Pertanyaan:

Assalamu’alaikum wa Rahmatullaahi wa Barakaatuh.

Ma’af Ustadz, bagaimana menyikapi terhadap sebagian kelompok yang telah menetapkan dan memutuskan bahwa hari Raya Idul Adha 1431 H jatuh pada hari Selasa, tanggal 16 Nopember 2010 berdasarkan Ilmu Hisab [Ilmu Falak], sementara pemerintah telah menetapkan bahwa hari Raya Idul Adha, jatuh pada tanggal 17 Nopember 2010 karena tidak melihat hilal [bulan sabit] awal bulan Dzulhijjah. Mohon penjelasannya. Trimakasih.

Wassalamu’alaikum wa Rahmatullaahi wa Barakaatuh.

Abdullah.
Jakarta

Jawaban:

Wa’alaikumussalaam wa Rahmatullaahi wa Barakaatuh,

Berkaitan dengan masalah ini, sebelumnya kami ingin menyampaikan bahwa pada asalnya dalam menentukan awal Dzulhijjah harus dengan cara melihat bulan [ru’yatul hilal]. Sebagaimana hal ini juga berlaku pada penentuan awal dan akhir bulan Ramadhan.

Allah Subhaanahu wa Ta’ala berfirman, artinya, “…Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah dia berpuasa…” (QS. al-Baqarah; 185)

Dalam ayat di atas mengandung pengertian bahwa menunaikan puasa Ramadhan dari sejak awal sampai akhir bulan hukumnya adalah wajib.

Adapun untuk mengetahui awal dan akhir bulan dapat ditempuh dengan cara sebagai berikut:

Pertama: Dengan Ru’yah al-Hilal, yaitu dengan cara melihat hilal bulan Ramadhan atau Syawal atau Dzulhijjah. Oleh karena itu, jika ru’yah bulan Ramadhan telah ditetapkan maka diwajibkan berpuasa. Jika ru’yah bulan Syawal telah ditetapkan, maka wajib tidak berpuasa (berbuka), baik dilihat sendiri maupun dilihat oleh orang lain dan beritanya itu memang benar. Dan ini berlaku juga dalam menetapkan awal bulan Dzulhijjah.

Yang menjadi dalil hal tersebut adalah:

1. Hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar, bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah menyebut Ramadhan, lalu beliau bersabda: ” Janganlah kalian berpuasa sehingga kalian melihat hilal (bulan Ramadhan) dan jangan pula kalian berbuka (tidak berpuasa) sehingga kalian melihatnya. Jika awan menyelimuti kalian maka perkirakanlah untuknya…” (HR. al-Bukhari dan Muslim. Shahih al-Bukhari, III/24, dan Shahih Muslim, III/122).

2. Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, ia berkata, Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ” Berpuasalah kalian karena melihatnya dan berbuka (tidak berpuasa) karena melihatnya pula. Dan jika awan (mendung) menutupi kalian, maka sempurnakanlah hitungan bulan Sya’ban menjadi tiga puluh hari.”. (HR. al-Bukhari, III/24; dan Muslim, III/24).

Dengan dalil-dalil tersebut, maka tampak jelas bahwa Allah Ta’ala telah menggantungkan hukum masuknya bulan Ramadhan pada suatu hal yang tampak kasat mata oleh manusia, yang berjalan melintasi mereka tanpa kesulitan dan beban. Bahkan mereka dapat melihat bulan dengan mata mereka secara langsung. Yang demikian itu merupakan bagian dari kesempurnaan nikmat Allah kepada hamba-hamba-Nya. Dan demikian juga hal ini diberlakukan ketika menentukan awal bulan Dzulhijjah.

Kedua: Menyempurnakan Sya’ban atau bulan Dzulqa’dah Menjadi 30 Hari
Masuknya bulan Dzulhijjah dapat pula ditetapkan melalui penyempurnaan bulan Dzulqa’dah menjadi 30 hari. Hal ini dilakukan pada saat tidak bisa dilakukan ru’yah al-Hilal. Hal tersebut telah ditunjukkan oleh hadits Abu Hurairah, yang berkaitan dengan penentuan awal Ramadhan, ia berkata, Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ” Berpuasalah kalian karena melihat (hilal bulan Ramadhan) dan berbukalah karena melihatnya pula. Dan jika awan menaungi kalian, maka sempurnakanlah bilangan bulan Sya’ban menjadi 30 hari…”

Dan penetapan tersebut, tidak dibenarkan hanya semata-mata berpedoman dengan Ilmu Hisab [Ilmu Falak].

Berikut ini kami sampaikan beberapa hal berkaitan dengan penggunaan ilmu Hisab dalam penuntuan awal dan akhir Ramadhan termasuk ketika menentukan awal bulan Dzulhijjah.

Allah Ta’ala berfirman, artinya,” …Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah dia berpuasa…(QS. al-Baqarah: 185)

Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam sebuah hadits, “Berpuasalah kalian kearena melihatnya (hilal bulan Ramadhan) dan berbukalah (tidak berpuasa) karena melihatnya pula. Dan jika awan menaungi kalian, maka sempurnakanlah hitungan bulan Sya’ban menjadi 30 hari…” (HR. al-Bukhari dan Muslim, Lihat Shahih al-Bukhari, III/24 dan Shahih Muslim, III/122).

Kedua dalil di atas dan juga yang lainnya menunjukkan secara jelas dan pasti bahwa titik fokus masuk dan keluarnya bulan Ramadhan itu ada pada ru’yah al-hilal atau penyempurnaan hitungan bulan Sya’ban atau Ramadhan menjadi tiga puluh hari.

Keduanya merupakan tanda yang jelas yang dapat dilakukan oleh setiap orang. Pada keduanya tidak terkandung kesulitan, kepayahan dan kesusahan. Demikian itulah yang berlaku pada semua taklif (beban) syari’at, dimana Allah Ta’ala menghilangkan kesulitan darinya. Maha benar Allah Yang Maha Agung.

Allah Ta’ala berfirman,” …Dan sekali-kali Dia tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (QS. al-Hajj: 78)

Orang-orang yang memfokuskan masuk dan keluarnya bulan Ramadhan dan bulan Dzulhijjah dengan hisab, pasti akan memberikan kesulitan dan keberatan kepada orang banyak. Hisab cenderung mempunyai tingkat kesalahan yang lebih besar. Yang demikian merupakan suatu hal yang tersembunyi, yang tidak diketahui oleh setiap orang. Tidaklah mungkin Allah Ta’ala memberatkan para hamba-Nya. Maha Tinggi Allah dari hal tersebut.

Para ulama telah menarik kesimpulan dari as-Sunnah, ijma’ maupun logika dalam masalah ini.

Adapun dalil dari as-Sunnah adalah sebagai berikut:

1. Hadits yang diriwayatkan Abdullah bin Umar, bahwa Rasulullah pernah menyebut Ramadhan, lalu beliau bersabda, “Janganlah kalian berpuasa sebelum melihat hilal (bulan Ramadhan) dan jangan pula kalian tidak berpuasa sehingga kalian melihatnya. Dan jika awan menyelimuti kalian, maka perkirakanlah untuknya.” (HR. al-Bukhari, III/24 dan Muslim, III/122)

2. Hadits yang diriwayatkan Ibnu Umar, dari Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, ”Sesungguhnya kami ini ummat yang buta huruf, tidak dapat menulis dan tidak pernah menghisab ( tidak mengetahui ilmu perbintangan), jumlah hari-hari dalam sebulan adalah begini dan begini (sambil memberi isyarat dengan kedua tangannya). Yakni terkadang 29 dan terkadang 30 hari.” (HR. al-Bukhari, III/25 dan Muslim, III/124)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah, mengatakan, hadits-hadits yang penuh makna ini patut diterima dan menunjukkan beberapa hal:
1. Bahwa sabda Nabi, Sesungguhnya kami ini adalah ummat yang buta huruf, tidak dapat menulis dan menghitung (tidak mengetahui ilmu perbintangan), merupakan berita yang mengandung larangan, dimana beliau memberitahukan bahwa ummat yang mengikutinya adalah ummat yang tidak dapat menulis dan tidak mengetahui ilmu perbintangan, sehingga penulisan dan ilmu perbintangan yang disebutkan itu dilarang..(Lihat, Majmu’ Fatawa, XXV/164-165)
2. Bahwa sabda beliau, Janganlah kalian berpuasa sehingga kalian melihatnya dan janganlah kalian berbuka sehingga kalian melihatnya juga, Larangan ini tidak lepas dari dua kemungkinan, bisa bersifat umum, baik puasa wajib, puasa sunnat, puasa nadzar, dan puasa qadha’ maupun yang dimaksudkan janganlah kalian berpuasa Ramadhan sehingga kalian melihatnya. Berdasrkan keduanya, maka telah dilarang berpuasa Ramadhan sebelum ru’yah al-hilal, dan ru’yah itu hanya dilakukan secara inderawi dan menggunakan kasat mata. (Lihat Majmu’ Fatawa, XXV/176-177)

Sedangkan dalil dari Ijma’ adalah sebagai berikut: Syaikul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, …Kita telah mengetahui dari ajaran Islam bahwa mengamalkan ru’yah al-Hilal puasa, haji, iddah, atau hukum-hukum lainnya yang berkaitan dengan hilal berdasarkan berita dari orang yang melakukan hisab dengan pernyataan bahwa dia telah melihat atau tidak melihat adalah tidak boleh. Cukup banyak nash dari Nabi mengenai hal tersebut. Kaum Muslimin telah sepakat mengenai hal tersebut dan tidak diketahui adanya perbedaan pendapat mengenai hal itu, dari sejak dulu kala… (Majmu’ al-Fatawa,Ibnu Taimiyah, XXV/132)

Adapun dalil logika, Ketahuilah bahwa para muhaqqiq (peneliti) dari orang-orang yang melakukan hisab secara keseluruhan telah sepakat bahwa tidak mungkin melihat hilal itu dengan hisab secara tepat, dimana di dalamnya diputuskan bahwa dia melihat dengan pasti atau tidak melihat sama sekali secara umum. Bisa saja terkadang terjadi kesepakatan mengenai hal itu atau tidak, yang terjadi secara bertepatan pada beberapa tahun. (Majmu’ al-Fatawa, Ibnu Taimiyah, XXV/183)

3. Adapun ilmu astronomi dan semisalnya seperti dengan teropong atau teleskop kita jadikan sebagai alat dan sarana untuk membantu pelaksanaan ru’yah tentu tidak mengapa, namun tidak merupakan suatu keharusan dikarenakan dalil-dalil yang ada menunjukkan kita harus perpatokan dengan ru’yah (penglihatan) kasat mata telanjang dan bukan selainnya. Akan tetapi sekiranya dengan alat tersebut seseorang yang dapat dipercaya dapat melihatnya, maka diperbolehkan yang demikian untuk menentukan awal bulan Ramadhan dan berakhirnya dan alat ini sebagai washilah (alat bantu). Dan pada zaman dahulu ada sebagian orang juga melakukan demikian dengan naik ke menara pada malam 30 Sya’ban atau malam 30 Ramadhan, dan mereka bisa melihat dengan alat ini. (Lihat. Fatawa Ulama’ Baladi al-Haram, Syaikh Sa’id bin Abdullah al-Buraik, hal. 284)

Untuk lebih jelasnya, bagi Anda atau siapa saja yang memiliki kesempatan silahkan merujuk kembali permasalahan ini dalam Fatawa ‘Ulama al-Balad al-Haram, hal.283-284 (Fatwa-Fatwa Terkini -edisi Indonesia, Pent. Darul Haq Jakarta); ash-Shiyam Ahkamun wa Adabun, Dr. Abdullah bin Muhammad bin Ahmad ath-Thayar (Meraih Puasa Sempurna –edisi Indonesia, Pustaka Ibnu Katsir), hal. 63-68; al-Mulakhash al-Fiqhi, Shalih bin Fauzan bin Abdullah Ali Fauzan, 1/261-263.

Demikian yang dapat kami sampaikan, semoga bermanfa’at

Wassalamu’alaikum wa Rahmatullaahi wa Barakaatuh.
[Husnul Yaqin]