Pertanyaan:

Saya membaca hadits bahwa Nabi Muhammad shallallahu’alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya Allah menggugurkan (kewajiban berpuasa) bagi wanita hamil dan menyusui.” Apakah ini berarti puasa tidak wajib bagi keduanya, baik merasa berat ataupun tidak?

Jawaban:

Segala puji hanya milik Allah semata.

Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud (2408) Tirmizi (715) nasa’i (2315) dan Ibnu Majah (1667), Nabi shallallahu’alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya Allah menggugurkan setengah shalat dan puasa bagi musafir, dan juga wanita hamil atau menyusui.” [Dishahihkan Al-Albany dalam Shahih Abu Dawud.]

Hadits ini bersifat umum bagi semua wanita hamil. Akan tetapi para ulama memberikan batasan apabila memberatkan, sebagai pengamalan dari ‘illat (alasan syar’i) sehingga ketentuan ini ditetapkan syariat, yaitu ketentuan dibolehkannya berbuka bagi wanita hamil.

Mirip dengan masalah ini adalah keumuman sakit dalam ayat puasa, Artinya, “Barangsiapa yang sakit atau dalam safar maka dia menggantikan ( puasa ) dihari lain.” (Qs. al-Baqarah: 185)

Hal ini berlaku untuk semua orang yang sakit meskipun penyakitnya sangat ringan. Memahami ayat ini secara umum dan diamalkan sebagian ulama salaf seperti Atha. Bukhori juga mengambil pendapat ini. Akan tetapi kebanyakan ulama tidak setuju dengan pandangan tersebut. Di antaranya ulama empat madzhab. Mereka memberikan batasan dengan adanya kesulitan. Karena mengamalkan sebab (illat) yang menjadi alasan ketentuan syariat tersebut.

Telah ada nash-nash dari para ulama berkaitan dengan batasan ini, bahkan para ulama’ bersepakat tentang masalah ini yang nanti kita akan bahas.

Pertama: Kita katakan dari ulama’ Salaf.

Abu Dawud meriwayatkan (2318) dari Ibnu Abbas berkaitan dengan firman Allah:

وَعَلَى الَّذِيْنَ يُطِيْقُوْنَهُ فِدْيَةُ طَعَامُ مِسْكِيْن

Beliau berkata: “Ayat ini merupakan keringan bagi orang tua renta baik laki-laki maupun perempuan, apabila keduanya merasa berat berpuasa, maka mereka boleh berbuka dan menggantikannya dengan memberi makan satu orang miskin untuk satu hari. Begitu juga untuk wanita hamil atau menyusui kalau keduanya khawatir.” An-Nawawi berkata: “Sanadnya hasan.”

Ibnu Abbas radhiallahu’anhuma memberi batasan bolehnya wanita hamil dan menyusui untuk berbuka dengan adanya kekhawatiran. Apakah kekhwatirannya terhadap dirinya atau anaknya, beliau mengungkapkannya secara umum.

Diriwayatkan Imam syafi’i dalam kitab “Al-Umm” beliau berkata: “Kami diberitahukan oleh Malik dari Nafi’, sesungguhnya Ibnu Umar ditanya tentang wanita hamil ketika khawatir terhadap anaknya, beliau menjawab: “Dia boleh berbuka dan memberi makan pengganti hari dia berbuka kapada orang miskin satu mud gandum.”

Imam Bukhari rahimahullah berkata: “Bab tentang firman Allah:

أَيَّامًا مَعْدُوْدَات

Hasan dan Ibrahim berkata berkaitan dengan ibu menyusui atau hamil ketika dia khawatir terhadap dirinya atau anaknya. Dia boleh berbuka dan mengqadhanya.

Jadi batasan ini telah ada dari ulama’ salaf seperti Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Hasan dan An-Nakho’i

Kedua: Madzhab para ulama’

Mereka juga bersepakat dengan batasan ini

Pertama: Madzhab Hanafi

Al-Jassas berkata dalam kitab Ahkamul Qur’an (1/244) setelah menyebutkan sabda Nabi shallallahu’alaihi wasallam:
“Sesungguhnya Allah menggugurkan separuh shalat dan puasa bagi musafir, juga bagi wanita hamil dan menyusui”

Dia berkata: Telah diketahui bahwa keringanan bagi keduanya –yaitu wanita hamil dan menyusui– dikaitkan adanya kekhawatiran terjadi bahaya terhadap dirinya atau anaknya.

Beliau juga berkata (1/252): Wanita hamil dan menyusui tidak sepi dari bahaya apabila berpuasa, baik terhadap dirinya maupun anaknya. Apa saja kekhawatirannya, berbuka lebih baik baginya, bahkan berpuasa dilarang bagi keduanya. Akan tetapi jika tidak ada dampaknya sama sekali, maka dia harus berpuasa dan tidak dibolehkan berbuka.

Dikatakan dalam kitab “Bahrur Raiq” (2/308): “…Dan wanita hamil atau menyusui kalau keduanya khawatir terhadap anaknya atau jiwanya..”

Maksudnya adalah bahwa keduanya boleh berbuka untuk menghindari kesulitan. Batasan kekhawatiran adalah kemungkinan besarnya. Karena kalau sekiranya tidak khawatir, maka tidak diberi keringanan untuk berbuka.

Kedua: Madzhab Maliki

Dikatakan dalam kitab “Mukhtasor Kholil” (2/262): “Wanita hamil apabila dia khawatir terhadap keselamatan jiwa anaknya atau merasa sangat berat, maka dia wajib berbuka. Kalau khawatir mengalami sakit, maka dia dibolehkan berbuka menurut pegangan madzhab. Pendapat lain mengatakan bahwa dia wajib berbuka ketika khawatir mengalami sakit. Begitu juga ibu yang menyusui, kalau khawatir keselamatan jiwa anaknya atau dia merasa sangat lemah, maka dia wajib berbuka. Kalau hanya khawatir terserang penyakit maka dibolehkan baginya berbuka. Hal ini disyaratkan kalau anak tersebut bersedia menyusui kecuali kepada ibunya. Kalau masih menerima selain ibunya, maka dia harus (wajib) berpuasa.

Ketiga : Madzhab Syafi’i

Imam Syafi’i berkata dalam kitab Al-Umm: “Wanita hamil jika khawatir terhadap anaknya, maka dia boleh berbuka. Begitu juga wanita menyusui kalau susunya berdampak terhadap kesehatan anaknya. Kalau cuma sekedar kemungkinan saja, maka dia harus tetap berpuasa. Kadangkala berpuasa ada kemungkinan susunya berkurang, kalau sekiranya dampaknya terasa sekali, maka dia boleh berbuka.”

Imam Nawawi berkata di kitab Al-Majmu’ (6/274): “Ulama dalam mazhab kami berkata: ‘Wanita hamil dan menyusui kalau dia berpuasa khawatir terhadap dirinya, maka dia berbuka dan mengqadhanya. Tidak perlu membayar fidyah seperti orang sakit. Semua ini tidak ada perselisihan. Begitu juga kalau keduanya khawatir terhadap diri dan anaknya, tidak ada perbedaan. Pendapat ini dikemukakan oleh Ad-Darimy, As-Sarkhosy dan lainnya. Kalau keduanya khawatir terhadap anaknya saja tanpa kekhawatiran terhadap diri mereka, maka dia berbuka dan mengqadhanya, tanpa ada perbedaan.. dan seterusnya.

Keempat: Madzhab Hambali

Ibnu Muflih berkata di kitab Al-Furu’ (3/35): “Dimakruhkan berpuasa bagi orang hamil dan menyusui kalau dikhawatirkan terhadap jiwanya atau anaknya…”

Ibnu Uqail menyebutkan: “Kalau wanita hamil takut akan kehamilannya dan wanita menyusui takut terhadap anaknya, maka dia tidak dihalalkan berpuasa dan dia membayar fidyah. Kalau dia tidak takut maka tidak boleh berbuka.”

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata di kitab Majmu’ Fatawa (25/218):

Kalau orang hamil takut terhadap janinnya maka dia berbuka .. dan seterusnya.

Kelima : Madzhab Zahiri

Ibnu Hazam berkata dalam kitab Al-Muhalla (4/411)

Wanita hamil dan menyusui, orang tua renta, semuanya mendapatkan perintah kewajiban untuk melaksanakan puasa Ramadhan. Kalau wanita menyusui khawatir terhadap anaknya yang sedang disusui, baik karena khawatir air susunya keluar sedikit, atau khawatir mencelakakknya dan tidak ada orang yang dapat menggantikannya atau sang bayi tidak bersedia menyusu melainkan hanya kepadanya. Atau wanita hamil takut terhadap janinnya dan orang tua rentah sudah lemah, maka mereka semua boleh berbuka.. dan seterusnya.

Dalam buku Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah (28/55)

Para ahli fiqih bersepakat bahwa wanita hamil dan menyusui keduanya boleh berbuka puasa dengan syarat khawatir terhadap jiwa atau anaknya terkena penyakit atau bertambah sakit atau binasa. Karena anak bagi wanita hamil bagaikan anggota tubuh, rasa kasih sayang terhadapnya sama dengan rasa kasih sayang pada anggota tubuh lainnya.

Asy-Syaukani berkata dalam An-Nailul Authar (4/273) berkaitan dengan meninggalkan puasa bagi wanita hamil dan menyusui: “Hadits ini menunjukkan dibolehkannya berbuka bagi wanita hamil dan menyusui. Para ulama fiqih berpendapat kalau wanita yang menyusui takut terhadap anaknya dan orang hamil takut terhadap janinnya, maka dia harus berbuka.”

Fatwa Lajnah Daimah (10/226)

Adapun wanita hamil dia harus berpuasa, kecuali kalau dia khawatir dengan berpuasa berdampak negatif terhadap jiwa atau janinnya. Maka dia diberi keringanan berbuka dan mengqadhanya setelah melahirkan dan nifasnya selesai.” Lihat Pertanyaan no. 50005.

Ini pernyataan para ulama yang menegaskan bahwa wanita hamil dan menyusui tidak boleh berbuka selama tidak memberatkan dirinya.

Wallahu’alam

[Sumber: Soal Jawab Tentang Islam di www.islamqa.com]