Reporter: Abu Dhiyaa’ Sa’idah

Kalau anda pernah ke Aceh sebelum ada kejadian Tsunami, dan menemukan kehidupan yang seperti di Jakarta atau Bandung, maka itu bukan hal yang aneh. Akan tetapi, kalau anda tinggal di Aceh, terutama Aceh bagian barat –sejak Tsunami hingga sekarang– maka anda akan banyak membelalakkan mata, mengkerutkan dahi, dan mengelus dada.

Bila anda melihat banyak perempuan tidak berjilbab berjalan-jalan malam –dengan pakaian ketat– atau berjilbab dengan jilbab gaul sedang asyik dengan pasangan mudanya di negeri yang ingin memberlakukan syari’at Islam ini, maka itu sudah bukan hal yang asing lagi. Hentakan suara musik yang begitu keras –layaknya diskotik– begitu lumrah, padahal semerbak harumnya mayat korban Tsunami belum hilang dari hidung mereka. Kapal, perahu, dan mobil masih berserakan diantara rumah-rumah mereka, belum sirna dari mata-mata mereka, seakan bukan suatu peringatan dari Yang Maha Kuasa.

Sementara, warung-warung kopi mulai ramai selepas shalat ashar sampai sekitar pukul 11 malam. Padahal siang hari pun warung-warung itu tidak sepi dari para pengunjung yang 99% adalah warga Aceh. Sementara, di salah satu ruas jalan, kios yang menggunakan tenda bantuan relawan, sedang ramai dikerumuni pembeli saat menjual VCD-VCD musik dan lagu. Selama 2 bulan lebih sejak kejadian Tsunami, sulit sekali kita menemukan warga Aceh yang rela ataupun sudi mengangkat saudara-saudara sekampung mereka dari himpitan gedung, dari reruntuhan bangunan, ataupun dari kubangan ribuan mayat……

Kalau anda pernah ke Jakarta dan mengendarai mobil atau sepeda motor lalu kesal dengan ulah sebagian pengendara yang ugal-ugalan, yang tiba-tiba memotong jalur anda, maka di Aceh anda akan menemukan hal yang lebih tragis lagi. Anda akan sering mengerem mendadak karena tiba-tiba sebuah mobil yang sedang parkir tiba-tiba membelok 360 derajat untuk menuju jalur lain. Atau anda hampir saja di tabrak atau disrempet mobil atau motor dari belakang anda. Bila itu terjadi, bersiaplah untuk dimarahi mereka walaupun anda di pihak yang benar, atau malah mereka demikian cueknya seola tidak bersalah sedikitpun.

Jangan lupa untuk berbelanja di Aceh kalau anda sudah di sana…. Namun jangan kesal dan jangan menggerutu, jika anda sudah menunggu lama lalu tidak dilayani, sementara penjaga toko begitu cepat melayani para pembeli yang berbicara kepada mereka dengan bahasa Aceh. Atau, saat anda dilayani, tiba-tiba datang pembeli yang berbicara dengan bahasa Aceh, lalu serta-merta anda ditinggalkan begitu saja lalu ia melayani pembeli tersebut.

Terakhir, ketika anda duduk lama di barak pengungsian umum, lalu terdengar adzan, maka anda akan melihat banyak pengungsi yang asyik menikmati snack wajib mereka, yaitu rokok dan secangkir kopi atau di depan TV, seakan tidak mendengar adzan sama sekali. Padahal hampir setiap hari terjadi gempa di Aceh sejak Tsunami 26 Desember 2004M lalu. Belumkah datang waktunya untuk mengambil ibrah…..??(abm)