Pertanyaan:

Assalamu’alaikum wa Rahmatullaahi wa Barakaatuh.

Untuk menyongsong tahun baru Masehi, sebagian kelompok kaum Muslimin ada yang melakukan muhasabah akhir tahun dengan cara berdoa, berdzikir dan beristigfar bersama dan sebagian yang lain saling mengirimkan SMS ucapan selamat dan anjuran agar bertaubat dan beristighfar, bahkan ada yang menyerukan untuk shalat Malam berjama’ah di tempat-tempat tertentu. Bagaimana sebenarnya pandangan syariat Islam dalam menyikapi fenomena ini..??

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullaahi wa Barakaatuh.

Jawaban:

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullaahi wa Barakaatuh.

Pada asalnya amalan-amalan tersebut tidak ada asal-usulnya dalam syari’at Islam. Tidak pernah dilakukan oleh Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabat beliau. Dengan demikian tidak boleh diamalkan, termasuk tidak boleh saling menyebarkan SMS yang berisi seruan tersebut dan semisalnya.

Dan mengkhususkan akhir tahun atau awal tahun, baik tahun Hijriyah apalagi Masehi dengan ritual-ritual ibadah tertentu adalah termasuk perkara baru dalam agama, dan para ulama’ menamakannya dengan “bid’ah idhafiyah”, karena setiap amalan yang pada awalnya disyariatkan dan bersifat muthlak(tidak terikat), seperti berdoa, berdzikir, dan beristighfar, lalu amalan-amalan tersebut dikaitkan dengan sebab tertentu, jumlah tertentu, cara tertentu, tempat tertentu dan masa tertentu pula seperti akhir tahun Hijriyah atau bahkan Masehi, maka ini termasuk sesuatu yang diada-adakan sebagai tambahan pada amalan yang asalnya disyari’atkan. Dan penyandaran sifat-sifat tersebut pada jenis ibadah yang bersifat muthlak tidaklah tepat sehingga bisa menyerupai syari’at dan hal ini membutuhkan dalil sebagai acuan pensyari’atannya.

Demikian juga dalam bentuk muhasabah serta mengadakan shalat Malam (Tahajud) dengan berjama’ah, maka harus ada dalilnya. Dan atas dasar inilah, maka amalan-amalan tersebut dikatakan bid’ah.

Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah memberikan peringatan sehubungan dengan fenomena di atas sebagaimana diriwayatkan oleh Aisyah, ia berkata, Rasulullaahi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang mengada-ngadakan dalam urusan (agama) kami ini yang bukan berasal darinya, maka amalan tersebut tertolak.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Dan dalam riwayat yang lain, beliau bersabda, “Barangsiapa yang melakukan suatu amalan yang tidak kami perintahkan, maka ia tertolak.” (HR. Muslim)

Dan lebih tegas lagi, Allah Ta’ala telah berfirman,

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا

“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Kucukupkan kepadamu ni’mat-Ku dan telah Kuridhahi Islam itu jadi agama bagimu.” (QS. a- Maidah: 3)

Ayat ini menunjukkan bahwa, Nabi shallallahu ‘alahi wasallam telah menjelaskan segala apa yang diperlukan manusia di dalam ibadah, mu’amalah dan kehidupan mereka, dan tidak ada yang tertinggal.

Dengan demikian, muhasabah akhir tahun dengan cara berdoa, berdzikir dan beristighfar bersama, tidak boleh diamalkan, karena amalan-amalan tersebut pada asalnya disyari’atkan setiap saat dan waktu selama nyawa belum berada dalam kerongkongan dan selama matahari belum terbit dari barat. Demikian juga shalat Malam (Tahajud), pada asalnya shalat malam ini disyari’atkan dengan berjama’ah ketika bulan Ramadhan dan dikerjakan sendiri-sendiri di luar Ramadhan.

Adapun ucapan selamat tahun baru Hijriyah atau bahkan Miladiyah, maka ada dua syubhat (kerancuan) di dalamnya:
1. Tasyabuh (menyerupai) dengan nashara, ketika mereka saling mengucapkan selamat tahun baru Masehi.
2. Sikap berlebih-lebihan, sehingga ucapan selamat Tahun Baru ini bisa menjadi perayaan dan hari Raya baru dalam Islam.

Oleh karena itu, barangsiapa menganggapnya sebagai bentuk ibadah, maka ucapan selamat tersebut tidak ada asal usulnya dalam syari’at. Karena jika demikian, maka termasuk tasyabuh dengan ahli Kitab, dimana mereka telah menjadikannya sebagai hari Raya. Dan sebagian Ulama’ mengatakan, jika dengan ucapan tersebut tidak dianggap sebagai ibadah kecuali hanya adat kebiasaan saja, maka tidak termasuk bid’ah. Namun demikian sebaiknya tetap tidak dilakukan.

Maka yang wajib bagi setiap muslim adalah, berpegang teguh kepada al-Qur’an dan as-Sunnah dan mengikuti manhaj (metode) as-Salafush Shalih dalam beramal serta berhati-hati terhadap hal-hal yang berbau bid’ah dan menggampang-gampangkan diri dalam melakukan setiap amalan yang tidak ada dalilnya. Karena sekiranya hal tersebut di atas adalah baik, sungguh mereka (para Sahabat) telah mengamalkannya lebih dulu. Dan tidak adanya petuntuk bahwa mereka melakukannya, maka ini menunjukkan tidak disyariatkannya amalan-amalan tersebut.

Marilah setiap kita merenungkan dua ayat berikut, sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,

وَمَاكَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلاَمُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللهُ وَرَسُولَهُ أَمْرًا أَن يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةَ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَن يَعْصِ اللهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلاَلاً مُّبِينًا

“Dan tidakkah patut bagi laki-laki yang mu’min dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu’min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka.Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.” (QS. al-Ahzab: 36)

Dalam ayat yang lain Allah berfirman,

وَمَن يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِن بَعْدِ مَاتَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَاتَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَآءَتْ مَصِيرًا

“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya. Dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu’min, niscaya Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruknya tempat kembali. (QS. an-Nisa’: 115)

Semoga shalawat dan salam tetap tercurahkan kepada Nabi kita Muhammad dan para Sabahat beliau.

Semoga penjelasan yang singkat ini bermanfa’at.

Wassalamu’alaikum wa Rahmatullaahi wa Barakaatuh.
[Husnul Yaqin]

Konsultasi Terkait:
1. Hukum Mengucapkan “Selamat” Tahun Baru Hijriyah