Ada tiga dasar yang menjadi pegangan Ahlus Sunnah dalam berilmu dan beragama, yaitu al-Qur`an, sunnah dan Ijma’.

Dua dasar yang pertama, yaitu al-Qur`an dan sunnah merupakan dasar dari segi dirinya sendiri, adapun yang ketiga yaitu ijma’ maka ia berpijak kepada dua sebelumnya, tidak ada ijma’ kecuali ia berpijak kepada al-Qur`an dan sunnah.

Mengenai al-Qur’an dan Sunnah sebagai dasar rujukan maka dalilnya banyak di antaranya,

Firman Allah, “Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya).â€‌ (An-Nisa’: 59).

FirmanNya Ta’ala, “Dan taatlah kamu kepada Allah dan taatlah kamu kepada Rasul(Nya).â€‌ (Al-Maidah: 92).

FirmanNya Ta’ala, “Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah.â€‌ (Al-Hasyr: 7).

Dan firmanNya Ta’ala, “Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah mentaati Allah.â€‌ (An-Nisa’: 80).

Barangsiapa mengingkari Sunnah sebagai dalil maka dia pun mengingkari al-Qur’an sebagai dalil. Kami tidak ragu bahwa barangsiapa berkata: Sunnah bukanlah rujukan dalam hukum syar’i maka dia adalah murtad dari Islam karena dia mendustakan dan mengingkari al-Qur’an, di mana al-Qur’an telah menyatakan tidak di satu tempat bahwa Sunnah adalah dalil yang wajib dirujuk.

Adapun tentang ijma’ maka sebagian ulama berkata: Tiada ijma’ kecuali dalam perkara yang ada nashnya, dalam kondisi ini cukuplah nash sebagai dalil bukan ijma’.

Kalau ada yang berkata: Para ulama berijma’ bahwa shalat fardhu ada lima. Ini benar akan tetapi ia ditetapkan oleh nash. Para ulama berijma’, zina diharamkan, ini benar tetapi pengharaman zina ditetapkan oleh nash. Para ulama berijma’ diharamkannya nikah dengan wanita mahram. Ini benar tetapi pengharamannya ditetapkan oleh nash. Imam Ahmad berkata, “Siapa yang mengklaim ijma’ maka dia berdusta. Siapa tahu mereka berbeda pendapat.â€‌

Akan tetapi pendapat yang terkenal di kalangan ulama adalah bahwa ijma’ itu ada, bahwa ia sebagai dalil ditetapkannya oleh al-Qur’an dan Sunnah.

Di antaranya firman Allah, “Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya).â€‌ (An-Nisa: 59).

Perintah mengembalikan apa yang diperselisihkan kepada Allah dan RasulNya menunjukkan bahwa apa yang kita sepakati tidak harus dikembalikan kepada keduanya karena cukup dengan ijma’.

Di antaranya adalah firman Allah, “Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang Mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.â€‌ (An-Nisa’: 115). Titik pengambilan dalilnya adalah “Mengikuti jalan selain jalan orang-orang beriman.â€‌

Nabi saw bersabda, “Umatku tidak bersepakat di atas kesesatan.â€‌ Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dan Ibnu Majah.

Jumhur umat berpendapat bahwa ijma’ adalah dalil independen, dan kalau kita mendapatkan masalah yang terdapat ijma’ padanya maka kita menetapkannya dengan ijma’.

Ahlus Sunnah wal Jamaah menimbang dengan ketiga dasar ini segala perkataan dan perbuatan manusia lahir dan batin. Mereka tidak menyatakannya benar kecuali jika mereka sudah menimbangnya dengan ketiganya. Jika sejalan dengannya maka ia benar. Jika sebaliknya maka ia batil.

Dan ijma’ yang sejalan dengan dasar-dasar syariat adalah ijma’ Salafus Shalih tiga abad yang pertama, sahabat, tabiin dan tabiut tabiin, hal ini karena sesudah mereka terjadi banyak perbedaan, umat telah bertebaran dan muncul aliran-aliran hawa nafsu, manusia telah terpecah menjadi kelompok-kelompok dimana tidak semua kolompok tersebut menginginkan kebenaran, maka akibatnya adalah lahirnya perbedaan pendapat dan beragam aliran.

Dari Syarh al-Aqidah al-Wasithiyah, Syaikh Ibnu Utsaimin.