Ketika kita mengamati judul di atas, maka sepintas dua hal tersebut tidak ada kaitan dan hubungan sama sekali. Yang pertama yaitu shalat Jum’at, merupakan sebuah amalan yang utama di dalam Islam dan masuk dalam lingkup syari’at dan ibadah, sedangkan satunya lagi adalah sebuah bentuk permainan atau cabang olah raga yang bersifat keduniaan dan tidak ada sama sekali kaitannya dengan syari’at. Namun, sungguh untuk saat ini dua-duanya mempunyai kaitan, jika sepak bola itu dilakukan atau ditayangkan siarannya bertepatan dengan pelaksanaan shalat Jum’at.

Tentang perintah untuk menegak kan shalat Jum’at, maka al-Qur’an telah menjelaskan dengan surat yang senama dengan hari itu, “al-Jumu’ah.” Di antara ayatnya yaitu,
“Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat pada hari Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (QS. 62:9)

Berjual beli adalah salah satu bentuk mata pencaharian seseorang untuk menafkahi keluarganya dan memenuhi kebutuhannya, dan hal itu merupakan kewajiban. Namun walau demikian, dia diperintahkan oleh Allah subhanahu wata’ala untuk ditinggalkan, manakala adzan Jum’at telah dikumandangkan. Sehingga berdasarkan ini para ulama menyatakan haram berjual beli setelah dikumandangkan adzan Jum’at. Dan penyebutan jual beli di sini bukan sebagai pembatasan, namun sekedar contoh karena pada umumnya pekerjaan masyarakat Arab ketika itu adalah berdagang. Maka dengan demikian segala bentuk pekerjaan, tugas dan aktivitas apa saja wajib untuk ditinggalkan jika telah ada panggilan shalat Jum’at. Karena tidak ada keuntungan dengan cara meninggalkan dzikrullah, dan shalat Jum’at adalah salah satu bentuk dzikrullah.
“Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.” (Qs 62:10).

Jual beli dan pekerjaan lainnya yang halal dalam rangka mencari nafkah adalah hal yang baik, namun kata Allah meninggalkan itu semua demi mendatangi Jum’at adalah lebih baik lagi. Dan di dalam ayat itu, Allah subhanahu wata’ala telah mengaitkan antara dzikrullah dengan keberuntungan. Inilah penjelasan dari Rabb yang Maha Pengasih dan Penyayang, yang Maha Tahu seluk beluk kebaikan dan kemaslahatan manusia. Maka seorang Muslim wajib untuk taat dan patuh kepada seruan Allah. Karena seorang mukmin selalu ingat jaminan Allah berupa,
“Katakanlah, “Apa yang di sisi Allah adalah lebih baik daripada permainan dan perniagaan”, dan Allah sebaik-baik Pemberi rezki.” (QS. 62:11)

Allah subhanahu wata’ala-lah sebaik-baik pemberi rizki! Tidak ada makhluk yang melata di muka bumi ini, kecuali menjadi tanggungan Allah rizkinya. Bagaimana tidak, sedangkan seluruh yang ada di langit dan bumi adalah ciptaan dan milik Allah. Kalau ada orang memperoleh makanan maka makanan tersebut didapat dari bumi ciptaan Allah. Kalau ada orang mendapatkan emas dan perak, maka emas dan perak itu dari perut bumi, belum lagi oksigen, air, panas matahari dan seabrek kenikmatan yang tidak mungkin kita menghitungnya. Intinya bahwa seluruh kenikmatan dan sarana yang ada di dunia ini adalah kenikmatan dan rizki dari Allah subhanahu wata’ala meskipun sebagiannya diolah dan dibikin oleh tangan manusia.

Memang ada sebagian orang yang mengatakan, bahwa dia justru mendapatkan untung lebih dengan meninggalkan Jum’at, karena dari hitungan matematis sudah jelas, dan dia tidak kehilangan waktu produktif. Bagi yang berpikir picik mungkin akan membenarkan pendapat ini, namun seorang mukmin pikirannya jauh dan luas. Dia tidak memandang sekedar yang ada di depan mata, yang tampak secara materi (faham materialis). Dia punya prinsip iman bilghaib, percaya terhadap yang ghaib, yakni segala apa yang ada di sisi Allah yang disebut oleh Allah lebih baik daripada sekedar permainan dan perniagaan.

Sepak Bola dan Shalat Jum’at

Yang akan kita bicarakan di sini adalah sebuah fenomena yang terjadi di tengah ummat Islam, manakala sedang ada pertandingan sepak bola atau siaran langsung sepak bola di dalam televisi bertepatan dengan waktu shalat Jum’at.

Sebagaimana dimaklumi bahwa masyarakat penggemar bola di dunia ini jumlahnya mencapai berjuta-juta orang. Demikian pula penggemar sepak bola dari kalangan kaum muslimin juga amat banyak, tidak sebanding dengan jumlah jama’ah shalat Subuh di kebanyakan masjid kaum muslimin.

Berkenaan dengan kaum muslimin yang memadati tribun-tribun stadion atau asyik di depan televisi untuk menyaksikan pertandingan sepak bola, yang bertepatan dengan pelaksanaan shalat Jum’at, maka Syaikh Masyhur Salman menyebut mereka sebagai orang yang lemah akalnya dan mati nalurinya. Hanya untuk fanatik sebuah klub dan cabang olah raga dia rela meninggalkan shalat Jum’at. (al-Muhkam al- Matin, hal 137)

Selanjutnya di dalam buku yang sama beliau mengatakan, “Yang ini membela salah satu klub dan lainnnya membela klub yang yang lain, bahkan mereka yang tinggal satu rumah atau sekeluarga masing-masing punya klub andalan sendiri-sendiri. Terkadang urusannya bukan sekedar menjagokan dan meberi support saja, namun hingga pada tingkat saling mengejek dan merendahkan klub lawannya. Maka sebagaimana yang kita saksikan, bahwa terkadang pertandingan itu diakhiri dengan aksi perkelahian dan bentrokan fisik antar supporter sehingga jatuh korban luka dan tewas dari kedua belah pihak.

Itulah harga yang harus dibayar oleh ummat Islam demi sepak bola. Mereka telah meninggalkan shalat Jum’at, di samping juga kehilangan kesempatan untuk memikirkan bagaimana cara menghadapi musuh-musuh Islam dan membicarakan masalah-masalah lain yang lebih penting dan lebih besar. Ummat Islam juga harus membayar dengan hilangnya makna Izzah dan kemuliaan ummat. Mereka telah bersusah payah mengeluarkan harta yang banyak, dan membuang-buang waktu yang tidak sedikit, demi sebuah kefanatikan terhadap satu cabang olah raga.

Jika ummat Islam menggunakan waktu dan biaya yang besar itu untuk hal-hal yang membawa manfaat bagi ummat, atau untuk karya-karya yang memberikan faidah, maka ummat ini akan menjadi lebih maju di dalam segala bidang kehidupan.

Yang lebih menyedihkan lagi adalah berubahnya sudut pandang kaum muslimin, yakni menurut mereka yang namanya pahlawan di masa ini adalah para pemain sepak bola, bukan orang yang berjuang dan berusaha menjunjung tinggi kemuliaan dan kebesaran ummat. Sebagai konsekuensinya, maka ummat tak segan-segan mengeluarkan biaya besar untuk para pemain sepak bola. Sedangkan Islam tidak membolehkan bersikap terbalik dalam memandang suatu masalah, namun menjelaskan bahwa setiap manusia harus disikapi secara proporsional tidak berlebihan (ifrath) dan tidak menyepelekan (tafrith).

Intinya adalah bahwa sepak bola pada masa ini telah digunakan oleh musuh-musuh Islam sebagai salah satu sarana untuk menghancurkan ummat, dan mereka terus mempropagandakan serta mebesar-besarkan hal tersebut dengan sangat bombastis. (al-Muhkam al-Matin, hal 138)

Saatnya Harus Bersikap

Seorang muslim dituntut bersikap adil dan proporsional, menempatkan sesuatu pada tempatnya, menganggap penting masalah yang penting dan menganggap besar sesuatu yang besar. Dan terkait dengan sepak bola, maka hal tersebut pada dasarnya adalah mubah(boleh) jika dilakukan dalam batasan yang wajar dan tidak ada sisi negatif serta kerusakan yang ditimbulkan olehnya. Akan tetapi persoalannya berbeda jika telah menyebabkan seseorang meninggalkan Jum’at dan shalat berjama’ah, meninggalkan urusan-urusan yang hukumnya wajib dan urusan penting lainnya.

Jika jual beli, berdagang, bekerja dan mencari nafkah harus ditinggalkan, apabila telah dikumandangakan adzan Jum’at, padahal mencari nafkah dan bekerja untuk memenuhi kebutuhan adalah kewajiban, maka bagaimana dengan sepak bola yang bukan apa-apa, bukan kewajiban dan bukan pula anjuran dalam agama? Coba marilah kita sedikit merenung tentang sepak bola; Apakan masyarakat menjadi cerdas dengan sepak bola? Apakah sepak bola mendatangkan rahmat dan ampunan Allah? Apakah sepak bola dapat mengangkat akhlak dan budi pekerti manusia? Apakah dengan sepak bola Islam menjadi mulia dan ilmu tersebar? Kita semua tentu sepakat menjawab tidak. Jika demikian apakah layak seorang muslim membela mati-matian sepak bola dengan meninggalkan shalat Jum’at dan berjama’ah di masjid?

Syaikh Masyhur Salman juga menyebutkan sebuah dokumen panduan rahasia zionis ke tiga belas yang isinya,
“Agar masyarakat terus dalam kesesatan serta tidak tahu apa yang ada di depannya dan apa yang di belakangnya, tidak tahu apa yang diinginkan, maka kita akan melakukan peningkatan untuk memalingkan pikiran mereka, dengan cara membuat berbagai media yang hebat dan bersifat menghibur, serta permainan-permainan yang menggembirakan lagi menakjubkan. Juga dengan berbagai bentuk olah raga, permainan dan apa saja yang menjadi santapan bagi kesenangan dan syahwat hawa nafsu. Juga memperbanyak gedung dan istana yang megah serta rumah-rumah yang dihiasi dengan sangat mewah. Lalu kita jadikan pers dan media masa saling mengajak untuk berlomba-lomba dalam seni dan olah raga.” (al-Muhkam al-Matin, hal 138)

Kini kita tahu apa yang diinginkan oleh musuh-musuh kita di balik pagelaran dan ajang seni, hiburan dan olah raga yang cenderung dibesar-besarkan dan melampaui batas. Tujuannya tidak lain yaitu agar ummat manusia terus berada di dalam kesesatan, dan tidak mampu melihat cahaya kebenaran selama-lamanya.

Maka jika kebenaran dan akal sehat telah dikalahkan oleh syahwat serta kecintaan terhadap selain Allah, janganlah anda heran jika ada orang yang mengaku muslim, namun masih asyik di depan televisi untuk melihat sebuah acara atau pertandingan olah raga, padahal sudah masuk waktu Jum’at dan shalat jama’ah. Dan jangan heran pula, jika ada orang yang rela mati hanya untuk membela sebuah acara televisi, seorang artis, olahragawan atau klub olah raga tertentu sebagaimana yang terjadi pada Mevi seorang gadis penggemar acara televisi, AFI. Andai saja pengorbanan ummat Islam untuk agamanya sebesar pengorbanan Mevi terhadap acara batil itu, tentu ummat ini akan mencapai Izzah dan kemuliaan.

Semoga Allah subhanahu wata’ala membuka mata hati ummat Islam, para orang tua, pemuda dan remaja muslim untuk dapat melihat kebenaran sebagai kebenaran lalu memberi kekuatan untuk mengikutinya, dan melihat kebatilan sebagai kebatilan lalu memberi kemampuan untuk menjauhinya. Amin ya Rabbal ‘alamin. (Abu Ahmad)