Ada beberapa kelompok dari kalangan ahli ta’thil yang terdiri dari Jahmiyah Mu’tazilah, Asy’ariyah dan lain-lain yang menyelisihi Ahlus Sunnah wal Jamaah dalam hal ini, mereka berdalil kepada dalil naqli yang mutasyabihat dan dalil-dalil aqli yang dipaksakan.

Dalil naqli mereka:

Pertama, firman Allah, “Dan tatkala Musa datang untuk (munajat dengan Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan dan Tuhan telah berfirman (langsung) kepadanya, berkatalah Musa: ‘Ya Tuhanku, nampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar aku dapat melihat kepada Engkau’. Tuhan berfirman: ‘Kamu sekali-kali tidak sanggup melihatKu, tapi lihatlah ke bukit itu, maka jika ia tetap di tempatnya (sebagai sediakala) niscaya kamu dapat melihatKu’. Tatkala Tuhannya menampakkan diri kepada gunung itu, dijadikannya gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan.” (Al-A’raf: 143).

Yang berkait dengan masalah ini adalah أ،أ¤ أٹأ‘أ‡أ¤أ­ kata أ،أ¤ menunjukkan penafian abadi, penafian adalah berita, berita Allah adalah benar tidak mungkin dinasakh.

Bantahan terhadap mereka dari beberapa segi:

Pertama: Menolak أ،أ¤ menunjukkan penafian abadi karena ia sekedar klaim kosong.

Ibnu Malik dalam al-Alfiyah berkata :
Barangsiapa berpendapat penafian dengan أ،أ¤ berlaku abadi
Maka tolaklah pendapatnya dan dukunglah pendapat selainnya.

Kedua: Musa tidak meminta melihat Allah di Akhirat akan tetapi dia meminta saat itu juga berdasarkan firmanNya, “Tampakkanlah diriMu agar aku dapat melihat kepadaMu.” Sekarang saja. Lalu Allah menjawab, “Kamu sekali-kali tidak akan sanggup melihatKu.” Sekarang. Kemudian Allah membuat perumpamaan dengan gunung di mana Allah menampakkan diriNya kepadanya. Gunung itupun hancur luluh, firman Allah, “Tapi lihatlah ke bukit itu, maka jika ia tetap di tempatnya (sebagai sediakala) niscaya kamu dapat melihatKu.

Manakala Musa melihat apa yang terjadi pada bukit tersebut, dia mengetahui bahwa tiada daya baginya untuk melihat kepada Allah maka Musa pingsan karena apa yang dilihatnya.

Kami katakan: Melihat Allah di dunia adalah mustahil karena keadaan manusia tidak mungkin kuat melihat kepada Allah, Nabi bersabda tentang Allah, “Hijabnya adalah cahaya, seandainya Dia mengangkatnya niscaya pancaran wajahnya akan membakar makhluk yang dalam jangkaun pandanganNya.

Adapun melihat Allah di Akhirat maka ia mungkin karena pada hari itu orang-orang berada di alam lain di mana keadaan mereka berbeda dengan keadaan di dunia sebagaimana hal itu diketahui dari dalil-dalil al-Qur’an dan Sunnah tentang apa yang terjadi pada mereka di padang hari Kiamat dan di tempat akhir mereka Surga atau Neraka.

Ketiga: Tidak mungkinnya melihat Allah di Akhirat menurut orang-orang yang mengingkarinya didasarkan kepada alasan bahwa menetapkannya berarti menetapkan kekurangan kepada Allah, begitulah alasan pengingkaran mereka, jadi permintaan Musa kepada Allah untuk melihatNya berkisar antara kebodohan terhadap apa yang wajib dan apa yang mustahil bagi Allah atau permintaannya termasuk permintaan yang berlebih-lebihan ketika dia meminta sesuatu yang tidak layak bagi Allah, itu jika Musa mengetahui bahwa hal itu mustahil. Jadi orang-orang yang mengingkari rukyat Allah di Akhirat lebih mengetahui tentang apa yang wajib dan mustahil bagi Allah daripada Musa. Dan ini adalah puncak kesesatan.

Dengan ini diketahui bahwa ayat ini adalah dalil atas mereka bukan dalil untuk mereka. Begitulah semua dalil dari al-Qur’an dan Sunnah yang shahih digunakan sebagai dalil untuk kebatilan atau untuk menafikan kebenaran akan menjadi dalil atas orang yang memakainya bukan dalil untuknya.

Dalil kedua dari orang-orang yang mengingkari rukyat adalah firman Allah, “Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala yang kelihatan; dan Dialah yang Maha Halus lagi Maha Mengetahui.” (Al-An’am: 103).

Bantahan terhadapnya adalah bahwa ayat ini menafikan idrak (mencapai atau mengetahui dari seluruh sisinya) dan rukyat tidak mengharuskan idrak. Apakah kamu tidak melihat seorang laki-laki dia melihat matahari namun dia tidak mengetahuinya dari berbagai sisinya.

Apabila kita menetapkan bahwa Allah dilihat maka ia tidak mengharuskan Dia diketahui dari seluruh segiNya dengan penglihatan tersebut karena idrak lebih khusus dari sekedar rukyat.

Oleh karena itu kami katakan: dinafikannya idrak menunjukkan wujud dasar rukyat karena penafian terhadap yang lebih khusus menunjukkan adanya yang lebih umum. Seandainya yang lebih umum itu dinafikan niscaya ia wajib dinafikan. Ada yang berkata: Dia tidak dilihat oleh pandangan karena penafiannya berkonsekuensi kepada penafian terhadap yang lebih khusus dan bukan sebaliknya, di samping itu seandainya yang lebih umum tidak ada niscaya penafian terhadap yang lebih khusus merupakan kerancuan yang memicu kesalahpahaman. Hal ini harus dihindarkan dari kalam Allah. Jadi ayat ini adalah dalil atas mereka bukan untuk mereka.

Dalil aqli para pengingkar rukyat, mereka berkata: Kalau Allah dilihat berarti Allah berwujud jasad dan itu mustahil bagi Allah karena ia menyeret kepada penyamaan dan penyetaraan.

Bantahan terhadap dalil ini adalah kalau memang menetapkan rukyat berarti Allah adalah jasad maka ia tidak perlu diingkari akan tetapi kita mengetahui dengan yakin bahwa Dia tidak menyerupai jasad makhluk karena Allah berfirman, “Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dialah yang Maha Mendengar dan Melihat.” (Asy-Syura: 11).

Perlu diketahui bahwa pembicaraan tentang jasad (bagi Allah) baik dari segi penafian dan penetapan termasuk perkara yang diada-adakan oleh ahli kalam, dalam al-Qur’an dan Sunnah tidak terdapat penafian dan penetapannya.

Para pengingkar rukyat membantah dalil-dalil Ahlus Sunnah wal Jamaah yang menetapkan rukyat dengan bantahan-bantahan yang garing, mereka memakai metode tahrif dengan sangat kentara.

Faedah yang kita petik dari segi perilaku:

Rukyat Allah, pengaruhnya terhadap perilaku sangatlah besar karena apabila seseorang mengetahui bahwa puncak pahala yang diraihnya adalah melihat kepada wajah Allah maka dunia di matanya menjadi tidak berarti, semuanya baginya adalah murah demi mencapai rukyat Allah karena ia adalah puncak pencarian dan akhir tujuan.

Jika kamu mengetahui bahwa kamu akan melihat Tuhanmu dengan mata kepala niscaya dunia tidak menyamai apapun. Seluruh dunia bukan apa-apa karena melihat kepada wajah Allah adalah buah di mana orang-orang berlomba–lomba merebutnya dan berusaha kepadanya, ia adalah akhir tujuan dari segala perkara.

Pengingkaran terhadap rukyat pada hakikatnya merupakan penolakan besar terhadap kenikmatan termulia. Sebaliknya mengimaninya mendorong seseorang dengan kuat untuk mendapatkannya. Ia – alhamdulillah – mudah, karena agama secara keseluruhan adalah mudah bahkan jika muncul kesulitan maka akan muncul kemudahan dalam agama, dasarnya mudah, jika tidak mungkin untuk dilaksanakan maka ia gugur, tidak ada kewajiban dalam kondisi tidak mampu dan tidak ada haram dalam kondisi dharurat.

Dari Syarh al-Aqidah al-Wasithiyah, Syaikh Ibnu Utsaimin.