Pertanyaan:

Tampaknya hilal Ramadhan atau hilal Syawwal berbeda-beda antara satu negara dengan negara lainnya. Apakah kaum muslimin harus berpuasa ketika hilal Ramadhan terlihat di suatu negara?

Jawaban:

Tentang masalah hilal ini ada perbedaan pendapat di kalangan ahlul ilmi. Di antara mereka ada yang berpendapat, bahwa jika terlihat hilal Ramadhan di suatu tempat sesuai syarat syari’at, maka wajib bagi seluruh kaum muslimim untuk berpuasa, dan bila terlihat hilal Syawwal maka wajib bagi seluruh kaum muslimin untuk berbuka.

Demikian pendapat yang masyhur dari madzhab Imam Ahmad. Berdasarkan ini, jika misalnya di Saudi telah terlihat hilal, maka wajib atas kaum muslimin di seluruh dunia untuk mengakui penglihatan (ru’yat) ini, yakni mulai berpuasa jika itu hilal Ramadhan dan berbuka jika itu hilal Syawwal. Mereka berdalih dengan keumuman firman Allah, yang artinya, “Maka barangsiapa di antara kamu melihat bulan maka hendaklah ia berpuasa”, dan dengan keumuman sabda Nabi Shalallaahu alaihi wasalam:

إِذَا رَأَيْتُمُوْهُ فَصُوْمُوْا وَإِذَا رَأَيْتُمُوْهُ فَأَفْطِرُوْا.

“Jika kalian melihatnya (hilal) maka berpuasalah dan jika kalian melihat (hilal) maka berbukalah.”

Di antara ulama, ada juga yang mengatakan bahwa hilal Ramadhan tidak mewajibkan puasa dan hilal Syawwal tidak mewajibkan berbuka kecuali bagi yang melihatnya atau yang bersama dengan yang melihatnya pada tempat-tempat munculnya bulan. Karena tempat-tempat munculnya bulan itu berbeda-beda menurut para ahli … Karena perbedaan itu, maka setiap negeri wajib menentukan berdasarkan ru’yat (hasil penglihatan)nya, dan negeri yang sama tempat munculnya bulan mengikutinya. Jika tempatnya berbeda maka tidak harus mengikuti.

Pendapat ini merupakan pendapat yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah , beliau berdalih dengan firman Allah, yang artinya, “Maka barangsiapa di antara kamu melihat bulan maka hendaklah ia berpuasa”, dan sabda Nabi Shalallaahu alaihi wasalam : “Jika kalian melihatnya (hilal) maka berpuasalah dan jika kalian melihat (hilal) maka berbukalah.”. Dalilnya sama dengan pendapat pertama yang mengambil keumuman makna dalil ini, yaitu mereka yang berpendapat keumuman wajibnya hukum hilal, hanya saja segi istidlalnya Ibnu Taimiyah dalam ayat dan hadits ini berbeda. Yaitu, bahwa hukumnya itu berkaitan dengan saksi dan yang melihat. Ini berarti, bahwa barangsiapa yang belum menyaksikan dan belum meihatnya maka tidak termasuk hukumnya. Berdasarkan ini, maka jika tempat munculnya bulan berbeda, maka hukum melihat hilal itu tidak bersifat umum.

Demikian, tidak diragukan lagi bahwa alasan ini cukup kuat dalam berdalih dan diperkuat oleh pandangan dan kias.

[Sumber: “Fatawa Ash-Shiyam” karya Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin]