Sejenak tentang Harta dan Dunia

Amat banyak ayat dan hadits yang membicarakan tentang sikap seorang mukmin terhadap harta dan dunia, namun yang penting adalah tujuan dari ayat dan hadits itu, yakni agar menjadi pengingat bagi mereka yang berpikir dan membangunkan mereka yang tertidur. Maka kini saatnya bagi kita semua untuk bangun dari keterlenaan, membuka hati dari tutup yang menyelimutinya karena terbuai oleh gemerlap dunia yang menipu, dan terus asyik terlena dengan segala kenikmatannya, yang kini terkadang menjadi tujuan terpenting dan puncak segala hal bagi sebagian kaum muslimin.

Kita tak perlu heran dengan pola kehidupan orang kafir yang mengumbar segala kesenangan dan kenikmatan dunia, yang seakan bagi mereka tidak ada lagi kenikmatan yang lain, selain apa yang mereka nikmati di dunia ini. Mereka, kata Allah subhanahu wata’ala tidak mendapatkan bagian sama sekali di akhirat, sebagaimana firman-Nya,
“Dan orang-orang yang kafir itu bersenang-senang (di dunia) dan mereka makan seperti makannya binatang-binatang.Dan neraka adalah tempat tinggal mereka.” (QS. 47:12)

Orang-orang kafir di akhirat tidak mendapatkan bagian sedikit pun, sedangkan orang-orang mukmin mereka hidup di dunia ini seperti layaknya seorang musafir yang melakukan perjalanan menuju akhirat, karena manusia tidak ada yang tahu kapan dia meninggalkan dunia ini menuju alam Barzakh, lalu ke kampung akhirat yang menjadi tujuan dan akhir dari perjalanannya.

Seorang mukmin sadar betul akan hal ini, bahkan akhirat merupakan prinsip dasar dalam keimanan. Namun dalam realita, hal itu terkadang hilang dari ingatan seorang muslim, hatinya dipenuhi dengan noda sehingga banyak orang yang melampaui batas dalam masalah keduniaan sampai-sampai mengalahkan urusan akhirat. Mereka melupakan hak-hak Allah subhanahu wata’ala, melupakan hak hamba-hamba Allah yang lain, dan seakan-akan salah seorang dari mereka beranggapan bahwa dirinya diciptakan hanyalah untuk makan dan memuaskan diri sendiri.

Mana Harta Kita?

Seorang mukmin yang cerdik akan menyadari pendeknya kehidupan dunia dan yakin akan kematian, sehingga mendorong dirinya untuk menginfak kan harta kepada hal-hal yang memberikan manfaat untuk akhirat. Yakni dengan membelanjakannya dengan cara yang baik untuk keperluan diri dan keluarganya serta masyarakat dan kaum muslimin . Disebutkan di dalam sebuah hadits yang shahih, Nabi shallalahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Bermegah-megahan (dalam harta, dan perkara dunia) telah melalaikan kamu semua.” Lalu beliau bersabda, “Manusia mengatakan,”Hartaku,hartaku! Padahal kamu tidak mempunyai harta selain apa yang telah kamu sedekahkan dan telah kamu lakukan, atau apa yang kamu makan lalu lenyap, dan apa (baju) yang kamu pakai lalu telah koyak.”

Itulah bagian kita, itulah harta yang sebenarnya dimiliki oleh manusia. Adapun yang masih tersisa adalah relatif, mungkin besok kita tinggalkan, mungkin berpindah tangan, mungkin hilang, terbakar, mungkin ini dan itu. Lalu untuk apa manusia mengumpul kan harta dengan berlebihan tanpa mau membelanjakan harta itu ke jalan yang berguna. Mereka kumpulkan sekedar untuk ditumpuk, namun sayang tidak ada yang digunakan untuk cadangan nanti di akhirat. Di dalam sebuah hadits disebutkan,
“Bukanlah kaya itu dengan banyaknya harta benda, namun kekayaan adalah kaya jiwa.”

Hadits-hadits tersebut di atas menjelaskan tentang keberadaan harta benda dan segala kepemilikan di dunia, bahwa semua itu merupakan sarana untuk membekali diri dengan ketaatan, dan bahwa harta seseorang yang hakiki adalah segala yang telah dia infakkan untuk kebaikan.

Ideal dalam Belanja

Sebuah ayat al-Qur’an telah berbicara tentang sifat-sifat hamba Allah yang ideal (ibad ar-Rahman), yang salah satunya adalah seimbang di dalam membelanjakan hartanya dan menempuh jalan tengah antara dua hal yang tercela, boros dan bakhil. Ayat tersebut sebagai berikut,
“Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.” (QS. al-Furqan:67)

Berkata Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya, “Yakni mereka tidak boros (mubadzir) di dalam membelanjakan harta, sehingga menggunakannya melampaui batas kebutuhan. Dan mereka juga tidak bakhil terhadap keluarganya, sehingga mengurangi hak mereka dan tidak memberikannya. Akan tetapi menempuh jalan yang adil, dan sebaik-baik perkara adalah yang tengah-tengah, tidak ini dan tidak itu.”

Senada dengan ayat di atas Allah subhanahu wata’ala berfirman,
“Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu (kikir) dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya (boros) karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal.” (QS. 17:29)

Imam Ibnu Katsir berkata, “Yaitu janganlah kamu bakhil, tidak mau memberi orang lain sama sekali dan janganlah kamu berlebih-lebihan di dalam membelanjakan harta, dengan memberikan melebihi dari batas kemampuanmu, serta mengeluarkan harta melebihi pendapatanmu, maka engkau akan tercela lagi meyesal.

Inilah aturan Islam di dalam membelanjakan harta, yaitu tengah-tengah antara berlebihan dan kikir, tidak ini dan tidak itu. Nabi shallalahu ‘alaihi wasallam telah bersabda,
“Makanlah, minumlah, berpakaianlah dan bersedekahlah kamu dengan tanpa berlebihan dan kesombongan.” (HR. Imam Ahmad dan Abu Dawud)

Dalam hadits yang lain beliau bersabda,
“Sungguh beruntung orang yang masuk Islam, lalu diberi rizki secukupnya dan Allah menjadikan dia qana’ah (menerima) terhadap apa yang Dia berikan.” (HR. Muslim)

Allah subhanahu wata’ala juga telah berfirman,
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguh nya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” (QS. 28:77)

Allah subhanahu wata’ala menjelaskan kepada kita tentang cara membelanjakan harta, yakni tujuannya untuk mencari akhirat supaya berhasil meraih surga. Namun di sisi lain, kita tidak melupakan bagian kita di dunia dengan mengambil harta yang dibolehkan sesuai kebutuhan. Sungguh andaikan anggota badan manusia dapat berbicara pada hari ini, maka tentu akan berteriak mengingat kan kita agar tidak lupa terhadap bagian di akhirat. Maka apakah manusia tidak paham terhadap nilai harta, sehingga dengan kesadaran itu mereka mau menggunakannya sesuai fungsi dan kebutuhannya?

Sungguh sangat disayangkan, bahwa amat banyak manusia di masa ini yang berlebihan dan tenggelam dalam buaian harta, sehingga segala sesuatu harus diukur dengan harta dan materi. Bahkan tidak jarang sebagian tokoh agama, thalib ilmu dan para pemegang urusan rakyat dan kaum muslimin yang mengukur segala sesuatu dengan nilai materi.

Melihat ke Bawah, Sebuah Terapi

Ada dua hal yang mendorong orang asyik tenggelam dalam urusan dunia, dan mencari harta dengan tanpa mempedulikan halal dan haram, yaitu:

Pertama, Karena lemahnya agama seseorang, dan ini tidak diragukan lagi. Karena seorang mukmin sejati tidak akan membentangkan tangannya untuk mencari harta dengan segala cara tanpa memperhatikan syubhat dan lebih-lebih yang haram. Jiwanya tidak condong kepadanya dan tidak mengikuti apa saja yang menjadi keinginannya.

Ke dua; Berlebih-lebihan di dalam makan, minum, kendaraan dan tempat tinggal dengan tanpa ada perlunya, ditambah panjang angan-angan. Akhirnya nafsu yang ammaratun bissu’ (menyuruh keburukan) terus mendorong dirinya untuk menandingi orang lain dalam materi, sehingga jiwa menjadi lemah dan akhirnya mencari harta dengan cara-cara yang haram. Padahal di dalam hadits yang shahih Nabi shallalahu ‘alaihi wasallam telah bersabda,
“Lihatlah orang yang lebih rendah dari pada kalian dalam urusan dunia, dan lihat yang lebih tinggi dalam urusan agama. Yang demikian itu lebih layak, sehingga kamu tidak meremehkan nikmat Allah yang diberikan kepadamu.”

Berkata Aun bin Abdullah, “Dahulu aku adalah seorang yang senang berteman dengan orang-orang kaya, dan tidak ada seorang pun yang lebih banyak rasa gelisahnya dari padaku. Aku melihat tunggangan (kendaraan) yang lebih baik daripada tungganganku, melihat pakaian-pakaian yang lebih baik daripada pakaianku. Maka tatkala aku mendengar hadits ini, aku mulai bergaul dengan orang-orang fakir, maka akhirnya aku pun menjadi tenang.”

Alangkah indahnya syair yang mengatakan,
Hawa nafsu selalu ingin terus…..
jika dia dituruti
Jika engkau tuntun kepada yang sedikit…
maka dia akan menerima

Namun ini semua bukan berarti mengebiri dan tidak mau sama sekali dengan urusan dunia, bukan demikian. Karena Allah itu indah dan Dia suka keindahan dan Allah suka jika pengaruh nikmat yang diberikan-Nya ada dan tampak pada seorang hamba. Hanya, jangan salah dalam menafsiri ini, yaitu dengan berlebih-lebihan dan mubadzir serta menuruti segala kesenangan dunia dengan tidak semestinya. Sebagaimana yang sering kita saksikan di masyarakat, yakni banyak di antara mereka yang membelanjakan harta untuk membeli barang-barang mewah yang melebihi kadar kebutuhan, seperti perangkat komunikasi, alat transportasi, mobil dan kendaraan hingga alat dan perkakas rumah tangga. Atau untuk membeli berbagai barang yang menjurus pada keharaman serta pergi melancong ke negri kafir dengan mengeluarkan biaya yang tidak sedikit. Bahkan bisa jadi biaya yang dikeluarkan dalam sekali bepergian jumlahnya mencukupi untuk biaya sekolah seorang anak dari SD hingga tamat SMU, sementara di sisi lain begitu banyak anak yang putus sekolah karena orang tuanya tidak sanggup membiayai.

Khatimah

Hendaklah kita semua menyadari bahwa seluruh nikmat, harta dan kekayaan apa saja yang kita miliki adalah dari sisi Allah subhanahu wata’ala. Yang dititipkan dan dikuasakan kepada kita untuk menguji dan melihat apa yang kita lakukan terhadap titipan tersebut. Lalu akhirnya kita ditanya dari mana ia didapat dan ke mana dibelanjakan, sebagaiamana di dalam hadits,
“Tidak akan bergeser kaki seorang hamba pada hari Kiamat sehingga ditanya tentang umurnya untuk apa dia habiskan, tentang ilmunya apa yang di kerjakan dengannya, tentang hartanya dari mana diperoleh dan ke mana dibelanjakan dan tentang badannya untuk apa dia pergunakan.” (HR at-Tirmidzi)

Sumber: Tsalatsun majlisan fi irsyad al-ummah, Dr. Ahmad bin Sulaiman al- Uraini. (Ibnu Djawari)