Pertanyaan:

Assalamu’alaikum wa Rahmatullahi wa Barakatuh

Apakah bersentuhan tangan suami -Istri membatalkan wudlu..?? Jazakallah, atas jawabanya.

Wassalamu’alaikum wa Rahmatullahi wa Barakatuh.

Hormat Saya : Wanuri

Jawaban:

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullahi wa Barakatuh.

Semoga Allah mencurahkan petunjuk-Nya kepada kita semua.

Secara umum, ada dua pendapat utama tentang jawaban atas pertanyaan Anda.

1. Tidak Batal

Pendapat yang pertama menyatakan bahwa hal tersebut tidak membatalkan wudhu.

2. Batal

Pendapat kedua menyatakan bahwa bersentuhan dengan kulit wanita membatalkan wudhu.

Pangkal Perbedaan Pendapat:

Yang menjadi perbedabatan di antara para Ulama’ adalah ketika mereka berbeda dalam memahami firman Allah Ta’ala yang termaktub di dalam al-Qur’an surat al-Maidah: 6.

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاَةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلِكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ وَإِن كُنتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا وَإِن كُنتُم مَّرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَآءَ أَحَدُُ مِّنكُم مِّنَ الْغَآئِطِ أَوْ لاَمَسْتُمُ النِّسَآءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَآءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُم مِّنْهُ مَايُرِيدُ اللهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُم مِّنْ حَرَجٍ وَلَكِن يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ {6}

Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu, Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur. (QS. al-Maidah:6)

Dan firman Allah Ta’ala yang termaktub di dalam surat an-Nisa ayat 43:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَتَقْرَبُوا الصَّلاَةَ وَأَنتُمْ سُكَارَى حَتَّى تَعْلَمُوا مَاتَقُولُونَ وَلاَجُنُبًا إِلاَّعَابِرِي سَبِيلٍ حَتَّى تَغْتَسِلُوا وَإِن كُنتُم مَّرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَآءَ أَحَدُُ مِّنكُم مِّنَ الْغَآئِطِ أَوْ لاَمَسْتُمُ النِّسَآءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَآءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسِحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ إِنَّ اللهَ كَانَ عَفُوًّا غَفُورًا {43}

”Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri masjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau kembali dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pema’af lagi Maha Pengampun” (QS. an-Nisa: 43)

Dalam memahami dua ayat al-Qur’an, para Ulama’ berbeda dalam memahami kalimat, “أَوْ لاَمَسْتُمُ النِّسَآءَ”, [Menyentuh Wanita]

Sebagian para Ulama’ mengatakan artinya “menyentuh wanita”, dan sebagian yang lain menafsirkan bahwa yang dimaksud menyentuh wanita dalam dua ayat tersebut adalah “jima” [bersenggama/bersetubuh].

Maka jika dikatakan bahwa Allah berfirman, artinya, ”…..menyentuh wanita..”(QS. Al-Maidah: 6 dan An-Nisa:43)

Yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah jima’ [bersenggama/bersetubuh] sebagaimana pendapat Ibnu Abbas yang diriwayatkan secara shahih.

Disamping itu, dalil lain yang menunjukkan pendapat ini adalah adanya pembagian dalam ayat tersebut: pembagian thaharah [bersuci] menjadi thaharah ashliyyah (asal/pokok) dan badaliyah (pengganti), penggantian thaharah menjadi kubra (besar) dan sughra (kecil) serta pembagian hal-hal yang mewajibkan bersuci menjadi kubra (besar) dan sughra (kecil).

Allah Berfirman, artinya, ”…Jika kalian dalam keadaan junub maka bersucilah…” Ini menunjukkan thaharah ashliyyah (bersuci yang pokok dan besar)

Allah berfirman, artinya ”…Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau kembali dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci)…”

Firman Allah, yang artinya ”Bertayamumlah” menunjukkan sebagai pengganti. Kemudian firman Allah yang artinya, ”atau kembali dari tempat buang air” menjelaskan sebab sughra(kecil) yang mewajibkan untuk bersuci.

Seandainya kita menafsirkan ”persentuhan” dalam ayat ini dengan ”persentuhan dengan tangan”, maka berarti dalam ayat tersebut Allah telah menyebutkan dua sebab sughra(kecil) dalam bersuci dan tidak menyinggung sebab kubra(besar) dalam bersuci padahal Allah telah menyebutkan, artinya, ”Dan jika kalian dalam keadaan junub maka bersucilah kalian” dan hal ini telah menyelisihi manhaj balaghal qur’aniyyah.

Dengan demikian, maka penafsiran yang benar terhadap ayat ”atau jika kalian menyentuh wanita” adalah berarti “jima” [bersenggama/bersetebuh], agar ayat tersebut kemudian mencakup mencakup dua sebab yang mewajibkan untuk bersuci, sebab kubra dan sebab sughra, juga menyebutkan thaharah yang sughra– berupa membasuh keempat anggota tubuh– dan thaharah yang kubra– berupa membasuh seluruh anggota badan– serta menyebutkan thaharah pengganti yaitu tayammum yang digunakan pada dua anggota tubuh (tangan dan wajah) karena thaharah kubra dan sughra memiliki persamaan dalam hal tersebut.

Maka pendapat yang shahih adalah bahwa menyentuh wanita tidaklah membatalkan wudhu secara mutlak, baik wanita mahram atau bukan mahram, kecuali apabila disertai syahwat dan mengeluarkan sesuatu dari kemaluan.

Adapun dalil yang menguatkan penafsiran demikian, adalah apa yang diriwayatkan secara shahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa beliau pernah mencium sebagian istri-istri beliau lalu keluar untuk mengerjakan shalat tanpa berwudhu lebih dahulu.

Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Aisyah, Bahwasanya Nabi menciumnya dan beliau tidak mengulangi wudhu.” (HR. Abu Dawud)

Dalam sebuah riwayat yang lain yang diriwayatkan oleh Aisyah juga, Bahwa Rasulullah pernah mencium salah seorang isterinya kemudian beliau keluar untuk melaksanakan shalat tanpa melakukan wudhu lagi.” (HR Abu Dawud)

Urwah bin Zubair bertanya, “Bukankah istri beliau tersebut adalah engkau?” Aisyah pun tersenyum.

Juga dalam riwayat lain, diceritakan, “Bahwa Rasulullah pernah shalat di rumahnya (shalat sunnah), apabila beliau hendak sujud, beliau menyentuk kaki ‘Aisyah, sebagai isyarat agar ia menyingkir dari tempat sujud Rasulullah.” (HR. al-Bukhari, Muslim dan yang lainnya).

Juga bahwa pada dasarnya segala sesuatu tidaklah membatalkan wudhu hingga terdapat dalil yang shahih dan jelas yang menunjukkan bahwa ia membatalkan.Disamping itu seseorang yang telah menyempurnakan thaharahnya sesuai dengan dalil syar’i tidak bisa dihapus begitu saja kecuali dengan dalil syar’i pula.

Dan dengan pengertian seperti inilah mereka menafsirkan firman Allah, `au laamastum an-nisa` (atau kamu menyentuh wanita). Karena itu, Syekhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Fatawanya melemahkan pendapat orang yang menafsirkan lafal `mulaamasah` atau `al-lams` dalam ayat tersebut dengan semata-mata bersentuhan kulit walaupun tanpa syahwat.

Berdasarkan hal ini maka pendapat yang kuat adalah: Bahwa menyentuh wanita tidaklah membatalkan wudhu secara mutlak, kecuali (persentuhan itu) menyebabkan keluarnya sesuatu. Jika yang keluar berupa air mani maka ia diwajibkan untuk mandi, dan jika yang keluar adalah madzi maka ia diwajibkan mencuci kemaluannya dan berwudhu.(1)
Begitu pula dengan Syaikh Muhammad bin Utsaimin beliau menfatwakan sama dengan diatas, beliau berkata, ”Menurut pendapat yang lebih kuat, menyentuh wanita tidak membatalkan wudhu secara mutlak, baik dengan disertai syahwat maupun tidak, kecuali jika ada mani yang keluar darinya. Jika ada air mani yang keluar, maka dia wajib mandi. Namun, jika yang keluar madzi maka dia harus membersihkan kemaluannya lalu wudhu” (2)

Dan untuk melengkapi penjelasan ini, kami nukilkan fatwa al-Lajnah ad-Daimah lil Ifta tentang permasalahan ini.

Pertanyaan:

Batalkah wudhu karena berjabatan tangan dengan wanita asing, sementara telah diketahui bahwa perbuatan ini adalah haram? dan dalam kitab-kitab fiqh kami menemukan beberapa hadits yang menyatakan bahwa menyentuh wanita tidaklah membatalkan wudhu.Dan ungkapan itu bersifat umum?

Jawaban:

Yang benar menurut pendapat para ulama adalah bahwa menyentuh wanita atau berjabat tangan dengan wanita tidaklah membatalkan wudhu, baik wanita itu orang asing atau istri atau mahram, karena pada dasarnya seorang pria itu tetap dalam keadaan berwudhu (suci) hingga terdapat dalil syar’i yang menetapkan bahwa wudhu itu batal, sementara tidak ada dalam hadits shahih yang menyatakan bahwa menyentuh wanita asing membatalkan wudhu. Sedangkan kata menyentuh dalam firman Allah, artinya ”Hai orang-orang yang beriman apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan basuhlah kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau salah seorang dari kalian selesai menunaikan hajatnya atau kalian menyentuh wanita, lalu kalian tidak mendapatkan air maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih), sapulah mukamu dan tanganmu dengan itu”(Al-Maidah ayat 6)

Bahwa yang dimaksud dengan menyentuh di atas adalah bersetubuh, demikian pendapat yang benar di antara pendapat para ulama.

Demikian, jawaban ini kami sadur dan kami sarikan dari beberapa sumber dengan harapan semoga bermanfa’at. [Redaksi]

Wassalamu’alaikum wa Rahmatullaahi wa Barakaatuh.

Sumber:
1. Fatwa-fatwa Muslimah, Oleh Masyayikh,darul Falah, bab Wudhu dan hal yang membatalkannya, hal:135- 136,Jakarta, 2001.
2. Fatwa-fatwa Tentang Wanita, darul Haq, Jakarta, 2001.
3. Al-Mausu’ah al-Fiqhiyah al-Muyasaarah, oleh Syaikh Husain bin ‘Audah al-‘Awaisyah, Edisi Indonesia: Ensiklopedi Fiqh Praktis Menurut al-Qur’an & as-Sunah, I, hal. 111, Pent. Pustaka Imam asy-Syafi’i Jakarta.