Proses belajar atau menuntut ilmu, khusunya ilmu syar’i terkadang sering mengalami berbagai hambatan dan kendala. Seorang thalib ilmu atau siapa saja yang sedang belajar biasanya akan menghadapi berbagai masalah dalam belajar, baik terkait dengan pribadi, keluarga, teman, pergaulan bahkan masalah ketika sedang belajar dan masalah-masalah lainnya yang terkadang menyebabkan kegagalan bagi sebagian pencari ilmu .

Menuntut ilmu dengan sungguh-sungguh dan dengan metode yang benar serta terarah akan membuat seorang thalib ilmu lebih mudah mendapatkan ilmu, mudah dalam memahami, mudah dalam menghafal serta akan mendapatkan kemudahan-kemudahan yang lainnya. Agar proses belajar lebih terarah dan membuahkan hasil yang maksimal, maka berikut ini kami sampaikan beberapa kiat di dalam belajar, semoga bermanfaat untuk kita semua.

Kiat Pertama;

Selalu ingat bahwa ilmu memiliki keutamaan yang sangat besar, sebagaimana disebutkan di dalam firman Allah subhanahu wata’ala
“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. 58:11)

Menuntut ilmu dengan niat dan tujuan yang benar merupakan jalan menuju surga yang luasnya seluas langit dan bumi, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,
“Barang siapa yang menempuh suatu jalan karena bertujuan untuk mencari ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR at-Tirmidzi, periksa shahih al jami’ ash-shaghir 6174)

Kiat Ke dua;

Selalu menyadari betapa besarnya celaan yang ditujukan terhadap orang-orang yang berkata tanpa ilmu, seperti di dalam firman Allah subhanahu wata’ala,
“Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta, “Ini halal dan ini haram”, untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung. (Itu adalah) kesenangan yang sedikit; dan bagi mereka azab yang pedih.” (QS. 16:116-117)

Oleh karena itu kita dapati salafus shalih sangat hati-hati dan takut di dalam memberikan fatwa. Di antara contohnya adalah apa yang disampaikan oleh Imam Malik rahimahullah, beliau mengatakan, “Saya tidaklah berfatwa sehingga telah bersaksi tujuh puluh orang… bahwa saya berhak untuk itu (menyampaikan fatwa).” Beliau juga mengatakan, “Aku tidak menyampaikan fatwa sehingga aku bertanya kepada Rabi’ah dan Yahya bin Sa’id lalu keduanya menyuruhku untuk menyampaikan itu, andaikan keduanya melarangku, maka aku tidak menyampaikan.” (I’lamul Muwaqqi’in, Ibnul Qayyim)

Sementara al-Qasim rahimahullah juga berkata, “Demi Allah, andaikan lidahku putus, maka itu lebih aku sukai daripada aku berbicara dengan sesuatu yang aku tidak mengetahui ilmunya.”

Kiat Ke tiga;

Jangan terburu-buru, karena syetan merasuk ke dalam jiwa manusia bersama dengan sifat terburu-buru. Hendaknya kita cermat dan telaten di dalam segenap urusan. Terutama ketika menghukumi suatu perkara, jangan menghukumi sebelum benar-benar kita ketahui hakikat atau duduk persoalannya, sebelum kita ketahui bagaimana hukum Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam, karena ukuran kebenaran dan kesalahan adalah Kitabullah dan Sunnah Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam.

Kiat ke empat;

Jangan sampai ada rasa sombong dalam hati, sehingga menghalangi kita untuk bertanya kepada orang lain tentang sesuatu yang tidak kita ketahui. Berhati-hatilah dari bisikan setan yang mengatakan misalnya, “Kamu adalah seorang thalib ilmu atau ustadz yang mampu ini dan itu, di sisimu ada banyak kitab, karya-karya ulama, dan tulisan yang begitu banyak, maka tidak perlu kamu bertanya kepada orang lain lagi.” Jika ada bisikan seperti ini, maka bacalah ta’awudz dan selalu ingat firman Allah subhanahu wata’ala,
“Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan, jika kamu tidak mengetahui.” (QS. 16:43)

Kiat ke lima;

Berusaha semaksimal mungkin mencari ilmu kepada ahlinya, belajarlah al-Qur’an kepada qurra’ (ahli baca al-Qur’an), belajar tafsir kepada mufassir (ahli tafsir), belajar hadits kepada ahli hadits, belajar fiqih kepada para fuqaha’ dan seterusnya. Jika tidak ditemukan pakar yang ahli dalam masing-masing bidang, maka carilah seorang yang benar-benar kibar (senior) dalam ilmu agama secara umum, sebagai bekal dasar. Adapun jika ingin mempelajari ilmu secara lebih luas dan mendalam, maka harus kepada orang yang ahli di bidangnya.

Imam Malik rahimahullah berkata, “Setiap ilmu harus ditanyakan kepada ahlinya.” (Barnamij ‘amali lilmutafaqqihin, Dr. Abdul Aziz al-Qari’ hal 46, 48). Di dalam kitab “Hilyah Thalib al-‘Ilm,” karangan Dr. Syaikh Bakar Abu Zaid disebutkan, “Barang siapa yang memasuki (mempelajari) ilmu tanpa syaikh (guru), maka dia akan keluar dengan tanpa membawa ilmu.” Dikatakan pula, “Barang siapa memasuki suatu ilmu sendirian, maka akan keluar sendirian pula.”

Kiat ke enam;

Siapa yang tidak menguasai Ushul (pokok dan kaidah ilmu), maka tidak akan sampai pada tujuan. Oleh karena itu, merupakan suatu keharusan bagi seorang penuntut ilmu mengetahui masalah pokok (ushul) dalam setiap bidang ilmu. Yaitu dengan memahami dan menghafalkan kaidah-kaidah pokok tersebut melalui seorang syaikh atau guru yang berkompeten di bidangnya, jangan memahaminya secara otodidak (sendirian). Selayaknya jangan menyibukkan diri dengan masalah yang lebih luas dan panjang serta beraneka ragam sebelum benar-benar menguasai kaidah-kaidah atau masalah yang pokok ini.

Kiat ke tujuh;

Jangan berpindah dari pembahasan yang lebih ringkas ke yang lainnya tanpa ada hal yang mengharuskan untuk itu.

Kiat ke delapan;

Berusaha membuat ringkasan materi atau pelajaran yang dapat diambil dari sebuah pembahasan, baik yang disampaikan para masyayikh (guru) atau ketika ada masalah penting yang terlintas pada saat kita membaca buku. Di antara caranya adalah dengan membuat catatan kaki (footnote) atau catatan akhir (endnote), atau menulisnya di dalam buku tersendiri agar lebih lengkap dan dapat juga dengan sistim kartu, dengan menuliskan judul pembahasan pada bagian atasnya.

Kiat ke sembilan;

Terus berusaha menjaga ilmu tersebut dari waktu ke waktu, karena tanpa adanya penjagaan terhadapnya, maka ilmu tersebut akan hilang atau terlupakan. Diriwayatkan dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Sesungguhnya perumpamaan penghafal al-Qur’an adalah seperti pemilik unta yang terikat. Jika dia terus menjaganya, maka unta tersebut akan tetap dia miliki, namun jika dia melepaskannya, maka unta itu akan pergi.”

Al Imam Ibnu Abdil Barr tatkala mengomentari hadits ini beliau mengatakan, “Apabila al-Qur’an yang dimudahkan untuk diingat akan hilang jika tidak dijaga, maka bagaimana pendapatmu tentang ilmu-ilmu lainnya yang harus dijaga?”

Kiat ke sepuluh;

Jangan ketinggalan mempelajari kitab-kitab yang berisikan tentang metode pangambilan dalil (istidlal), cara pemahaman yang mendalam tentang alasan atau sebab dari suatu kesimpulan hukum serta menyentuh pada pokok dan rahasia permasalahan. Di antara ulama yang menempuh metode ini dalam tulisannya adalah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Ibnu Qayyim al-Jauziyah, al-Hafidz Ibnu Abdil Barr, al-Hafidz Ibnu Qudamah, juga Imam adz-Dzahabi, Imam Ibnu Katsir, Imam Ibnu Rajab, Imam Ibnu Hajar, Imam asy-Syaukani dan selain mereka.

Kiat ke sebelas;

Jangan sampai mengambil pelajaran dari suatu kitab sebelum kita mengetahui makna istilah dan kalimat yang digunakan oleh penulisnya. Biasanya istilah tersebut disinggung terlebih dahulu di dalam mukaddimah atau pengantar, maka hendaklah memulai membaca kitab dari mukaddimah lebih dahulu.

Kiat ke dua belas;

Jagalah hati agar jangan sampai seperti spon (busa) atau bunga karang, yang menyerap cairan apa saja yang ada, tanpa memilih dan memilah antara yang satu dengan yang lain. Hendaknya anda jauhi segala macam syubhat yang berasal dari diri sendiri atau dari orang lain, karena syubhat adalah kekacauan sedangkan hati manusia sangatlah lemah dan mudah berubah. Dan kebanyakan orang yang melemparkan syubhat adalah para mubtadi’ah (ahli bid’ah), maka hendaklah kita semua berhati-hati terhadap mereka.

Kiat ke tiga belas;

Bersungguh-sungguh di dalam memilih buku, jangan sembarangan membeli buku sebelum kita yakin penulisnya lurus dan terpercaya dalam ilmunya.

Kiat ke empat belas;

Hendaklah pandai-pandai membagi waktu dalam belajar, yaitu dengan menyediakan porsi waktu tersendiri untuk masing-masing kegiatan belajar seperti kapan sebaiknya menghafal, kapan waktu membaca, menghadiri durus (ta’lim) dan lain-lain. Mengenai pembagian waktu belajar ini, al-Imam Ibnul Jama’ah al-Kinani berkata, “Waktu paling baik untuk menghafal adalah waktu sahur (menjelang Subuh-red), waktu terbaik untuk membahas sebuah masalah adalah pagi, waktu terbaik untuk menulis adalah siang dan waktu terbaik untuk muthala’ah dan mengulang pelajaran adalah malam hari.” Kemudian beliau juga menukil ucapan al-Khathib al-Baghdadi yang mengatakan, “Sebaik-baik tempat untuk menghafal adalah di dalam kamar dan tempat-tempat yang jauh dari keramaian.”

Kiat ke lima belas;

Jika ada masalah atau kesulitan ketika membaca sebuah buku, maka hendaknya bertanya kepada siapa saja yang dipandang tsiqah (terpercaya) ilmu dan sikap wara’nya.

Kiat ke enam belas;

Mengenai urutan kitab apa yang harus dibaca dalam masing masing disiplin ilmu, maka ini merupakan salah satu hal yang banyak diperbincangkan para ahli ilmu, mereka biasanya membedakan antara yang bersifat fardhu ‘ain dan fardhu kifayah. Mereka juga mengklasifikasikan ilmu menjadi ushul (pokok) dan furu’ (cabang) dan masing masing ada alatnya tersendiri.

Untuk lebih jelasnya, bagi kaum muslimin yang mampu membaca kitab berbahasa Arab maka penulis menganjurkan untuk merujuk ke kitab “Hilyah Thalib al-Ilm,” oleh Dr. Syaikh Bakar Abu Zaid, “Barnamij Ilmi Lilmutafaqqihin,” oleh Dr. Abdul Aziz al-Qari’ dan risalah “Rabbaniyyah at-Ta’lim,” oleh Dr. Abdullah Yusuf al-Hasan.

Dialihbahasakan oleh Khalif Muttaqin dari kitab “al-faudlawiyah fi hayatina,” sub bab Hatta la nakuna faudlawiyan fi thalab al ilmi Adil bin Muhammad al -Abdil ‘Ali hal 31-36, dengan beberapa ringkasan.