Termasuk prinsip Ahlus Sunnah dalam beramal adalah mengikuti petunjuk khulafa` rasyidin. Khulafa’ rasyidin adalah orang-orang yang menggantikan Nabi pada umatnya dari segi ilmu, amal dan dakwah. Orang pertama dan paling berhak masuk ke dalam kriteria ini adalah khulafa yang empat: Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali.

Nabi saw bersabda, “Berpeganglah kepada sunnahku dan sunnah khulafa` rasyidin yang diberi petunjuk sesudahku, berpeganglah kepadanya, gigitlah ia dengan gigi geraham.â€‌

Ahlus Sunnah wal Jamaah mematuhi wasiat Rasulullah agar berpegang teguh kepada Sunnahnya dan Sunnah khulafa rasyidin sesudahnya di mana ujung tombaknya adalah khulafa yang empat yaitu Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali kecuali jika terbukti secara nyata ia menyelisihi sabda Rasulullah maka kita wajib mengambil sabda Rasulullah dan memaklumi sahabat yang bersangkutan.

Termasuk prinsip Ahlus Sunnah dalam beramal adalah menjauhi perbuatan bid’ah berdasarkan wasia Rasulullah saw, “Jauhilah perkara-perkara yang diada-adakan, karena setiap perkara yang diada-adakan adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah kesesatan.â€‌

Hadits ini adalah pengumuman yang kuat dari Rasulullah yang merupakan orang paling mengetahui syariat Allah, orang paling tulus kepada manusia, orang yang paling fasih penjelasannya dan orang yang paling jujur beritanya. Empat perkara terkumpul pada beliau: ilmu, ketulusan, kefasihan dan kejujuran. Beliau bersabda, “Semua bid’ah adalah kesesatan.â€‌

Berdasarkan hal ini maka siapa pun yang beribadah kepada Allah dengan akidah atau perkataan atau perbuatan yang bukan dari syariat Allah maka dia adalah pelaku bid’ah.

Resiko-resiko buruk bid’ah,

Pertama: Mendustakan firman Allah, “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu.â€‌ (Al-Maidah: 3), karena jika dia menghadirkan bid’ah yang dia anggap agama maka itu berarti agama belum sempurna.

Kedua: Melecehkan syariat, bahwa ia kurang lalu pelaku bid’ah tersebut hadir menyempurnakannya.

Ketiga: Melecehkan kaum muslimin yang tidak menghadirkannya, orang-orang yang hadir sebelum bid’ah tersebut hadir, agama mereka kurang. Ini berbahaya.

Keempat: Biasanya orang yang sibuk dengan sesuatu bid’ah maka dia akan meninggalkan Sunnah sebagaimana dikatakan oleh sebagian Salaf, “Suatu kaum tidak melakukan sebuah bid’ah kecuali mereka menenggelamkan sunnah yang sepertinya.â€‌

Kelima: Memicu perpecahan di tubuh umat karena para pelaku bid’ah tersebut meyakini bahwa mereka adalah orang-orang yang benar dan selain mereka adalah sesat sementara para pengikut kebenaran berkata, “Kalian di atas kesesatan.â€‌ Akibatnya adalah perpecahan hati mereka.

Ini adalah kerusakan-kerusakan besar. Semuanya adalah akibat buruk bid’ah ditambah hubungan antara bid’ah dengan kebodohan akal dan ketimpangan agama sangatlah kuat. Maka Ahlus Sunnah sangat menjauhi bid’ah.

Adakah bid’ah hasanah?

Sebagian orang menetapkan bid’ah hasanah dan ini merupakan sebuah kekeliruan, karena Nabi saw bersabda, “Semua bid’ah adalah kesesatan.â€‌ Dan dalam hal ini tidak ada dalil yang mengeluarkan sebagian bid’ah dari kata, “Semua.â€‌

Bagaimana dengan Ucapan Amirul Mukminin Umar ketika dia melihat kaum muslimin shalat Tarawih dengan berjamaah, “Ini adalah sebaik-baik bid’ah.â€‌ Konteksnya adalah pujian dan Umar menyatakannya sebagai bid’ah?

Jawabannya, Apabila kita melihatnya secara lurus maka kita mendapati bahwa kriteria bid’ah secara syar’i tidak mungkin diberikan kepada ucapan Umar ini karena telah diriwayatkan secara shahih bahwa Nabi saw pernah melakukannya dengan para sahabat selama tiga malam lalu beliau meninggalkannya karena khawatir ia akan diwajibkan. Dasar pensyariatannya ada, jadi ia bukan bid’ah dari segi syariat, tidak mungkin kita berkata: Ia bid’ah, padahal Rasulullah saw melakukannya.

Umar menamakannya bid’ah karena orang-orang meninggalkannya dan tidak melakukannya secara berjamaah di belakang imam yang satu akan tetapi mereka melakukannya secara terpisah-pisah, ada yang shalat sendiri, ada dua orang, ada tiga orang dan ada yang lebih dari itu. Maka ketika Umar mengumpulkan mereka dengan satu imam, berkumpulnya mereka ini adalah bid’ah dilihat dari keadaan sebelumnya di mana mereka shalat secara terpisah-pisah.

Suatu malam Umar keluar dan dia berkata, “Seandainya aku mengumpulkan orang-orang dengan seorang imam niscaya itu akan lebih baik.â€‌ Maka Umar memerintahkan Ubay bin Kaab dan Tamim ad-Dari agar mengimami orang-orang dengan dua puluh satu rakaat maka keduanya melakukannya. Suatu malam Umar keluar melihat orang-orang shalat dengan seorang imam, dia pun berkata, “Ini adalah sebaik-baik bid’ah.â€‌

Jadi ia adalah bid’ah nisbi, dari sisi ia pernah ditinggalkan lalu dilakukan lagi. Inilah mengapa ia dinamakan bid’ah. Kalau ia disebut bid’ah secara syar’i di mana Umar memujinya maka itu tidak mungkin.

Bagaimana kita menggabungkan hal ini dengan sabda Nabi saw, “Barangsiapa melakukan sunnah yang baik dalam Islam maka untuknya pahalanya dan pahala orang yang melakukannya sampai hari Kiamat.â€‌ Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim. Nabi saw menetapkan bahwa seseorang memulai sunnah yang baik dalam Islam.

Jawabannya, sabda Nabi saw tidak bertabrakan, sebagian membenarkan sebagian yang lain. Yang dimaksud dengan sunnah yang baik adalah sunnah yang disyariatkan dan yang dimaksud dengan meletakkannya adalah bersegera dalam melakukannya.

Hal ini diketahui melalui sebab turunnya hadits ini yaitu Nabi mengucapkannya ketika seorang Anshar datang membawa sekantong uang dirham dan meletakkanya di depan Nabi pada saat Nabi saw mendorong sahabat-sahabatnya agar membantu sekelompok orang yang hadir dari Mudhar yang merupakan pembesar Arab dengan memakai kain dari wol yang bergaris, wajah Nabi berubah begitu melihat keadaan mereka yang menyedihkan maka Nabi mengajak para sahabat untuk membantu lalu laki-laki Anshar inilah orang pertama yang membantu dengan membawa kantong dirhamnya maka Rasulullah saw mengucapkan hadits di atas.

Dari Syarh al-Aqidah al-Wasithiyah, Syaikh Ibnu Utsaimin.