanya.
“Sesungguhnya manusia itu, sangat zalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah).”

Kita sering mendengar seseorang mengeluh dan berontak, seraya berkata, “Allah sangat tidak adil! Aku sudah melakukan shalat lima waktu, bahkan shalat malam pun sering aku lakukan dan aku sudah berdo’a, namun hingga detik ini Dia tidak penah mengabulkan do`aku. Sementara, temanku yang tidak taat kepada Allah dan selalu melakukan kemaksiatan malah diberi rizki yang berlimpah ruah! Sungguh Allah sangat tidak adil!”

Ungkapan seperti ini sering kita dengar dari sebagian orang dan mirip dengan yang diungkapkan oleh Allah subhanahu wata’ala di dalam al-Qur’an tentang sifat kufur manusia,
“Adapun manusia apabila Tuhannya mengujinya lalu dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan, maka dia berkata, “Tuhanku telah memuliakanku”. Adapun bila Tuhannya mengujinya lalu membatasi rezkinya maka dia berkata, “Tuhanku menghinakanku”. (QS. 89:15-16)

Orang seperti itu biasanya tidak sadar kalau karunia dan kenikmatan yang telah Allah subhanahu wata’ala berikan kepadanya tidak terhitung jumlahnya bahkan belum pernah ia syukuri, dan sekali pun ia telah mensyukurinya pasti syukurnya tidak akan dapat menandingi kenikmatan itu. Tidakkah Allah telah memberinya mata (penglihatan) yang nilainya tidak dapat dibandingkan dengan kekayaan matriel, lalu sepadankah kesyukurannya dengan nikmat penglihatan (mata) ini?! Tidakkah Allah telah menganugerahkan kepadanya akal yang dengannya ia dapat melakukan banyak hal? Relakah akalnya ditukar dengan uang sebanyak kebutuhannya?! Lalu bagaimana dengan nikmat sehat, nikmat bisa bernafas, nikmat oksigen, nikmat Islam, nikmat iman, nikmat dapat beribadah dengan baik dan khusyu’, nikmat ilmu dan lain-lainnya? Allah subhanahu wata’ala berfirman,
Katakanlah, “Dia-lah yang mencipta kan kamu dan menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati (akal)”. Tetapi amat sedikit kamu bersyukur.” (QS. 67:23)

Jika nikmat yang ada pada dirinya saja belum tersyukuri, lalu pantaskah ia mengucapkan ungkapan ke-kufuran- seperti di atas? Tidakkah kalau Allah memberinya nikmat yang lain malah membuatnya makin tidak bersyukur, sebab yang ada saja tidak disyukuri?!

Sungguh alangkah malangnya manusia yang tidak merasakan betapa banyak dan betapa sangat besarnya karunia dan nikmat Allah subhanahu wata’ala kepada dirinya, atau hanya bisa merasakan karunia dan nikmat-Nya pada makanan dan minumannya saja, lalu ia merasa telah bersyukur kepada Allah subhanahu wata’ala, karena bisa mengucapkan Alhamdu lillâh sesudahnya.

Seorang shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bernama Abû Dardâ ra pernah mengatakan, “Barang siapa yang tidak melihat (merasakan) nikmat yang Allah berikan kepadanya kecuali hanya pada makanan dan minumannya, maka sesungguhnya ilmu (ma`rifat)nya sangat dangkal dan azab pun telah menantinya”. (Abu Hayyân al-Andalusi, al-Bahr al-Muhîth fî al-Tafsîr, jilid 6, hal. 441. Maktabah Tijâriyyah Musthafa al-Bâz)

Karunia dan nikmat Allah yang telah diberikan kepada kita (manusia) sungguh tidak dapat kita hitung jumlahnya dan sebanyak apapun kesyukuran manusia kepada Allah atas karunia-Nya tetap tidak akan sebanding, bahkan bisa bersyukur itu sendiri merupakan karunia dan nikmat. Oleh karena itu, hendaknya manusia, apapun kedudukannya di dunia harus selalu bersyukur dan berterima kasih kepada Allah subhanahu wata’ala sang Pemberi nikmat.

Ibnu Qayyim (seorang tokoh ulama terkemuka) menjelaskan bahwa hakikat syukur kepada Allah itu adalah tampaknya bekas nikmat Allah pada lisan sang hamba dalam bentuk pujian dan pengakuan, di dalam hatinya dalam bentuk kesaksian dan rasa cinta, dan pada anggota tubuhnya dalam bentuk patuh dan taat. (Ibn Qayyim al-Jauziyah, Tahdzîb Madârij al-sâlikîn oleh Abdul Mun`im al`Izzî, hal. 348)

Dan beliau lebih lanjut menjelaskan bahwa syukur itu mempunyai 5 (lima) pilar pokok yang apa bila salah satunya tidak terpenuhi maka syukur menjadi batal dan dianggap belum bersyukur. 5 (lima) pilar pokok itu adalah kepatuhan orang yang bersukur kepada Pemberi nikmat, mencintai-Nya, mengakui nikmat dari-Nya, memuji-Nya atas nikmat-Nya dan tidak menggunakan nikmat yang diberikan-Nya untuk sesuatu yang tidak Dia suka. (maraji’ sebelumnya)

Ketika seseorang mengidap suatu penyakit yang membuatnya menderita sepanjang waktu dan sudah mengancam keselamatan jiwanya. Sang dokter memutuskan ia harus menjalani suatu operasi medis untuk menyelamatkan jiwanya, akan tetapi biaya operasi jauh di luar kemampuannya, bahkan sudah berbagai upaya dilakukan keluarganya untuk mendapatkan dana demi menolongnya hingga akhirnya mereka berputus asa dan pasrah. Sementara, si penderita terus merasakan getirnya penderitaan yang menimpanya……. Dalam kondisi seperti itu, tiba-tiba ada seorang dermawan menanggung semua kebutuhan biaya operasi, hingga akhirnya jiwa penderita tersemalatkan dan bebas dari derita yang selama ini mencengkramnya.

`Di saat terpenuhinya kebutuhan seperti itulah kenikmatan itu terasa, ucapan terima kasih dan pujian kepada si dermawan pun terus diucapkan sepenuh hati, kebaikannya tak terlupakan sepanjang masa, rasa patuh, hormat dan cinta kepadanya pun mendalam di dalam kalbu. Kalau pun sekiranya bantuan itu bersyarat, maka dengan suka hati ia memenuhinya. Begitulah kira-kira ilustrasi seorang yang bersyukur.

Walhasil, ucapan alhamdulillah saja belum bisa dianggap telah mencerminkan kesyukuran, sebelum adanya pengakuan lisan, sikap tunduk dan taat, rasa cinta serta memanfaatkan kenikmatan dalam rangka ibadah kepada Allah subhanahu wata’ala.

Jika, demikian hakikat syukur, maka jangan anda heran kalau Allah subhanahu wata’ala berfirman,
“Dan sangat sedikit sekali hamba-hamba-Ku yang bersyukur” (Q.S. 34: 13), Sesungguhnya manusia itu, sangat zalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah). (QS. 14:34), karena memang seperti itu keadaannya.

Sekalipun begitu, Allah subhanahu wata’ala tidak ingin kalau hamba-hamba-Nya tidak bersyukur, karena akan berakibat buruk bagi mereka di dunia maupun di akhirat. Maka Dia perintahkan kepada mereka melalui ayat-ayatnya agar selalu bersyukur, dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun mengajarkan kepada ummatnya apa yang harus mereka lakukan dalam rangka bersyukur kepada Allah subhanahu wata’ala, di antaranya melalui do`a setiap usai sholat, artinya,
“Ya Allah, tolonglah aku untuk berdzikir kepada-Mu, bersyukur kepada-Mu dan beribadah dengan baik kepada-Mu”. (HR. Abu Daud:1522 dan Nasa’i: 1302)

Dan dzikir pagi dan sore, artinya, “Ya Allah, kenikmatan apapun yang ada padaku atau pada seseorang di antara makhluk-Mu (di pagi hari ini, di sore hari ini), maka dari-Mu semata, tiada sekutu bagi-Mu. Maka untuk-Mu lah segala puji, dan untuk-Mu jualah segala rasa syukur” (HR. Abu Daud: 5073, Nasa’i: 7)

Semoga kita bisa menjadi hamba-hamba Allah subhanahu wata’ala yang pandai bersyukur dan berterima kasih. Wallâhu a`lam. (Musthafa Aini. Lc)