Tanya:

Assalaamu’alaikum, Ustadz, sekarang banyak para artis yg berhaji dan umroh, sementara mereka bekerja sebagai artis yg kita tahu mereka menampilkan aurat, mengumbar seperti yg kita lihat di TV, hingga menjadikan ia sbg figur maksiat. Bagaimana hukumnya Haji & umrah mereka2x tersebut.
Syukron ustadz.

Dari: Abdullah

Jawab:

Pada dasarnya syah tidaknya haji atau umrah seseorang tidak berkaitan langsung dengan harta (dana) yang dipakai untuk menunaikan ibadah haji, karena yang demikian tidak termasuk syarat shahnya haji melainkan salah satu dari syarat wajib. Jadi manakala seseorang ada kemampuan dari sisi (makanan dan kendaraan) maka dia telah berkewajiban menunaikan haji dan jika tidak mampu, maka pada saat itu dia tidak berkewajiban. Sebagaimana firman Allah Ta’ala:

وَللهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلاً وَمَن كَفَرَ فَإِنَّ اللهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ

Artinya, “mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah; Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam. (QS. 3:97)”

Namun demikian para Ulama’ sepakat bahwa mereka yang ingin menunaikan ibadah haji atau umrah agar menggunakan nafaqah (harta) yang halal dan baik berdasarkan sabda Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam: “Sesungguhnya Allah Subhaanahu wa Ta’ala itu baik, Dia tidak menerima kecuali yang baik (pula), dan sesungguhnya Allah memerintahkan orang-orang yang beriman dengan perintah yang sama terhadap para utusan-Nya. Dia berfirman: “Hai Rasul-Rasul makanlah dari makanan yang baik-baik dan kerjakanlah amal yang shalih. Sesungguhnya aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. Dia Ta’ala juga berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rizki yang baik-baik yang kami berikan kepadamu…Kemudian beliau Shallallaahu ‘alaihi wa sallam menyinggung tentang seorang laki-laki yang bepergian ke tempat yang jauh (untuk melakukan keta’atan), rambut tak terurus serta berdebu seraya mengangkat kedua tangannya ke langit dan berucap: “Wahai Tuhanku! Wahai Tuhanku! Padahal makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram dan dia diberi makan dengan sesuatu yang haram; maka bagaimana mungkin (orang semacam ini) akan dikabulkan do’anya??” (HR. Muslim).

Dan para Ulama’ berbeda pendapat dalam hal jika harta yang digunakan menunaikan ibadah haji adalah harta yang haram apapun bentuknya, baik harta riba atau harta yang diperoleh dengan cara-cara yang haram [tidak halal].

Sebagian dari mereka mengatakan ibadahnya tidak gugur, karena yang dimaksud dalam hadits-hadits yang tidak diterimanya suatu amal bila dibarengi dengan hal-hal yang haram adalah keridhaan-Nya terhadap perbuatan tersebut, pujian terhadap pelakunya, dan pujian terhadapnya di antara malaikat serta rasa berbangga terhadapnya. Atau yang dimaksud adalah dari sisi mendapat pahala atas perbutan tersebut. Sebagaimana hadits yang menjelaskan tidak akan diterima shalat seorang wanita sementara suaminya marah kepadanya, atau seseorang yang mendatangi seorang dukun, atau peminum khamr selama empat puluh hari, maka yang dimaksud di sini adalah tidak diterimanya amal-amal tersebut dan bukan tidak syahnya amalan orang yang bersangkutan.

Sementara sebagian Ulama’ yang lain termasuk Imam Ahmad bin Hambal mengatakan bahwa yang dimaksud hadits di atas adalah gugurnya kewajiban terhadapnya dari tanggung jawab. Sehingga dengan demikian haji yang ditunaikannya tidak syah. Berdasarkan hadits di atas dan hadis Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Hurairah dengan derajat yang lemah, beliau berkata yang maknanya: “Dan jika seorang jama’ah haji menggunakan harta haram, maka hajinya tidak diterima dan tidak berpahala” (Lihat Majma’ az-Zawa’id, 3/209)

Dari dua pendapat di atas, sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Rajab al-Hambali, bahwa yang terkuat adalah pendapat pertama yang mengatakan “tidak diterima” adalah dari sisi keridhaan, pujian dan pahala dan bukan tidak syahnya suatu amal. Sebagaimana Allah Subhaanahu wa Ta’ala berfirman, artinya: “Sesunggunya Allah hanya menerima (qurban) dari orang-orang yang bertakwa.” (QS. al-Maidah:27).

Oleh karena itulah, ayat ini membuat para Salafush Shalih amat takut dan khawatir atas diri mereka jangan-jangan mereka tidak termasuk orang-orang yang bertaqwa yang diterima amalnya.

Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullaahu: “Barangsiapa yang mencuri kendaraan atau membelinya dengan harta curian, kemudian menunaikan haji dengan harta tersebut (harta haram), maka wajib bagi dia mengganti kepada yang berhak (pemiliknya) jika memungkinkan, atau dia bersedekah sebesar harta curian, hajinya teranggap syah, namun baginya harus mengulangi haji dan umrahnya dengan harta yang halal pada saat yang lain, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Sesungguhnya Allah Maha Suci/baik, tidak akan menerima (sesuatu amalan) kecuali yang suci/baik” (HR. Muslim).

Berkata asy-Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz rahimahullaahu, dan Ulama’ yang lainnya: “Bahwa haji dengan harta yang haram tidak menghalangi syahnya haji seseorang, namun demikian yang bersangkutan berdosa karena mempeoleh harta dengan cara yang haram, dan pahalanyapun terkurangi.” (Lihat, Jami’ al-‘Ulum wal Hikam, 1-2/262; Fiqh as-Sunnah, 2/173; Fatawa Lajnah Da’imah, 11/42)

Dari jawaban di atas perlu disampaikan juga, bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Dan haji mabrur itu tida balasan baginya melainkan surga.” (HR. al-Bukhari, 2/198 dari Hadits Abu Hurairah).

Maka yang dimaksud haji mabrur adalah haji yang diterima di sisi Allah Subhaanahu wa Ta’ala, dan alamat yang menunjukkan demikian di antaranya:

1. Harta yang digunakan adalah harta yang halal,
2. Sesuai dengan tuntunan Rasulullah Shallaahu ‘alaihi wa sallam,
3. Menghindari apa-apa yang di larang oleh Allah dan Nabi-Nya,
4. Sekembalinya dari haji agamanya lebih baik dari sebelumnya, karena telah taubat dengan taubat nashuhah, istiqamah dalam ketaatan dan senantiasa berada dalam keadaan demikian sehingga hajinya dapat dijadikan permulaan dalam melakukan kebaikan. (Lihat, al-Muntaqa, asy-Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan, 5/146)

Berkata al-Imam an-Nawawiy ketika memberikan penjelasan terhadap hadits di atas, “Bahwa ibadah haji yang mabrur adalah ibadah haji yang tidak dicemari oleh perbuatan dosa dan termasuk tanda dikabulkannya adalah kondisi orang yang bersangkutan setelah kembali dari ibadah tersebut lebih baik daripada sebelumnya, serta tidak mengulangi lagi perbuatan maksyiat. (Lihat, Syarah Shahih Muslim, 9/122)

Asy-Syaikh Nashiruddin al-Albaniy rahimahullaahu berkata: “Bahwa haji mabrur adalah haji yang tidak tercemar oleh perbuatan dosa sedikitpun.”(Lihat Shahih at-Targhib, 2/7)

Dengan demikian, dalam melakukan ibadah apapun semestinya termasuk ibadah haji setiap muslim berusaha semaksimal mungkin agar ibadahnya diterima di sisi Allah Subhaanahu wa Ta’ala dan bukan hanya untuk sekedar agar dapat berlepas diri dari kewajiban (al-baraah minadz dzimmah) belaka sehingga ibadah yang kita lakukan tidaklah sia-sia. Hal ini tentunya dengan cara melihat tuntunan yang ada dan menghindari hal-hal yang dapat mengurangi bahkan menghilangkan nilai ibadah seseorang.

Demikian penjelasan yang dapat kami sampaikan, kurang lebihnya mohon ma’af. Wallahu a’lamu bish Shawab. [Husnul Yaqin]