Salah satu prinsip Ahlus Sunnah dalam beramal adalah mengikuti atsar-atsar Nabi saw, dan untuk bisa mengikuti maka dibutuhkan ilmu, maka Ahlus Sunnah bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu untuk mengetahui atsar-atsar Rasulullah lalu mengikutinya. Ahlus Sunnah wal Jamaah mengikuti atsar-atsar Rasulullah dalam akidah, ibadah, akhlak dan dakwah kepada Allah, mereka mengajak manusia kepada syariat Allah dalam setiap kesempatan, setiap kali hikmah menuntut berdakwah kepada Allah maka mereka melakukannya hanya saja mereka tidak melakukannya secara ngawur, akan tetapi dengan hikmah.

Ahlus Sunnah mengikuti atsar Rasulullah saw dalam akhlak yang terpuji, berinteraksi dengan manusia dengan lembut dan cinta kasih, memposisikan setiap orang pada kedudukannya. Mereka juga mengikuti Rasulullah saw dalam hal akhlak kepada keluarga, maka mereka berusaha agar menjadi orang terbaik bagi keluarga mereka karena Nabi bersabda, “Sebaik-baik kamu adalah sebaik-baik kamu kepada keluarganya dan aku adalah orang terbaik kepada keluargaku.â€‌ Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dan Ibnu Majah.

Perlu diketahui bahwa atsar Rasulullah terbagi menjadi:

Pertama: Apa yang dilakukan oleh Rasulullah dalam rangka beribadah. Kita diperintahkan untuk mengikuti bagian ini berdasarkan firman Allah, “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu.â€‌ (Al-Ahzab: 21). Semua perbuatan Nabi saw yang mana beliau tidak melakukannya karena pengaruh adat atau karena tuntutan tabiat kemanusiaan atau fitrah atau terjadi karena kebetulan maka ia dalam rangka ibadah, kita diperintahkan untuk mengikutinya.

Kedua: Apa yang dilakukan oleh Rasulullah secara kebetulan. Ini tidak disyariatkan untuk diikuti karena ia bukan sesuatu yang dimaksud seperti seseorang yang berkata, “Hendaknya kita datang ke Makkah untuk berhaji pada hari keempat bulan Dzulhijjah karena Nabi hadir di Makkah pada hari itu.â€‌ Ini tidak disyariatkan karena kedatangan beliau pada hari itu hanyalah kebetulan semata.

Kalau ada yang berkata, “Apabila kita meninggalkan Arafah dan sampai di sebuah jalan di sebuah bukit di mana padanya Rasulullah singgah dan kencing maka hendaknya kita pun singgah di sana, kencing dan berwudhu secara ringan seperti yang dilakukan oleh Rasulullah.â€‌ Ini tidak disyariatkan, karena Nabi saw melakukannya bukan dengan maksud ibadah dan meneladani beliau adalah ibadah.

Ketiga: Apa yang dilakukan oleh Rasulullah karena tuntutan adat. Apakah disyariatkan bagi kita meneladaninya? Ya, hendaknya kita meneladaninya akan tetapi dengan jenisnya bukan macamnya.

Masalah ini kurang diperhatikan oleh manusia, mereka mengira bahwa keteladanan padanya dengan macamnya kemudian mereka menafikannya secara mutlak.

Kita meneladaninya akan tetapi dari segi jenis artinya kita melakukan apa yang menjadi tuntutan adat yang diikuti oleh manusia kecuali jika terdapat penghalang syar’i.

Keempat: Apa yang dilakukan Nabi karena tuntutan tabiat kemanusiaan, ini bukan termasuk ibadah tanpa ragu, akan tetapi ia bisa menjadi ibadah dari sisi di mana melakukannya dengan cara tertentu adalah ibadah seperti tidur, ia adalah tuntutan tabiat kemanusiaan tetapi tidur miring ke kanan termasuk yang dianjurkan.

Makan dan minum adalah tuntutan kemanusiaan, ia bisa menjadi ibadah dari sisi yang lain di mana yang bersangkutan bermaksud melakukan perintah Allah, merasakan nikmatNya, memberi kekuatan beribadah dan menjaga kelangsungan hidup, juga caranya adalah ibadah seperti makan dengan tangan kanan, basmalah pada saat mulai makan dan hamdalah di akhir makan.

Namun kita harus berhati-hati dalam masalah ini, tidak menyatakan sesuatu itu adalah ibadah kecuali dengan dalil karena prinsip ibadah adalah larangan kecuali jika ada dalil yang mensyariatkannya.

Ahlus Sunnah juga mengikuti para pendahulu yang beriman, yaitu para sahabat Nabi saw dari orang-orang Muhajirin dan Anshar, hal itu karena mereka lebih dekat kepada kebenaran daripada orang-orang sesudah mereka, semakin jauh suatu masa dari masa Rasulullah saw semakin jauh ia dari kebenaran, semakin dekat kepada masa Rasulullah semakin dekat ia kepada kebenaran, dan semakin bersungguh-sungguh seseorang dalam mengetahui sirah Nabi saw dan khulafa’ rasyidin maka dia semakin dekat kepada kebenaran.

Dari sini maka kita lihat perbedaan di masa mereka sangatlah terbatas, pada saat yang sama kita melihat perbedaan umat di masa setelah masa sahabat dan tabiin lebih luas skala dan cakupannya.

Di samping itu mengikuti mereka membawa kepada kecintaan kepada mereka, lain halnya dengan orang yang emoh dengan jalan ini. mereka berkata, “Mereka adalah laki-laki dan kami pun laki-laki.â€‌ Orang seperti ini tidak peduli untuk menyelisihi para sahabat, seolah-olah ucapan Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali sama dengan ucapan fulan dan fulan dari orang-orang zaman ini.

Ini adalah kesalahan dan kekeliruan karena sahabat lebih dekat kepada kebenaran dan pendapat mereka harus didahulukan dari pendapat siapa pun karena ilmu dan keimanan, pemahaman yang lurus, ketakwaan dan amanah yang mereka miliki ditambah mereka adalah sahabat-sahabat Rasulullah saw.

Dari Syarh al-Aqidah al-Wasithiyah, Syaikh Ibnu Utsaimin.