Ahlus Sunnah Mengakui dan Menerima Keutamaan dan Kedudukan Sahabat

Keutamaan adalah apa yang dengannya seseorang mengungguli orang lain dan ia dianggap sebagai kebanggaan baginya. Kedudukan adalah derajat, para sahabat memiliki derajat dan kedudukan tinggi. Keutamaan dan kedudukan yang ada bagi sahabat Nabi diterima oleh Ahlus Sunnah wal Jamaah.

Sebagai contoh Ahlus Sunnah menerima banyaknya shalat atau sedekah atau puasa atau haji atau jihad atau keutamaan-keutamaan lain dari mereka.

Ahlus Sunnah menerima – misalnya – keutamaan Abu Bakar yang hadir kepada Nabi dengan seluruh hartanya pada saat Nabi mendorong sahabat bersedekah. Ini adalah keutamaan.

Ahlus Sunnah menerima keterangan yang ada di dalam al-Qur’an dan Sunnah bahwa Abu Bakarlah seorang yang menemani Rasulullah dalam hijrah di gua.

Mereka menerima sabda Nabi tentang Abu Bakar, “Sesungguhnya orang yang paling banyak jasanya terhadapku dalam harta dan persahabatannya adalah Abu Bakar.â€‌ (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

Begitu pula keterangan-keterangan tentang keutamaan Umar, Usman dan Ali dan sahabat-sahabat yang lain. Semua itu diterima oleh Ahlus Sunnah wal Jamaah.

Begitu pula dengan derajat, Ahlus Sunnah wal Jamaah menerima keterangan tentang derajat mereka. Derajat tertinggi umat ini diraih oleh khulafa’ rasyidin, yang tertinggi dari mereka adalah Abu Bakar kemudian Umar kemudian Usman kemudian Ali.
Antara Sahabat Sebelum dan Sesudah al-Fath

Ahlus Sunnah mengunggulkan sahabat yang berinfak dan berperang sebelum Fath, yakni perjanjian damai Hudaibiyah atas sahabat yang berinfak dan berperang sesudahnya.

Dalilnya adalah firman Allah, “Dan mengapa kamu tidak menafkahkan (sebagian hartamu) pada jalan Allah, padahal Allahlah yang mempusakai (mempunyai) langit dan bumi? Tidak sama di antara kamu orang yang menafkahkan (hartanya) dan berperang sebelum penaklukan. Mereka lebih tingi derajatnya daripada orang-orang yang menafkahkan (hartanya) dan berperang sesudah itu. Allah menjanjikan kepada masing-masing mereka (balasan) yang lebih baik.â€‌ (Al-Hadid: 10).

Orang-orang yang berinfak dan berperang sebelum perdamaian Hudaibiyah lebih afdhal daripada orang-orang yang berinfak dan berperang setelahnya. Perdamaian Hudaibiyah terjadi pada bulan Dzulqa’dah tahun enam hijriyah. Orang-orang yang masuk Islam berinfak dan berperang sebelum itu adalah lebih baik daripada orang-orang yang berinfak dan berperang sesudahnya.

Antara Muhajirin dan Anshar

Ahlus Sunnah wal Jamaah mendahulukan Muhajirin di atas Anshar karena yang pertama menggabungkan antara hijrah dan nusroh (mendukung) sementara yang kedua hanya nusroh saja.

Muhajirin meninggalkan keluarga dan harta mereka serta tanah kelahiran mereka, mereka pindah ke bumi yang asing, semua itu adalah hijrah kepada Allah dan RasulNya demi menolong Allah dan RasulNya.

Anshar, Nabi saw mendatangi mereka di negeri mereka, mereka menolong Nabi saw, tanpa ragu mereka melindungi Nabi saw seperti mereka melindungi istri dan anak-anak mereka.

Dalil didahulukannya Muhajirin adalah firman Allah, “Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah.â€‌ (At-Taubah: 100). Ayat ini menyebut Muhajirin sebelum Anshar.

Firman Allah, “Sesungguhnya Allah telah menerima taubat nabi, orang-orang Muhajirin dan orang-orang Anshar.â€‌ (At-Taubah: 117). Ayat ini mendahulukan Muhajirin.

Derajat Ahli Badar

Derajat ahli Badar adalah derajat sahabat tertinggi.
Badar adalah tempat yang dikenal, terjadi padanya perang yang masyhur yang terjadi di Ramadhan tahun dua hijriyah, harinya diberi nama oleh Allah dengan Yaumul Furqan.

Penyebabnya adalah Nabi mendengar Abu Sufyan kembali dari Syam ke Makkah dengan rombongan dagangnya maka Nabi mengajak sahabat-sahabat untuk menghadang kafilah dagang tersebut. Ajakan Nabi ini disambut oleh tiga ratus ditambah belasan orang dengan tujuh puluh ekor unta dan dua ekor kida. Mereka berangkat dari Madinah dengan maksud berperang akan tetapi Allah mempertemukan mereka dengan musuh mereka dengan hikmahNya.

Ketika hal itu didengar oleh Abu Sufyan, bahwa Nabi berangkat untuk menghadang kafilah dagangnya, maka Abu Sufyan mengambil jalan menyusuri pantai dan mengirimkan utusan kepada penduduk Makkah memohon bantuan, maka penduduk Makkah bresiap-siap, tidak ketinggalan para pembesar, pemimpin dan orang-orang terhormat, mereka berangkat dalam keadaan seperti yang dijelaskan oleh Allah, “Dengan rasa angkuh dan dengan maksud riya’ kepada manusia serta menghalangi (orang) dari jalan Allah.â€‌ (Al-Anfal: 47).

Di tengah perjalanan mereka mendapatkan berita baru dari Abu Sufyan bahwa kafilah dagangnya telah selamat maka mereka pun berniat untuk kembali ke Makkah hanya saja Abu Jahal berkata, “Demi Allah kita tidak pulang sebelum tiba di Badar, di sana kita singgah, menyembelih unta, minum khamr, mendengar suara penyanyi. Lalu orang-orang Arab mendengar apa yang kita lakukan dan mereka akan selalu merasa takut kepada kita.â€‌

Ucapan yang menunjukkan keangkuhan, kesombongan dan kepercayaan diri yang tinggi, akan tetapi – alhamdulillah – perkaranya terjadi sebaliknya dari apa yang dikatakannya, orang- orang Arab mendengar kekalahan mereka yang sangat menyakitkan. Akibatnya harga mereka merosot tajam di mata orang-orang Arab.

Terjadilah perang antara dua kubu, alhamdulillah kekalahan berpihak kepada orang-orang musyrik dan kemenangan berpihak kepada orang-orang Mukmin. Mereka membunuh tujuh puluh orang musyrik dan menawan tujuh puluh dari mereka, di antara yang terbunuh tersebut ada dua puluh empat orang dari pembesar dan tokoh Makkah. Mereka diseret dan dilemparkan ke sumur busuk lagi buruk di Badar.

Sahabat-sahabat yang hadir dan ikut dalam perang ini memiliki kedudukan khusus di sisi Allah setelah kemenangan tersebut, Allah melongok mereka dan berfirman, “Lakukan apa yang kalian mau lakukan karena Aku telah mengampuni kalian.â€‌ (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

Dosa apapun yang terjadi dari mereka diampuni untuk mereka karena kebaikan besar yang Allah berikan melalui tangan mereka.
Hadits ini menunjukkan bahwa dosa apapun yang terjadi dari mereka diampuni. Ia mengandung berita gembira bahwa mereka tidak mati di atas kekufuran karena mereka diampuni, ini menuntut satu dari dua perkara: Bahwa mereka tidak mungkin kafir setelah itu atau kalaupun salah satu dari mereka ditakdirkan kafir maka dia akan diberi taufik untuk taubat dan kembali kepada Islam.

Apapun, ini adalah berita gembira besar bagi mereka dan kita tidak mengetahui seorang pun yang kafir setelah itu.

Dari Syarh al-Aqidah al-Wasithiyah, Syaikh Ibnu Utsaimin.