BAB MEMBERI NAMA PADA ANAK YANG DILAHIRKAN

Disunnahkan untuk memberi nama anak yang dilahirkan pada hari ketujuh dari kelahirannya, atau pada hari di mana dia dilahirkan.

Adapun tentang dianjurkannya pada hari ketujuh ialah:

Berdasarkan yang kami riwayatkan dalam Kitab at-Tirmidzi, dari Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya,

أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه و سلم أَمَرَ بِتَسْمِيَةِ الْمَوْلُوْدِ يَوْمَ سَابِعِهِ، وَوَضْعِ اْلأَذَى عَنْهُ وَالْعَقِّ.

“Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan untuk memberi nama bayi yang lahir pada hari ketujuh kelahirannya, membuang penyakit darinya, dan beraqiqah.”

Hasan: Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi, Kitab al-Adab, Bab Ta’jil Ismi al-Maulud, 5/132, no. 2832: dari jalur Syuraik, dari Muhammad bin Ishaq, dari Amr bin Syu’aib dengan hadits tersebut.
Sanad ini dhaif, di dalamnya terdapat tiga illat:

Pertama, penyampaian hadits dengan ungkapan ‘an’anah (dari fulan dari fulan) disamping dia adalah seorang mudallis.

Kedua, hafalan syuraik al-Qadhi buruk dan banyak kesalahan.

Ketiga, Bahwa Abbad bin al-Awwam menyelisihinya padahal dia berderajat tsiqah dan termasuk perawi kitab yang enam (Kutub as-Sittah) dia meriwayatkannya dari Ibnu Ishaq, dari Amr bin Syu’aib, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dengan hadits tersebut, kemudian dia memursalkannya. Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah no. 24245. Akan tetapi hadits ini hasan berdasarkan syahidnya yang akan datang sesudahnya, dan at-Tirmidzi telah menghasankannya, an-Nawawi dan al-Albani telah menyepakatinya.

At-Tirmidzi berkata, “Hadits ini hasan”.

Kami meriwayatkan dalam Sunan Abu Dawud, Sunan at-Tirmidzi, Sunan an-Nasa`i, dan Sunan Ibnu Majah serta lainnya dengan sanad yang shahih, dari Samurah bin Jundub atau Jundab radiyallahu ‘anhu , bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

كُلُّ غُلاَمٍ رَهِيْنَةٌ بِعَقِيْقَتِهِ، تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ سَابِعِهِ، وَيُحْلَقُ وَيُسَمَّى.

“Setiap bayi tergadaikan (yang bisa dibebaskan) dengan disembelihkan aqiqah sebagai
tebusan untuknya pada hari ketujuh, lalu dia dicukur dan diberi nama.”

Shahih: Diriwayatkan oleh ath-Thayalisi no. 909; Ibnu Abi Syaibah no.24228 dan 24244; Ahmad 5/7,12,17 dan 22; ad-Darimi 2/81; Ibnu Majah Kitab adz-Dzaba`ih, Bab al-Aqiqah, 2/1056, no. 3165; Abu Dawud Kitab adz-Dzabaih, Bab al-Aqiqah, 2/117, no. 2837; at-Tirmidzi, Kitab al-Adhahi, Bab al-Aqiqah, 4/101, no. 1522; an-Nasa`i, Kitab al-Aqiqah, Bab Mata Yu’aq, 7/166, no. 4231; al-Hakim 4/237; al-Baihaqi 9/299 dan 303; Ibnu Abdul Bar dalam at-Tamhid 4/306-307: dari berbagai jalur sanad, dari al-Hasan, dari Samurah dengan hadits tersebut.

Dan penerimaan hadits dengan cara mendengar (sama’) oleh al-Hasan dari Samurah ini shahih, hal itu diriwayatkan oleh al-Bukhari dan an-Nasa`i. Oleh karena itu, at-Tirmidzi berkata, “Hadits ini hasan shahih”. Dan Ibnu Katsir menyetujuinya, namun al-Hakim tidak berkomentar. Ibnu Abdul Bar berkata, “Hadits ini tsabit”, dan adz-Dzahabi, al-Asqalani dan al-Albani menshahihkannya.

At-Tirmidzi berkata, “Hadits ini hasan shahih”.

Sedangkan tentang dianjurkannya memberi nama pada hari kelahiran, maka ini berdasarkan hadits yang telah kami riwayatkan pada bab terdahulu, dari hadits Abu Musa.

Telah dikemukakan secara panjang lebar beserta takhrijnya pada no. 871.

Kami meriwayatkan dalam Shahih Muslim Kitab al-Fadha`il, Bab Rahmatuhu ash-Shibyana, 4/1807, no. 2315, dan pokok hadits ini terdapat pada riwayat al-Bukhari, Kitab al-Jana`iz, Bab Qauluhu Inna Bika Lamahzunun, 3/172, no. 1303.

dan lainnya, dari Anas radiyallahu ‘anhu, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

وُلِدَ لِيَ اللَّيْلَةَ غُلاَمٌ فَسَمَّيْتُهُ بِاسْمِ أَبِيْ، إِبْرَاهِيْمَ.

‘Seorang bayi telah dilahirkan untukku pada malam ini, maka aku memberinya nama kakek moyangku, Ibrahim.”

Kami meriwayatkan dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim, dari Anas radiyallahu ‘anhu, dia berkata,

وُلِدَ لأَبِيْ طَلْحَةَ غُلاَمٌ، فَأَتَيْتُ بِهِ النَّبِيَّ صلى الله عليه و سلم، فَحَنَّكَهُ وَسَمَّاهُ عَبْدَ اللهِ.

“Seorang bayi telah dilahirkan untuk Abu Thalhah, lalu aku membawanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, maka beliau mentahniknya dan memberinya nama, Abdullah.”

Diriwayatkan oleh al-Bukhari, Kitab al-Aqiqah, Bab Tasmiyah al-Maulud, 9/587, no. 5470; dan Muslim, Kitab al-Adab, Bab Istihbab Tahnik al-Maulud, 3/1689, no. 2144.

Kami meriwayatkan dalam Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim, dari Sahl bin Sa’ad as-Sa’idi radiyallahu ‘anhu, dia berkata,

أُتِيَ بِالْمُنْذِرِ بْنِ أَبِيْ أُسَيْدٍ إِلَى رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه و سلم حِينَ وُلِدَ، فَوَضَعَهُ النَّبِيُّ صلى الله عليه و سلم عَلَى فَخِذِهِ، وَأَبُوْ أُسَيْدٍ جَالِسٌ، فَلَهِيَ النَّبِيُّ صلى الله عليه و سلم بِشَيْءٍ بَيْنَ يَدَيْهِ، فَأَمَرَ أَبُوْ أُسَيْدٍ بِابْنِهِ فَاحْتُمِلَ مِنْ عَلَى فَخِذِ النَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم فَأَقْلَبُوْهُ فَاسْتَفَاقَ النَّبِيُّ صلى الله عليه و سلم، فَقَالَ: أَيْنَ الصَّبِيُّ؟ فَقَالَ أَبُوْ أُسَيْدٍ: أَقْلَبْنَاهُ يَا رَسُوْلَ اللهِ، فَقَالَ: مَا اسْمُهُ. قَالَ: فُلاَنٌ. قَالَ: لاَ، وَلكِنِ اسْمُهُ الْمُنْذِرُ. فَسَمَّاهُ يَوْمَئِذٍ الْمُنْذِرَ.

“Al-Mundzir bin Abi Usaid diberikan kepada Rasulullah ketika dilahirkan, maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam meletakkannya di atas pahanya, sedangkan Abu Usaid duduk. Namun Nabi disibukkan dengan sesuatu di depannya. Maka Abu Usaid memerintahkan untuk mengambil putranya sehingga dia diambil dari atas paha Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam. Maka mereka mengembalikannya (ke rumah mereka). Maka ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam teringat, beliau bertanya, ‘Di mana bayi tersebut?’ Abu Usaid menjawab, ‘Kami telah mengembalikannya wahai Rasulullah’. Beliau bertanya, ‘Siapa namanya?’ Abu Usaid menjawab, ‘Fulan.’ Beliau bersabda, ‘Jangan, akan tetapi namanya adalah al-Mundzir.’ Maka semenjak itu Abu Usaid menamakannya al-Mundzir.”

Diriwayatkan oleh al-Bukhari, Kitab al-Adab, Bab Tahwil al-Ism Ila Ahsan, 10/575, no.6191,dan Muslim, Ibid., 3/1693, no. 2149.

Saya berkata, “Makna ucapannya “لَهَيَ/لَهِيَ” adalah dua bahasa. “Lahaya” merupakan lafazh bangsa Thayyi’ sedangkan “لَهِيَ” adalah lafazh bangsa Arab lainnya yang merupakan lafazh yang fasih lagi masyhur, maknanya “berpaling darinya”, dalam riwayat lain dikatakan, “Tersibukkan dengan lainnya”, dalam riwayat lain dikatakan, “Melupakannya.”

Sedangkan makna ucapannya “اسْتَفَاقَ” bermakna mengingatnya kembali. Makna ucapannya “فَاقْبَلُوْهُ” artinya, kembalikanlah ke rumahnya.

Sumber : Ensiklopedia Dzikir Dan Do’a, Imam Nawawi, Pustaka Sahifa Jakarta. Disadur oleh Yusuf Al-Lomboky