Definisi Sahabat

Sahabat adalah orang yang bertemu Rasulullah, beriman kepadanya dan wafat di atas iman, dia dinamakan shahib karena jika dia bertemu Rasulullah dalam keadaan beriman kepadanya maka dia telah berikrar mengikutinya. Ini salah satu keistimewaan persahabatan dengan Rasulullah. Adapun selain Rasulullah maka seseorang belum dianggap sahabat sebelum dia sebelum dia bergaul dengannya dalam waktu yang panjang yang karenanya dia berhak disebut sahabat.

Akidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah Terhadap Sahabat

Di antara prinsip Ahlus Sunnah wal Jamaah adalah keselamatan hati mereka dan lidah mereka terhadap sahabat Rasulullah. Keselamatan hati dari kebencian, kemarahan dan iri hati dan keselamatan lidah mereka dari segala ucapan yang tidak layak dengan kedudukan mereka.

Hati Ahlus Sunnah wal Jamaah bersih dari semua itu, ia penuh dengan kecintaan, penghormatan, penghargaan kepada sahabat Nabi sesuai dengan kedudukan mereka. Ahlus Sunnah mencintai sahabat Nabi dan mengunggulkannya di atas seluruh manusia karena mencintai mereka termasuk mencintai Rasulullah dan mencintai Rasulullah termasuk mencintai Allah. Lidah mereka bersih dari hinaan, celaan, laknat, pemberian gelar fasik, kafir dan lain-lain yang dilontarkan oleh ahli bid’ah. Jika hati mereka bersih dari semua itu berarti ia sarat dengan pujian, doa ridha dan rahmat kepada mereka serta istighfar dan lain-lain.

Hal itu karena perkara-perkara berikut ini:
Pertama: Mereka adalah generasi terbaik di seluruh umat sebagaimana secara jelas dinyatakan oleh Rasulullah, “Sebaik-baik manusia adalah abadku kemudian orang-orang sesudah mereka kemudian orang-orang sesudah mereka.â€‌ (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Kedua: Mereka adalah perantara antara Rasulullah dengan umat, dari merekalah umat menerima syariat.

Ketiga: Jasa penaklukan yang besar lagi luas melalui tangan mereka.

Keempat: Mereka menebarkan kemuliaan di kalangan umat: Kejujuran, nasihat, akhlak dan adab yang tidak ada di selainnya. Hal ini tidak diketahui oleh orang yang membaca tentang mereka dari balik tembok, bahkan hal ini tidak diketahui kecuali oleh orang yang hidup dalam sejarah mereka dan mengenal keutamaan-keutamaan, jasa-jasa, pengorbanan-pengorbanan dan ketaatan mereka kepada Allah dan RasulNya.

Di antara Dalil-dalil yang Menetapkan Keutamaan Sahabat

Firman Allah Taala, “(Juga) bagi orang fakir yang berhijrah yang diusir dari kampung halaman dan dari harta benda mereka (karena) mencari karunia dari Allah dan keridhaanNya dan mereka menolong Allah dan RasulNya. Mereka itulah orang-orang yang benar.â€‌ (Al-Hasyr: 8). Ayat ini tentang orang-orang Muhajirin.

Firman allah Taala, “Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka (Anshar) ‘mencintai’ orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin). Dan mereka (Anshar) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu).â€‌ (Al-Hasyr: 9). Ayat ini tentang orang-orang Anshar.

Nabi saw bersabda, “Jangan mencela sahabatku, demi dzat yang jiwaku berada di tanganmNya, seandainya salah seorang dari kalian menginfakkan emas seperti gunung Uhud maka ia tetap tidak menandingi satu mud bahkan setengahnya yang diinfakkan oleh salah seorang dari mereka.â€‌ (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

Rasulullah berbicara kepada Khalid bin al-Walid ketika terjadi peselisihan antara dirinya dengan Abdur Rahman bin Auf tentang Bani Judzaimah, maka Nabi bersabda kepada Khalid, “Jangan mencela sahabatku.â€‌ Dan yang harus diperhatikan adalah keumuman lafazh.

Tanpa ragu Abdur Rahman bin Auf dan orang-orang yang seangkatan dengannya lebih afdhal daripada Khalid bin al-Walid dari segi masuk Islam yang lebih dahulu daripada dia oleh karena itu Nabi bersabda, “Jangan mencela sahabatku.â€‌ Sabdanya ini tertuju kepada Khalid dan orang-orang sepertinya.

Apabila ada seseorang berinfak emas seperti Uhud, maka nilainya tidak menandingi satu mud atau setengahnya yang diinfakkan oleh sahabat, padahal infaknya sama, pemberinya sama dan yang diberi sama, sama-sama manusia akan tetapi manusia tidaklah sama, para sahabat itu memiliki keutamaan, kelebihan, keikhlasan dan ketaatan yang tidak dimiliki oleh selain mereka, keikhlasan mereka besar, ketaatan mereka kuat, maka mereka mengungguli siapa pun dari selain mereka dalam perkara infak.

Larangan dalam hadits di atas menunjukkan pengharaman. Tidak halal bagi siapa pun mencela sahabat secara umum tidak pula mencela satu dari mereka secara khusus. Jika ada yang mencela mereka secara umum maka dia kafir bahkan tidak ada keraguan pada kekufuran orang yang meragukan kekufurannya. Jika ada yang mencela secara khusus maka pendorongnya diteliti terlebih dahulu karena bisa jadi dia mencela karena alasan bentuk tubuh atau prilaku akhlak atau agama, masing-masing memiliki hukumnya.

Dari Syarh al-Aqidah al-Wasithiyah, Syaikh Ibnu Utsaimin.