Legalitas Menjual Hak Cipta

Dalil-dalil Syariat yang menunjukkan sahnya menjual hak-hak cipta adalah sebagai berikut;

Pertama: Dalil mencari kemaslahatan. Pendapat yang me-nyatakan bahwa hak cipta penulisan itu bernilai dan layak dipa-sarkan dapat melanggengkan kemaslahatan umum. Dalam arti, dalam diharapkan keberlanjutan pengkajian ilmiah dan mendo-rong para ulama dan ahli ijtihad untuk melanjutkan penelitian mereka, sementara tulisan dan hak cipta mereka tetap terpelihara dari permainan orang yang tidak bertanggungjawab. Syariat Islam diturunkan untuk merealisasikan kemaslahatan dan menghindari kerusakan. Dimana ada kemaslahatan, di situ ada ajaran Islam.

Kedua: Dalil kebiasaan. Terjadinya persoalan ini dan kesepa-katan kaum muslimin melakukannya merupakan dalil bahwa mereka sudah mengetahui dibolehkannya urusan itu. Jelas bahwa kebiasaan itu memiliki pengaruh pada hukum syariat, kalau tidak bertentangan dengan nash. Karya ilmiah itu memiliki nilai jual secara terpisah, tidak berkaitan dengan intelektualitas penulisnya. Itu merupakan hak yang permanen, bukan sekedar hak semata. Berarti hak itupun bisa berpindah dan bisa dijualbelikan, bila di-rusak atau dihilangkan, harus dipertanggungjawabkan dan di beri ganti rugi.

Ketiga: Pendapat yang dinukil dari sebagian ahli hadits yang membolehkan mengambil upah dalam menyampaikan atau mengajarkan hadits. Para ulama ahli hadits biasanya membolehkan siapa saja yang mereka kehendaki untuk meriwayatkan hadits-hadits mereka, dan melarang sebagian lain yang tidak mereka kehendaki, bila orang-orang tersebut dianggap tidak memiliki kompetensi di bidang periwayatan. Dari sebagian ulama ahli hadits juga diriwayatkan dibolehkannya mengambil upah dalam menga-jarkan hadits, diqiyaskan dengan dibolehkannya mengambil upah dalam mengajarkan al-Qur’an.

Ibnu Shalah menyatakan, “Barangsiapa mengambil upah dari mengajarkan hadits, riwayatnya menjadi tidak bisa diterima menurut sebagian imam ahli hadits.” Sementara Abu Nuaim al-Fadhal bin Dzukain dan Ali bin Abdul Aziz al-Makki dan para ulama lainnya masih membolehkan mengambil upah dari me-nyampaikan hadits, karena serupa dengan mengambil upah dari mengajarkan al-Qur’an dan sejenisnya. Hanya saja dalam kebia-saan ahli hadits hal itu dianggap merusak citra. Bahkan pelakunya bisa dicurigai, kecuali bila ada alasan tertentu yang mengiringinya sehingga bisa dimaklumi. Seperti yang disebutkan bahwa Abul Husain bin an-Naqur melakukan perbuatan itu karena Abu Ishaq memberikan fatwa dibolehkannya mengambil upah dari meng-ajarkan hadits.”

Kalau kebiasaan para ulama pada masa itu menganggap mengambil upah dari mengajarkan hadits itu termasuk perusak citra, sekarang kebiasaan sudah berubah karena perbedaan zaman dan tempat. Sehingga hukum yang didasari kebiasaan tersebut juga bisa berubah.

Keempat: Qiyas seorang produsen atau pembuat barang bisa menikmati hasil karyanya, memiliki kebebasan dan kesem-patan untuk orang lain memanfaatkannya atau melarangnya. Maka demikian juga seorang penulis, karena ia telah menyatukan antara membuat dengan memproduksi satu karya ilmiah, telah berkonsentrasi dan mengerahkan waktu serta tenagannya untuk tujuan itu.

Kelima: Kaidah Saddudz Dzara-i’ (Menutup Jalan Menuju Haram). Karena pendapat yang menyatakan dibolehkannya menjual hak cipta penulisan mengandung upaya memberikan dorongan bagi para pemikir dan para ulama untuk semakin produktif dan semakin giat melakukan penelitian ilmiah. Bahkan juga bisa memompa semangat mereka untuk menciptakan hal-hal baru dan melakukan reformasi. Apalagi mereka atau sebagian besar mereka hanya memiliki bidang ilmiah itu sebagai sumber penghasilan mereka. Menggugurkan nilai jual dari karya tulis itu sendiri bisa menyebabkan mereka meninggalkan pekerjaan tersebut dan ber-alih ke pekerjaan lain untuk menjadi sumber penghidupan mere-ka. Hal itu tentu saja menyebabkan umat kehilangan kesempatan mendapatkan hasil dari karya mereka, bahkan menyebabkan matinya gairah untuk menulis pada banyak kalangan peneliti ilmiah. Jelas yang timbul adalah kerusakan yang besar.

Keenam: Dasar ditetapkannya nilai jual adalah adanya mutu yang dibolehkan syariat. Mutu dari karya ilmiah bagi umat masa kini dan masa mendatang amat jelas sekali. Kalau para ulama telah mengakui nilai jual dari berbagai fasilitas yang lahir dari sebagian jenis hewan, seperti ulat misalnya, atau kicauan burung, suara beo misalnya, manfaat atau fasilitas yang berasal dari karya tulis tentu lebih layak lagi memiliki nilai jual. Manfaat yang seharusnya dinikmati oleh pemiliknya. Manfaat itu lebih layak diperhatikan, karena lebih besar hasilnya dan lebih banyak faedahnya.