Syarat Sanksi dalam Perjanjian Usaha

Hal yang populer dalam berbagai perjanjian pemborongan bangunan dan ekspor-impor modern adalah adanya syarat sanksi atau pemberian denda yang ditujukan kepada seorang pem-borong atau eksportir dengan diharuskan menyelesaikan kewa-jiban usaha jasanya selama masa tertentu, lalu dikenakan denda ketika ia terlambat dari waktu yang disepakati. Sebenarnya sejauh mana sistem ini disyariatkan?

Orang yang merenungkan persoalan ini pasti akan menda-patkan bahwa aturan itu adalah demi kepentingan perjanjian itu sendiri. Karena cara itu dapat mendorong agar perjanjian berjalan mulus pada waktu yang ditentukan. Oleh sebab itu, secara teoristis persyaratan semacam itu dapat dibenarkan, selama tidak ada alasan yang diterima syariat. Namun kalau ada unsur ber-lebih-lebihan dalam pemberian denda. Semuanya harus dikem-balikan kepada sikap adil dan arif. Dalam menentukan jumlah dendanya hendaknya dikembalikan kepada keputusan para pakar hukum dan para ulama.

Majlis Kibaril Ulama (Majlis Ulama Besar) di Saudi Arabia telah membahas problematika syarat sanksi tersebut, dan pada akhirnya mereka berkesimpulan bahwa syarat itu sah dan harus diterapkan, namun jumlah denda yang ditentukan hendaknya didasari oleh sikap adil dan arif. Berikut ini ketetapan dari Lem-baga Ulama Besar tersebut:

“Keputusan ini kami ambil, setelah tukar menukar pendapat, mendiskusikan dan mengeluarkan segala persoalan yang ada yang bisa dijadikan sebagai analogi dari syarat sanksi tersebut, lalu diadakan diskusi untuk mengalamatkan berbagai analogi tersebut kepada permasalahan-permasalahan itu, serta mempe-lajari firman Allah q: “Wahai orang-orang yang beriman, tunaikanlah akad-akad kalian.” dan hadits Rasulullah a: “Kaum muslimin terikat oleh persyaratan mereka, kecuali persyaratan yang menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal,” juga ucapan Umar y, “Letak denyut hukum adalah pada persyaratannya..” serta bersandar pada pendapat yang benar bahwa “asal dari semua persyaratan adalah sah,” yakni bahwa tidak ada yang haram dan batal kecuali yang diindikasikan oleh syariat batal atau haram dengan nash/dalil tegas, atau qiyas.”

Di sini akan kami sitir apa yang telah disebutkan oleh para ulama tentang pembagian syarat dalam perjanjian menjadi syarat sah dan syarat rusak atau batal, dan bahwa syarat yang sah juga terbagi menjadi tiga:

Pertama: Syarat yang menjadi konsekuensi perjanjian, seperti syarat harus ada serah terima barang dan penyerahan pemba-yaran.

Kedua: Syarat demi kepentingan perjanjian, seperti syarat bentuk pembayaran, seperi pembayaran tertunda atau peng-gadaian, atau dengan jaminan orang. Seperti juga bentuk barang, seperti misalnya keberadaan budak harus masih perawan.

Ketiga: Syarat yang jelas kegunaannya namun bukan meru-pakan konsekuensi perjanjian, dan juga bukan demi kepentingan perjanjian tersebut, namun juga tidak bertentangan dengan konsekuensi perjanjian itu. Seperti seorang penjual rumah yang meminta persyaratan untuk tetap tinggal di rumah itu selama satu bulan.

Sementara persyaratan rusak pun terbagi menjadi tiga:

Pertama: Persyaratan dari salah satu pihak yang terkait dalam perjanjian terhadap pihak lain untuk melakukan satu akad jual beli lain, penyewaan lain dan sejenisnya.

Kedua: Persyaratan yang bertentangan dengan konsekuensi perjanjian. Seperti persyaratan bahwa barang yang dijual tidak boleh rugi bila dijual kembali, atau agar tidak dijual lagi, diberikan atau (bila budak) dibebaskan.

Ketiga: Persyaratan yang membuat perjanjian menjadi ter-gantung. Seperti ucapan, “Aku jual ini kepadamu, tetapi bila si fulan sudah datang.”

Dengan demikian dapat diterapkan syarat sanksi, dan tam-pak jelas bahwa syarat itu termasuk demi kepentingan perjanjian usaha. Karena ia dapat mendorong agar perjanjian itu dilak-sanakan pada waktu yang telah ditentukan.

Bisa juga dijadikan dalil penenang, apa yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam Shahihnya dengan sanad beliau sendiri dari Ibnu Sirin, bahwa ada seorang lelaki berkata kepada orang sewaan, “Masukkanlah kendaraanmu. Kalau pada hari ini aku tidak pergi bersamamu, maka engkau kuberi seratus dirham.” Ternyata pada hari tersebut ia tidak pergi. Maka Hakim Syuraih berkata, “Barangsiapa yang menetapkan syarat atas dirinya sendiri dengan kesadaran tanpa ada yang memaksa, maka syarat itu men-jadi kewajiban dirinya..”

Ayyub meriwayatkan dari Ibnu Sirin, ada seorang lelaki yang menjual makanan. Ia berkata, “Kalau pada hari Rabu aku tidak menemuimu, maka tidak ada jual beli antara kita.” Ternyata lelaki itu tidak datang pada hari tersebut. Maka Syuraih berkata kepada pembelinya, “Anda menyalahi janji.” Beliau menetapkan denda atasnya.

Lebih daripada itu, hal tersebut berarti mengkonfrontasikan antara sikap merusak transaksi dengan menjaga komitmen terhadap perjanjian. Karena merusak transaksi disinyalir membahayakan dan menghilangkan banyak manfaat. Dengan membenarkan adanya sanksi hukum tersebut akan tertutup pintu terjadinya kekacauan atau mempermainkan hukum-hukum Allah, bahkan termasuk sebab pengingkaran terhadap pemenuhan janji, selain juga demi merealisasikan firman Allah:

“Wahai orang-orang yang beriman, tunaikanlah akad-akad kalian.” (Al-Maidah : 1).

Dengan semua alasan itu, Majelis Ulama Besar Saudi Arabia menetapkan secara aklamasi bahwa syarat sanksi hukum yang diberlakukan dalam berbagai perjanjian usaha itu adalah syarat sah dan diakui kebenarannya, selama (yang melakukan kesa-lahan) tidak memiliki alasan yang dibenarkan syariat ketika ia menyalahi komitmen terhadap transaksi. Bila terhadap alasan yang dibenarkan syariat, maka sanksi itu tidak berlaku hingga alasan itu tidak ada lagi.

Kalau syarat sanksi itu banyak sekali jumlahnya sesuai kebiasaan yang ada sehingga tujuannya adalah ancaman finansial, tidak lagi sejalan dengan konsekuensi kaidah-kaidah syarat, maka harus dikembalikan kepada sikap adil dan bijaksana sesuai dengan manfaat yang hilang atau kerusakan yang ditimbulkan. Kalau terjadi perselisihan, dikembalikan kepada hakim yang syar’i melalui musyawarah dengan para pakar hukum dan ulama, demi mengamalkan firman Allah:

“Dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil.” (An-Nisa: 58).

Demikian juga dengan firman Allah:

“Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada taqwa.” (Al-Maidah: 8).

Juga demi mengamalkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam :
لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ
“Segala bahaya dan yang membahayakan adalah haram..”

Semoga Allah memberikan taufikNya, dan semoga shalawat dan salam yang sebanyak-banyaknya terlimpahkan kepada Nabi Muhammad a, kepada sanak saudara dan kepada para Sahabat beliau.