Menganggap mengucapkan syahadatain tanpa amal perbuatan sudah cukup mensahkan iman adalah keliru. Begitu pula menganggap membenarkan dengan hati sudah cukup mensahkan iman adalah keliru karena:

A. Dalil-dalil menetapkan bahwa iman bukan sekedar pengucapan dua kalimat syahadat bukan pula sekedar pengakuan dalam hati, akan tetapi iman –dan ini adalah definisi dan pemahaman salaf Ahlus Sunnah wal Jamaah- adalah perkataan dan perbuatan: perkataan hati dan lisan, perbuatan hati dan anggota badan atau dengan ungkapan lain iman adalah membenarkan dengan hati, mengikrarkan dengan lisan dan mengamalkan dengan perbuatan.

Definisi inilah yang benar, ia diterima turun temurun oleh Ahlus Sunnah wal Jamaah mulai dari sahabat-sahabat nabi dan generasi sesudah mereka, Ibnul Abdul Bar di at-Tamhid menyatakan bahwa ia merupakan ijma’, ini benar karena sebelum Murji’ah dan Jahmiyah lahir tidak ada yang berpendapat seperti pendapat keduanya dari kalangan salaf.

Di antara dalil-dalil bahwa iman adalah membenarkan dengan hati adalah firman Allah,

“Karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu.” (Al-Hujurat: 14).

Firman Allah, “Hari rasul, janganlah hendaknya kamu disedihkan oleh orang-orang yang bersegera (memperlihatkan) kekafirannya, yaitu diantara orang-orang yang mengatakan dengan mulut mereka, ‘Kami telah beriman,’ padahal hati mereka belum beriman.” (Al-Maidah: 41).

Di antara dalil-dalil bahwa iman adalah ikrar dengan lisan adalah:

Firman Allah, “Katakanlah (hai orang-orang mukmin), ‘Kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kami’.” (Al-Baqarah:136).

Di antara dalil bahwa iman adalah amal perbuatan adalah,

firman Allah, “Dan Allah tidak menyia-nyiakan imanmu.” (Al-Baqarah: 143).

Para mufassirin berkata, iman di sini adalah shalatmu ke baitul Maqdis.
Juga sabda Nabi saw,

الإِيْمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُوْنَ ، أَوْ بِضْعٌ وَسِتُّوْنَ شُعْبَةً ، فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لاَإِلَهَ إِلاَّ اللهُ ، وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ الأَذَى عَنِ الطَّرِيْقِ ، وَالحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ الإِيْمَانِ .

“Iman itu tujuh puluh cabang lebih atau enam puluh cabang lebih yang paling utama adalah ucapan ‘La ilaha illallah’ dan yang paling rendah adalah menyingkirkan rintangan (kotoran) dari tengah jalan, sedang rasa malu itu (juga) salah satu cabang dari iman.” (HR. Muslim).

B. Jika ikrar lisan cukup mensahkan iman niscaya orang-orang munafik adalah orang-orang yang beriman padahal Allah berfirman,

“Di antara manusia ada yang mengatakan, ‘Kami beriman kepada Allah dan Hari Kemudian,’ pada hal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman.” (Al-Baqarah: 8).

“Sesungguhnya orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan yang paling bawah dari neraka. Dan kamu sekali-kali tidak akan mendapat seorang penolong pun bagi mereka.” (An-Nisa`: 145).

Jika pembenaran hati cukup mensahkan iman niscaya iblis, Fir’aun dan lain-lain adalah orang-orang yang beriman karena hati mereka mengakui padahal Allah berfirman tentang iblis,

“Kecuali Iblis, ia enggan dan takabur dan adalah ia termasuk golongan orang-orang yang kafir.” (Al-Baqarah: 34).

Firman Allah tentang Fir’aun dan kaumnya, “Dan mereka mengingkarinya karena kezhaliman dan kesombongan (mereka) padahal hati mereka meyakini (kebenaran)nya. Maka perhatikanlah betapa kesudahan orang-orang yang berbuat kebinasaan.” (An-Naml: 14).

Firman Allah tentang azab Fir’aun, “Kepada mereka dinampakkan neraka pada pagi dan petang, dan pada hari terjadinya kiamat. (Dikatakan kepada malaikat), ‘Masukkanlah Fir’aun dan kaumnya ke dalam azab yang sangat keras.” (Al-Mukmin: 46)

Menganggap al-Qur`an bukan kalam Allah hakiki tetapi majazi adalah keliru,
begitu pula menganggap kalam Allah adalah makna yang satu yang berdiri pada dzat Allah adalah keliru.

Ibnu Taimiyah di al-Aqidah al-Wasithiyah berkata, “Bahwa al-Qur`an yang Allah turunkan kepada Muhammad adalah kalam Allah hakiki bukan kalam selainNya … karena kalam hanya disandarkan secara hakiki kepada yang mengucapkannya pertama kali.”

Dalam Syarah al-Aqidah at-Thahawiyah (1/190) terdapat bantahan terhadap pendapat bahwa al-Qur`an bukan kalam Allah secara hakikat tetapi majazi. “Yang benar adalah bahwa Taurat, Injil, Zabur dan al-Qur`an termasuk kalam Allah secara hakiki dan kalam Allah tidak berakhir karena Dia senantiasa berbicara dengan apa yang Dia kehendaki jika Dia berkehendak bagaimana Dia berkehendak dan Dia senantiasa demikian.

Firman Allah, [ “Katakanlah, sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula).”(Al-Kahfi: 109).

Firman Allah, “Dan seandainya pohon-pohon di bumi menjadi pena dan laut (menjadi tinta), ditambahkan kepadanya tujuh laut (lagi) sesudah (kering)nya, niscaya tidak akan habis-habisnya (dituliskan) kalimat Allah. Sesungguhnya Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.” (Luqman: 27).

Seandainya yang ada di mushaf adalah ungkapan dari kalam Allah dan bukan kalam Allah niscaya orang junub dan hadats tidak dilarang menyentuhnya, kalau apa yang dibaca qari bukan kalam Allah niscaya orang junub tidak dilarang membaca al-Qur`an, kalam Allah terjaga di dalam dada, terbaca dengan lisan dan tertulis di mushaf sebagaimana hal itu dikatakan oleh Abu Hanifah rhm di al-Fiqh al-Akbar dan ia di semua tempat tersebut adalah hakiki.

Tentang anggapan bahwa kalam Allah adalah makna yang satu yang berdiri pada Allah, dibantah di Syarah al-Aqidah ath-Thahawiyah 1/189 di sana ditulis, “Ini adalah pendapat yang rusak karena konsekuensinya, makna firman Allah, “Dan janganlah kamu mendekati zina.” (Al-Isra`: 32) adalah sama dengan makna firman Allah, “Dan dirikanlah shalat.” (Al-Baqarah: 43). Makna ayat kursi adalah makna ayat hutang dan makna surat al-Ikhlas adalah sama dengan makna surat al-Lahab. Dan jika seseorang merenungkan pendapat ini jelaslah baginya ketidakbenarannya dan dia mengetahui bahwa ia menyelisihi ucapan salaf.

Adapun anggapan bahwa kalam Allah adalah makna yang berdiri pada diri Allah maka ia keliru bantahannya tercantum dalam Syarah al-Aqidah ath-Thahawiyah 1/201 dikatakan ucapan orang, “Kalam adalah makna yang berdiri pada diri dzat,” dibantah oleh sabda Nabi saw, “Sesungguhnya dalam shalat kita ini tidak layak ada padanya sesuatu dari kalam (ucapan) manusia.” (HR. Muslim). … para ulama bersepakat bahwa jika orang shalat berbicara di dalam shalat dengan sengaja tanpa ada kemaslahatan niscaya shalatnya batal, mereka semua bersepakat bahwa pembenaran terhadap perkara-perkara dunia yang ada di dalam hati dan tuntutannya tidak membatalkan shalat, yang membatalkan adalah jika ia diucapkan. Dari sini diketahui kesepakatan kaum muslimin bahwa apa yang ada pada jiwa bukanlah kalam.”

Penutup

Dari telaah terhadap sebagian pemikiran Asyariyah kita mengetahui bahwa di antara pemikiran-pemikiran tersebut terdapat penyelisihan dan penyimpangan dari al-Qur`an dan hadits serta petunjuk salaf shalih dan dari telaah diketahui kadar dan nilai penyelisihannya di mana ia terjadi pada perkara-perkara yang merupakan ushul (dasar) dalam agama, sementara yang dikenal secara salah kaprah adalah bahwa Asyariyah adalah Ahlus Sunnah wal Jamaah, padahal ahlus sunnah adalah keluarga sunnah, lalu apakah penyelisih sunnah layak dan sah disebut ahlus sunnah?

(Rujukan telaah: Syarah al-Aqidah ath-Tahawiyah Ibnu Abil Iz al-Hanafi, Syarah al-Aqidah al-Wasithiyah Ibnu Utsaimin, al-Qawaid al-Mutsla Ibnu Utsaimin, Syarah Lum’atul I’tiqad Ibnu Utsaimin, Nawaqidhul Iman DR. Abdul Aziz bin Muhammad Abdul Lathif, Manhajul Istidlal ala Masailul I’tiqad inda Ahlus Sunnah wal Jamaah Thaha Usman Hasan dan lain-lain).