Imam asy-Syafi’i, Muhammad bin Idris asy-Syafi’i, Imam madzhab fikih yang dinisbatkan kepadanya yang dianut oleh jutaan kaum muslimin di penjuru bumi, beliau mempunyai kedudukan terhormat di mata para imam dan ulama di masanya bahkan di mata para pesaingnya dari kalangan ulama. Imam Ahmad bin Hanbal berkata, “Ada enam orang di mana setiap waktu sahur aku berdoa untuk mereka, salah satunya adalah asy-Syafi’i.” Imam besar ini merupakan hujjah akurat dalam setiap dispilin ilmu. Hampir tidak ada disiplin ilmu kecuali dia pasti menguasainya dengan baik, dalam fikih beliau adalah imamnya, dalam sunnah beliau adalah nashir as-sunnah, dalam bahasa beliau adalah hujjah, dalam sastra beliau adalah seorang penyair mumpuni, dan dalam memanah beliau adalah jagonya, sampai-sampai dari sepuluh anak panah yang beliau lepas lewat busurnya tidak ada satu pun yang meleset. Di antara ilmu yang beliau kuasai adalah ilmu firasat. Benar, beliau memilki firasat tajam.

Imam besar ini dalam biografi di Tarikh Baghdad tertulis, bahwa ketika ibunya mengandungnya dia bermimpi melihat bintang bergerak, bintang paling besar jatuh di Mesir kemudian percikannya menyebar ke seluruh negeri. Maka para ahli takwil mimpi menafsirkan bahwa akan lahir seorang alim di mana ilmunya secara khusus untuk penduduk Mesir kemudian menyebar ke seluruh negeri.

Tiga orang murid asy-Syafi’i, yaitu ar-Rabi’, al-Muzani, al-Buwaithi mendatangi Imam asy-Syafi’i. Dia berkata kepada ar-Rabi’, “Kamu mati dalam hadits.” Asy-Syafi’i berkata tentang al-Muzani, “Seandainya dia berdebat dengan setan niscaya dia mengunggulinya.” Dia berkata kepada al-Buwaithi, “Kamu mati di besi.” Ar-Rabi’ satu dari tiga orang tersebut berkata, “Aku mendatangi al-Buwaithi pada hari fitnah, dia terikat dengan rantai.” Benar, al-Buwaithi ini, yang namanya adalah Abu Ya’qub Yusuf bin Yahya, meninggal pada tahun 231 H dalam penjara dengan kedua kaki terikat rantai besi dalam peristiwa fitnah khalq al-Qur`an.

Imam Dzahabi telah menukil dalam Siyar A’lamin Nubala’ dari asy-Syafi’i bahwa dia berkata, “Aku pergi ke Yaman untuk mencari buku-buku firasat sehingga aku menulisnya dan mengumpulkannya.”

Abu Nuaim dalam Hilyatul Auliya’ menukil dari asy-Syafi’i bahwa ketika dia selesai belajar ilmu firasat di Yaman, dia melewati seorang laki-laki di jalan yang memintanya untuk mampir di rumahnya. Asy-Syafi’i sangat dimuliakan oleh laki-laki itu. Akan tetapi asy-Syafi’i berfirasat pada tabiat laki-laki itu. Dia melihatnya memiliki tabiat buruk dan kikir. Malam itu asy-Syafi’i sepanjang malam tidak tenang di tempat tidur, dia berkata kepada dirinya, “Apa yang aku lakukan jika firasatku pada laki-laki itu salah?”

Pagi tiba, asy-Syafi’i hendak meneruskan perjalanan, dia berkata kepada laki-laki itu dalam rangka membalas kebaikan dengan kebaikan, “Jika kamu datang ke Makkah dan melewati Dzi Thuwa maka bertanyalah tentang asy-Syafi’i.” Laki-laki itu menjawab – Dan ternyata firasat asy-Syafi’i benar – “Apakah aku pelayan bapakmu?” Lalu laki-laki itu menyodorkan tagihan singgah: makan dua dirham, minyak wangi tiga dirham, makan hewan kendaraan dua dirham dan seterusnya. Dan laki-laki itu menutup ucapannya dengan mencaci maki asy-Syafi’i. asy-Syafi’i berkata kepada pelayannya, “Berikan apa yang dia minta.” Asy-Syafi’i berbahagia dengan buku-buku firasat yang dikumpulkannya di Yaman, ternyata tidak sia-sia.

Suatu hari asy-Syafi’i didatangi oleh seorang laki-laki yang bertanya kepadanya tentang masalah syar’i, maka asy-Syafi’i bertanya, “Apakah kamu seorang tukang tenun?” Laki-laki itu menjawab, “Benar dan aku memiliki beberapa pegawai.”

Suatu kali seorang laki-laki mendatanginya dan bertanya kepadanya tentang suatu masalah. Asy-Syafi’i bertanya kepadanya, “Kamu dari kota Shan’a?” Dia menjawab, “Benar.” Asy-Syafii berkata, “Menurutku kamu adalah pandai besi?” Dia menjawab, “Benar.”

Dalam biografi asy-Syafi’i ditulis bahwa asy-Syafi’i duduk bersama teman akrabnya Muhammad bin Hasan memperhatikan orang-orang. Lalu seorang laki-laki melewati keduanya. Muhammad berkata, “Tebaklah dia.” Asy-Syafii menjawab, “Aku ragu, kalau tidak tukang kayu, ya tukang jahit.” Humaidi perawi cerita ini, “Lalu aku menemui laki-laki itu dan bertanya, “Apa pekerjaanmu?” Dia menjawab, “Dulu tukang kayu dan sekarang tukang jahit.” (Mausu’ah Qashash as-Salaf, Ahmad Salim Baduwailan). (Izzudin Karimi)