Pertanyaan:

Assalamu’alaikum wa Rahmatullaahi wa Barakaatuh.

Dalam sebuah obrolan di YM, ada seorang teman menanyakan apakah ada dalil yang shahih tentang disyari’atkannya/disunnahkannya Puasa 10 Hari Pertama Bulan Dzulhijjah secara khusus?

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullaahi wa Barakaatuh.

Dari Kami,
Abu Aefa’ Imtiyazi

Jawaban:

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullaahi wa Barakaatuh.

Alhamdulillah, untuk menjawab pertanyaan tersebut lebih lengkap dan jelas, kami nukilkan pendapat Syaikh Usamah Abdul Aziz dalam masalah ini, dengan harapan semoga bermanfaat bagi semua pembaca/pengunjung situs www.alsofwah.or.id sebagai berikut:

Disunnahkan melakukan puasa pada sepuluh hari pertama dari bulan Dzulhijjah sebagaimana yang diriwayatkan Ibnu Abbas radiyallohu ‘anhu bahwa Rasulullah bersabda,

مَا الْعَمَلُ فيِ أَيَّامٍ أَفْضَلُ مِنْهَا فيِ هذَا الْعَشْرِ، قَالُوْا وَلاَ الْجِهَادُ؟ قَالَ: وَلاَ الْجِهَادُ إِلاَّ رَجُلٌ خَرَجَ يُخَاطِرُ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ فَلَمْ يَرْجِعْ بِشَيْءٍ

“Tidak ada amal yang dilakukan pada hari-hari lain yang lebih baik daripada yang dilakukan pada sepuluh hari ini.” Para sahabat bertanya, “Tidak pula jihad?” Beliau menjawab, “Tidak pula jihad, kecuali seorang lelaki yang keluar dengan jiwa dan hartanya lalu ia tidak kembali dengan membawa apapun.” [H.R. al-Bukhari (969). An-Nawawi berkata dalam Syarh Muslim (3/251), “Yang dimaksud dengan sepuluh hari di sini adalah sembilan hari pertama dari bulan Dzulhijjah]

Sementara lafadz at-Tirmidzi berbunyi,

مَا مِنْ أَيَّامِ الْعَمَلِ الصَّالِحِ فِيْهِنَّ أَحَبُّ إِلَى اللهِ مِنْ هذِهِ الْأَيَّامِ الْعَشْرِ، فَقَالُوْا يَا رَسُوْلَ اللهِ وَلاَ الْجِهَادُ فيِ سَبِيْلِ اللهِ؟ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ :وَلاَ الْجِهَادُ فيِ سَبِيْلِ اللهِ إِلاَّ رَجُلٌ خَرَجَ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ فَلَمْ يَرْجِعْ مِنْ ذلِكَ بِشَيْءٍ

“Tidak ada hari-hari yang beramal shalih pada hari itu lebih Allah cintai daripada amal shalih yang dilakukan pada sepuluh hari ini.” Para sahabat bertanya, “Tidak pula jihad di jalan Allah?” Beliau menjawab, “Tidak pula jihad di jalan Allah kecuali seorang lelaki yang keluar dengan jiwa dan hartanya lalu ia tidak kembali dengan membawa apapun.”

Pendapat Para Ulama

Pendapat ath-Thahawi dalam Musykil al-Atsar (7/419),“Dan sesungguhnya berpuasa pada hari-hari itu memiliki keutamaan tersendiri sebagaimana yang dijelaskan dalam hadits-hadits yang telah kami sebutkan. Dan hal itu tidak menghalangi orang untuk berpuasa pada hari-hari tersebut, apalagi bagi yang mampu menyatukan antara puasa dan amal lain yang dapat mendekatkanya kepada Allah. Hanya kepada Allah kami memohon taufik.”

Al-Qadhi Iyadh berkata dalam al-I’lam (hal. 86) di bawah bab puasa sunnah, “Dan (disunnahkan bepuasa) pada hari kesepuluh pertama dari bulan Dzulhijjah dan hari Arafah.”

An-Nawawi berkata dalam Syarh Muslim (3/251),“Tidak dimakruhkan berpuasa pada sembilan hari ini, bahkan ia sangat disunnahkan, terutama hari kesembilannya, yakni hari Arafah.”

Al-Mardawi berkata dalam al-Inshaf (3/345),“Disunnahkan berpuasa pada sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah tanpa ada perbedaan dan yang paling utama adalah hari kesembilan, yakni hari Arafah, kemudian hari kedelapan, yakni hari Tarwiyah. Inilah madzhab kami dan pendapat para sahabat kami.”

Ibnu Hazm berkata dalam al-Muhalla (7/19),“Kami menyunnahkan berpuasa pada sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah sebelum hari korban (tanggal 10) berdasarkan hadits yang kami riwayatkan (ia lalu meriwayatkan hadits Ibnu Abbas dengan sanadnya).”

Ibnu Hazm berkata lagi, “Itu adalah sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah. Berpuasa adalah amal yang baik dan puasa hari Arafah sudah termasuk di dalamnya juga.”

Hadits-hadits yang menjelaskan tentang perbuatan Nabi dalam masalah ini,

Dari Aisyah ia berkata,

مَا رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَائِمًا فيِ الْعَشْرِ قَطُّ

“Aku tidak pernah melihat Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam berpuasa pada sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah.” [H.R. Muslim (1176)]

Dari Hafshah, ia berkata,

أَرْبَعٌ لَمْ يَكُنْ يَدَعُهُنَّ النَّبِيُّ : صِيَامَ عَاشُوْرَاءَ وَالْعَشْرَ وَثَلاَثَةَ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ، وَرَكْعَتَيْنِ قَبْلَ الْغَدَاةِ

“Ada empat hal yang tidak pernah ditinggal Nabi shallallohu ‘alaihi wasallam ; puasa pada hari Asyura’ (tanggal 10 Muharram), puasa pada sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah, puasa tiga hari setiap bulan dan shalat dua rakaat sebelum shalat Subuh.” [Hadits ini dha’if dan dikeluarkan oleh an-Nasa’i (2371, 2416, 2417); Abu Daud (2437); Ahmad (5/271) (6/288, 423) melalui jalan Abu Awanah dari al-Har bin ash-Shayyah dari Hunaidah bin Khalid al-Khuza’i]

Pendapat an-Nawawi dalam mengkompromi antara dua hadits ini dalam al-Majmu'(6/387),

Dari Hunaid bin Khalid dari istrinya dari salah seorang istri Nabi, ia berkata,

كَانَ رَسُوْلُ اللهِ يَصُوْمُ تِسْعَ ذِي الْحِجَّةِ وَيَوْمَ عَاشُوْرَاءَ وَثَلاَثَةَ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ وَأَوَّلَ اثْنَيْنِ مِنَ الشَّهْرِ وَالْخَمِيْسَ

“Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam selalu berpuasa sembilan hari bulan Dzulhijjah, hari Asyura’, tiga hari setiap bulan, Senin pertama setiap bulan dan hari Kamis.” (H.R. Abu Daud, Ahmad, an-Nasa’i dan keduanya berkata, “dan dua Kamis.”)

Sementara itu Aisyah berkata,

مَا رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَائِمًا فِي الْعَشْرِ قَطُّ

“Aku tidak pernah melihat Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam berpuasa pada sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah.” (H.R. Muslim dalam Shahihnya).

Ulama mengomentari hadits ini, “Pemahaman hadits adalah bahwa Aisyah tidak melihat Rasulullah berpuasa dan itu tidak berarti beliau tidak melakukannya. Sebab beliau bersamanya sehari dalam sembilan hari dan selebihnya bersama istri-istrinya yang lain. Atau mungkin Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam kadang berpuasa beberapa hari, kadang berpuasa semua hari dan kadang pula tidak berpuasa sama sekali karena ada halangan, seperti dalam perjalanan, sakit atau lainnya.”

Dengan demikian hadist-hadits ini dapat dikompromikan.

Komentar Ibnul Qayyim dalam Zadul Ma’ad (2/65), Adapun puasa sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah masih menjadi perbedaan pendapat. Aisyah mengatakan, “Aku tidak pernah melihat Rasulullah berpuasa pada sepuluh hari pertama bulan Dzul-hijjah.” Hadits ini diriwayatkan oleh Muslim. Sementara Hafshah mengatakan, “Ada empat hal yang tidak pernah ditinggalkan Nabi, yaitu puasa hari Asyura’, puasa sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah, puasa tiga hari setiap bulan dan dua rakaat sunnah Fajar.” [Hadits ini disebutkan oleh Imam Ahmad 5].

Imam Ahmad menyebutkan juga dari sebagian istri Nabi bahwa “Rasulullah berpuasa sembilan hari bulan Dzulhijjah, hari Asyura, tiga hari setiap bulan, atau hari Senin tiap bulan dan hari Kamis.” Dan lafal lain, “Dua hari Kamis.”

Riwayat yang menetapkan didahulukan dari riwayat yang menafikan selama riwayat tersebut shahih.

Saya katakan:
Ini adalah catatan penting yang dikemukakan Ibnul Qayyim, yaitu tentang keshahihan dalil jika ingin menggabungkan semua dalil. Sebab penggabungan tersebut tidak dapat dilakukan kecuali semua dalil memiliki derajat yang sama. Sementara bila salah satu dari kedua dalil lemah, maka tidak mungkin dikompromikan antara yang shahih dengan yang lemah. Maka yang shahihlah yang harus diamalkan dan yang lemah ditinggalkan.

Dengan demikian maka yang benar (yang shahih) dalam masalah ini adalah hadits riwayat Aisyah bahwa Nabi shallallohu ‘alaihi wasallam tidak pernah melakukan puasa sepuluh hari bulan Dzulhijjah.

Namun demikian ada sebuah problem yang muncul, yaitu bagaimana puasa sepuluh hari ini disunnahkan sementara Nabi tidak pernah melakukannya?

Berikut jawaban yang dikemukakan para ulama:

Jawaban an-Nawawi dalam Syarh Muslim (3/251) setelah membawakan hadits Aisyah,

Ulama mengatakan, “Hadits ini mengindikasikan makruhnya puasa sepuluh hari, dan yang dimaksud dengan sepuluh hari adalah sembilan hari pertama bulan Dzulhijjah.” Mereka mengatakan, “Ini adalah hadits yang perlu ditakwilkan bahwa puasa sepuluh hari tidak dimakruhkan, bahkan sangat disunnahkan, utamanya tanggal sembilan, yakni hari Arafah.” Hadits-hadits tentang keutamaanya telah dikemukakan dan di dalam Shahih al-Bukhari disebutkan bahwa Rasulullah bersabda,

مَا مِنْ أَيَّامِ الْعَمَلِ الصَّالِحِ فِيْهَا أَفْضَلُ مِنْهُ فيِ هذِهِ

“Tidak ada hari-hari yang beramal shalih pada hari itu lebih baik dari-pada yang dilakukan pada hari-hari ini.” Yakni sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah.

Maka hadits yang berbunyi, “Rasulullah tidak melakukan puasa sepuluh hari.” Adalah tidak melakukannya karena ada halangan, seperti sakit, atau dalam perjalanan, atau lainnya. Atau ditakwilkan (ditafsirkan) bahwa Aisyah tidak pernah melihat Rasulullah berpuasa dan itu tidak berarti beliau tidak melakukannya (hanya Aisyah tidak mengetahuinya).

Jawaban Ibnu Hajar dalam Fath al-Bari (2/534) setelah meriwayatkan hadits Ibnu Abbas yang lalu,

Hadits ini menjadi dalil keutamaan puasa sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah karena puasa termasuk amal shalih. Namun hadits ini menjadi sulit dimengerti karena puasa pada hari raya diharamkan. Jawabannya adalah bahwa itu dipahami secara global. Hadits ini juga tidak dapat dibantah dengan hadits riwayat Abu Daud dan lainnya dari Aisyah yang mengatakan, “Saya tidak pernah melihat Rasululullah shallallohu ‘alaihi wasallam melakukan puasa sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah.” Sebab mungkin Rasulullah memang sengaja tidak melakukannya karena khawatir akan diwajibkan atas umatnya sebagaimana yang diriwayatkan al-Bukhari dan Muslim dari Aisyah juga.

Jawaban ath-Thahawi dalam Musykil al-Atsar (7/418),

Bisa saja Rasulullah tidak melakukan puasa pada sepuluh hari itu seperti dikatakan Aisyah karena jika beliau puasa, beliau akan merasa lemah untuk melakukan amal yang lebih agung kedudukannya dan lebih utama dari puasa, yaitu shalat, berzikir kepada Allah dan membaca al-Qur’an. Hal itu sebagaimana yang diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud yang memilih ibadah yang sesuai untuk dirinya.

Ibrahim bin Marzuq menceritakan kepada kami bahwa ia berkata, Ruh bin Ubadah dan Wahab bin Jarir menceritakan kepada kami. Mereka berkata, Syu’bah menceritakan kepada kami dari Abi Ishaq dari Abdurrahman bin Yazid bahwa Abdullah bin Abbas hampir tidak melakukan puasa. Bila puasa dia hanya berpuasa tiga hari setiap bulan dan dia berkata, “Jika aku puasa aku merasa tidak mampu untuk melakukan shalat, sedang shalat lebih aku sukai dari puasa.”(Sanadnya shahih.)

Dengan demikian apa yang dikatakan Aisyah bahwa Rasulullah tidak melakukan puasa pada hari-hari tersebut karena beliau sibuk dengan ibadah yang lebih utama dari puasa. Walaupun puasa sendiri pada hari itu memiliki keutamaan besar sebagaimana riwayat yang telah kami kemukakan. Kemudian tidak mengapa orang ingin melakukan puasa pada hari-hari itu, apalagi bagi yang mampu menggabungkan antara puasa dan amal ibadah yang lain dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah. Hanya kepada Allah kami memohon taufik.

PUASA HARI ARAFAH

Disunnahkan berpuasa pada hari Arafah bagi selain orang yang melakukan haji berdasarkan hadits riwayat Abu Qatadah bahwa Rasulullah bersabda,

صِيَامُ يَوْمِ عَرَفَةَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِيْ قَبْلَهَا وَالسَّنَةَ الَّتِيْ بَعْدَهَا

“Berpuasa pada hari Arafah aku mengharap Allah menghapus dosa-dosa pada tahun lalu dan dosa-dosa pada tahun yang akan datang.” [H.R. Muslim (116)]

Aisyah berkata,

مَا مِنَ السَّنَةِ يَوْمٌ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ أَنْ أَصُوْمَ مِنْ يَوْمِ عَرَفَةَ

“Tidak ada hari dalam setahun yang lebih aku sukai untuk berpuasa pada hari itu daripada hari Arafah.” (Hadits Hasan dikeluarkan oleh ath-Thabari dalam Tahdzib al-Atsar (1/No. 600, 691 – Musnad Umar) melalui jalan Abi Qais Abdurrahman bin Tsauran dari Hudzail bin Syarahbil dari Masruq dari Aisyah.)

Imam an-Nawawi berkata dalam al-Majmu’ (6/381), Sabda Nabi mengenai hari Arafah bahwa “Ia dapat menghapus dosa-dosa di tahun yang lalu dan tahun yang akan datang.” Dikemukakan oleh al-Mawardi dalam al-Hawi bahwa hadits ini memiliki dua penafsiran:

Pertama, Allah menghapus dosa-dosa yang dilakukan seseorang selama dua tahun.
Kedua, Allah menjaga seseorang dari melakukan dosa selama dua tahun, sehingga selama masa itu ia tidak akan bermaksiat.

As-Sarkhasi berkata, “Adapun pada tahun pertama, maka semua dosa yang dilakukan pada masa itu akan dihapus.” Selanjutnya ia mengatakan, “Sementara itu ulama berbeda pendapat dalam memahami makna penghapusan dosa pada tahun yang akan datang. Sebagian mengatakan, ‘Jika seseorang melakukan maksiat pada tahun itu, maka Allah akan menjadikan puasa hari Arafah yang lalu sebagai penghapusnya, sebagaimana ia menjadi penghapus dosa-dosa di tahun sebelumnya.’ Sebagian lagi mengatakan, ‘Allah menjaganya dari melakukan dosa-dosa di tahun depan.'”

Penulis al-Uddah mengatakan bahwa penghapusan dosa-dosa pada tahun depan memiliki dua makna:

Pertama, maksudnya adalah tahun yang lalu. Sehingga maknanya adalah bahwa puasa itu menghapus dosa-dosa yang dilakukan pada dua tahun yang lalu.
Kedua, maksudnya memang menghapus dosa-dosa di tahun yang lalu dan tahun yang akan datang.

Dia juga berkata, “Tidak ada ibadah yang sama dengannya yang dapat menghapus dosa-dosa di masa yang akan datang. Ini hanya ada pada diri Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam secara khusus, di mana Allah telah mengampuni kesalahannya yang lalu dan akan datang berdasarkan nash al-Qur’an.”

Imam al-Haramain telah menyebutkan dua makna ini. Ia berkata, “Semua hadits-hadits yang menerangkan tentang penghapusan dosa, menurut saya berlaku pada dosa-dosa kecil dan bukan dosa besar.” Inilah pendapatnya yang didukung oleh hadits shahih. Di antaranya hadits Utsman yang mengatakan,

سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ يَقُوْلُ: مَا مِنَ امْرِئٍ مُسْلِمٍ تَحْضُرُهُ صَلاَةٌ مَكْتُوْبَةٌ، فَيُحْسِنُ وُضُوْءَ هَا وَخُشُوْعَهَا وَرُكُوْعَهَا إِلاَّ كَانَتْ لَهُ كَفَّارَةً لِمَا قَبْلَهَا مِنَ الذُّنُوْبِ، مَالَمْ يُؤْتِ كَبِيْرَةً، وَذلِكَ الدَّهْرُ كُلُّهُ

“Aku mendengar Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Apabila telah tiba bagi seorang muslim saatnya melakukan shalat wajib, lalu ia memperbaiki wudhunya, kekhusyuannya dan rukuknya maka semua itu akan menghapuskan dosa-dosanya yang lalu, selama ia tidak melakukan dosa besar dan itu berlaku sepanjang masa.'” (H.R. Muslim).

Abu Hurairah berkata bahwasanya Rasulullah bersabda,

الصَّلاَةُ الْخَمْسُ وَالْجُمُعَةُ إِلَى الْجُمُعَةِ كَفَّارَةٌ لِمَا بَيْنَهُنَّ، مَالَمْ تُغْشَ الْكَبَائِرُ

“Shalat lima waktu dan shalat Jum’at yang satu ke shalat Jum’at yang lain akan menghapuskan dosa-dosa di antara keduanya selama dosa besar tidak dilakukan.” (H.R. Muslim).

Abu Hurairah juga berkata bahwa Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam bersabda,

الصَّلَوَاتُ الْخَمْسُ وَالْجُمُعَةُ إِلىَ الْجُمُعَةِ وَرَمَضَانُ إِلَى رَمَضَانَ مُكَفِّرَاتٌ لِمَا بَيْنَهُنَّ مِنَ الذُّنُوْبِ إِذَا اجْتُنِبَتِ الْكَبَائِرُ

“Shalat lima waktu, shalat Jum’at yang satu ke shalat Jum’at yang lain dan Ramadhan yang satu ke Ramadhan yang lain akan menghapuskan kesalahan yang terjadi di antara waktu-waktu itu selama dosa besar dijauhkan.” ( HR. Muslim.)

Saya katakan:
Makna hadits-hadits ini mempunyai dua penafsiran:

Pertama, Amal ibadah tersebut dapat menghapus dosa-dosa kecil selama tidak ada dosa besar. Sedangkan jika ada dosa besar, maka ia tidak dapat menghapus apapun, baik dosa besar maupun dosa kecil.

Kedua, Penafsiran ini yang lebih benar. Yaitu bahwa ibadah-ibadah tersebut dapat menghapus semua dosa kecil (tanpa disyaratkan tidak adanya dosa besar). Jadi pengertian hadits itu adalah, “Ibadah tersebut dapat menghapus semua dosa seseorang kecuali dosa besarnya.”

Qadhi Iyadh berkata, “Apa yang dijelaskan dalam hadits-hadits ini tentang penghapusan dosa-dosa kecil tanpa dosa-dosa besar merupakan pendapat Ahli Sunnah. Sedangkan dosa-dosa besar hanya dapat dihapus dengan taubat atau rahmat Allah.”

Ada sebuah pertanyaan yang muncul, yaitu bahwa di dalam hadits ini terdapat redaksi seperti itu dan di dalam hadits-hadits shahih yang lain terdapat redaksi yang semakna. Maka bila wudhu telah menghapus dosa, dosa apa yang akan dihapus shalat? Bila shalat lima waktu menghapus dosa-dosa, dosa yang mana lagi yang dihapus oleh shalat berjamaah? Begitu pula dengan puasa Ramadhan, puasa hari Arafah yang menghapus dosa selama dua tahun, puasa hari Asyura yang menghapus dosa selama setahun dan ucapan aminnya makmum yang bersamaan dengan ucapan aminnya Malaikat akan menghapus dosa yang lalu?

Jawabannya adalah – sebagaimana yang dikemukakan para ulama– bahwa semua ibadah ini bisa menghapus dosa. Bila didapat dosa yang bisa dihapus, yakni dosa kecil, maka ia akan menghapusnya. Sedangkan bila tidak ada dosa kecil dan dosa besar, maka akan dituliskan untuknya satu kebaikan dan diangkat satu derajat. Hal itu seperti shalat para nabi, kaum yang shalih, anak-anak kecil, puasa, wudhu dan ibadah mereka. Bila ada dosa besar dan tidak ada dosa kecil, maka kita berharap semua itu dapat meringankan dosa-dosa besar.

Tidak disunnahkan puasa hari Arafah di Arafah
Salah satu tuntunan Nabi dan Khulafa’ ar-Rasyidin adalah berbuka (tidak berpuasa) pada hari Arafah di tanah Arafah.[ Diriwayatkan dari Rasulullah bahwa beliau melarang puasa hari Arafah di tanah Arafah. Riwayat ini tidak shahih, tetapi dhaif dan dikeluarkan oleh Abu Daud (2440); an-Nasa’i dalam al-Kubra (2/No. 2830, 2831); Ibnu Majah (1732); Ahmad (2/304, 446); Ibnu Khuzaimah (2101); ath-Thahawi dalam Syarh al-Ma’ani (2/72); al-‘Uqaili dalam adh-Dhu’afa al-Kabir (1/298); ath-Thabrani dalam Mu’jam al-Awsath (2577); al-Hakim dalam al-Mustadrak (1/434); al-Baihaqi dalam as-Sunan al-Kubra (4/284), (5/117) Semuanya melalui jalan Hausyab bin Uqail dari Mahdi al-Hajri dari Ikrimah, ia berkata, “Aku mendatangi Abu Hurairah di rumahnya, lalu aku bertanya kepadanya tentang puasa hari Arafah di Arafah.” Beliau menjawab bahwa “Rasulullah shallallohu ‘alaihi wallam melarang berpuasa pada hari Arafah di tanah Arafah.” Banyak perawi yang meriwayatkan dari Hausyab, di antaranya Abdurrahman al-Mahdi, Waki’, Sulaiman bin Harb dan ath-Thayalisi]

Ketika orang-orang ragu tentang puasa Nabi shallallohu ‘alaihi wasallam pada hari Arafah, Maimunah mengirimkan kepadanya wadah berisi susu, lalu sambil berdiri di tempat wuquf beliau meminumnya, sedang para sahabat menyaksikannya.

Hadits-hadits yang menerangkan tentang masalah ini
Maimunah berkata, “Orang-orang ragu tentang puasa Nabi pada hari Arafah, maka aku mengirim wadah berisi susu kepada beliau yang saat itu tengah berwuquf, lalu beliau meminumnya, sedang semua orang menyaksikannya.” [H.R. al-Bukhari (1989) dan Muslim (1124)]

Ummu Fadhal bin al-Harits berkata, “Orang-orang berdebat di dekatnya pada hari Arafah tentang puasa Nabi shallallohu ‘alaihi wasallam Sebagian mengatakan, ‘Beliau puasa.’ Sebagian yang mengatakan, ‘Beliau tidak puasa.’ Lalu aku mengirim wadah berisi susu kepadanya yang tengah wuquf di atas untanya, lalu beliau meminum susu itu.” [H.R. al-Bukhari (1988) dan Muslim (1123)]

Ibnu Umar pernah ditanya tentang puasa hari Arafah di tanah Arafah, lalu dia menjawab,

حَجَجْتُ مَعَ النَّبِيِّ فَلَمْ يَصُمْهُ، وَمَعَ أَبِيْ بَكْرٍ فَلَمْ يَصُمْهُ، وَمَعَ عُمَرَ فَلَمْ يَصُمْهُ، وَمَعَ عُثْمَانَ فَلَمْ يَصُمْهُ، وَأَنَا لاَ أَصُوْمُه، وَلاَ آمُرُ بِصِيَامِهِنَّ وَلاَ أَنْهَى عَنْهُ

“Aku haji bersama Nabi Shallallohu ‘alaihi wasallam dan beliau tidak puasa Arafah, bersama Abu Bakar dan beliau juga tidak puasa Arafah, bersama Umar dan beliau juga tidak puasa Arafah dan bersama Utsman dan beliau juga tidak puasa hari Arafah. Sedangkan saya juga tidak puasa dan tidak menyuruh berpuasa serta tidak melarangnya.” [Sanad hadits ini shahih dan dikeluarkan oleh at-Tirmidzi (751); an-Nasa’i dalam as-Sunan al-Kubra (2/No. 2826); Ahmad (2/47, 50); ad-Darimi (2/23); ath-Thabari dalam Tahdzib al-Atsar (1/No. 581, 582-Musnad Umar); Ibnu Hibban dalam Shahihnya (3604); al-Baghawi dalam Syarh as-Sunnah (1792)]

Atsar yang berasal dari para sahabat dan tabi’in

1. Abu Nujaih berkata, “Ibnu Umar pernah ditanya tentang puasa hari Arafah, lalu beliau menjawab,

حَجَجْتُ مَعَ النَّبِيِّ فَلَمْ يَصُمْهُ، وَمَعَ أَبِيْ بَكْرٍ فَلَمْ يَصُمْهُ، وَمَعَ عُمَرَ فَلَمْ يَصُمْهُ، وَمَعَ عُثْمَانَ فَلَمْ يَصُمْهُ، وَأَنَا لاَ أَصُوْمُهُ، وَلاَ آمُرُ بِصِيَامِهِنَّ وَلاَ أَنْهَى عَنْهُ

‘Aku haji bersama Nabi dan beliau tidak puasa Arafah, bersama Abu Bakar dan beliau juga tidak puasa Arafah, bersama Umar dan beliau juga tidak puasa Arafah dan bersama Utsman dan beliau juga tidak puasa hari Arafah. Sedangkan saya juga tidak puasa dan tidak menyuruh berpuasa serta tidak melarangnya.'” [Sanadnya shahih dan telah ditakhrij sebelumnya.]

2. Ubaid bin Umair berkata,

طَافَ عُمَرُ يَوْمَ عَرَفَةَ فِي مَنَازِلِ الْحَاجِّ حَتَّى أَدَّاهُ الْحَرُّ إِلىَ خَبَاءِ قَوْمٍ فَسُقِيَ سَوِيْقًا فَشَرِبَ

“Umar berkeliling pada hari Arafah ke tempat-tempat tinggal orang yang haji, sehingga karena panas ia masuk ke perkemahan suatu kaum, lalu ia diberikan makanan terbuat dari tepung, lalu ia menyantap-nya.” [Riwayat ini shahih dan dikeluarkan oleh Abdurrazzaq (8/78) dari jalan Ibnu Juraij, ia berkata, “Atha’ menyampaikan kepadaku bahwa dia mendengar Ubaid bin Umair berkata.” Lalu ia menyebut riwayat ini]

3. Said bin Jubair berkata,

أَتَيْتُ ابْنَ عَبَّاسٍ وَهُوَ يَأْكُلُ رُمَّانًا بِعَرَفَةَ فَحَدَثَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ أَفْطَرَ بِعَرَفَةَ

“Aku mendatangi Ibnu Abbas yang sedang memakan buah delima di Arafah, lalu ia menceritakan bahwa Rasulullah berbuka di Arafah.” [ Riwayat ini shahih dan dikeluarkan oleh an-Nasa’i dalam al-Kubra (2/No. 2814, 2815); Abdurrazzaq dalam al-Mushannaf (7816); ath-Thabari dalam Tahdzib al-Atsar (1/No. 576, 577, 578-Musnad Umar); al-Fakihi dalam Akhbar Makkah (2772); al-Baihaqi dalam as-Sunan al-Kubra (4/288-289) melalui jalan Ayyub dari Said bin Jubair]

4. Atha berkata bahwa Abdullah bin Abbas mengundang saudaranya Ubaidillah bin Abbas untuk menyantap makanan pada hari Arafah, lalu ia berkata, “Aku sedang puasa.” Ibnu Abbas berkata, “Kalian adalah keluarga Nabi shallallohu ‘alaihi wasallam yang menjadi teladan dan aku telah melihat Nabi shallallohu ‘alaihi wasallam pada hari ini diberi susu lalu beliau meminumnya.” [Riwayat ini shahih dan dikeluarkan oleh an-Nasa’i dalam al-Kubra (2/No. 2821); ath-Thabari dalam Tahdzib al-Atsar (1/No. 567-Musnad Umar) melalui jalan Ibnu Juraij, ia berkata, “Atha’ menyampaikan kepadaku dari Abdullah bin Abbas.”]

5. Atha’ bin Thawus berkata bahwa bapaknya tidak berpuasa pada hari Arafah bila ia dalam perjalanan di tanah Arafah. Namun jika ia sedang tinggal bersama keluarganya ia berpuasa. [Riwayat ini shahih dan dikeluarkan oleh ath-Thabari dalam Tahdzib al-Atsar (1/No. 591-Musnad Umar). Ia bekata, Abu Kuraib menceritakan kepadaku, Waki’ menceritakan kepada kami dari Sufyan.]

6. Waki’ berkata, “Sufyan ats-Atsauri berpendapat tidak ada puasa pada hari Arafah. Dia shalat Zhuhur dan Ashar bersama imam di Arafah, lalu ia kembali ke kendaraannya, lalu makan siang dan kemudian wuquf.” [Riwayat ini shahih dan dikeluarkan oleh Abdurrazzaq (7852) melalui jalan Ma’mar bin Thawus dari bapaknya.]

Sebagian kaum Salaf ada yang memilih puasa daripada berbuka

1. Al-Qasim bin Muhammad berkata, “Aku melihat Aisyah pada sore hari Arafah, saat orang-orang sudah mulai pergi (matahari sudah tenggelam) kemudian ia berhenti sebentar hingga tempat tersebut menjadi sepi. Lalu ia minta dibawakan minuman dan mulai buka puasa.” [Riwayat ini shahih dan dikeluarkan oleh ath-Thabari dalam Tahdzib al-Atsar (1/No. 606-Musnad Umar) melalui jalan Yahya bin Said, ia berkata, “Aku mendengar al-Qasim bin Muhammad berkata…” Ia menyebut hadits ini.]

2. Urwah bin Zubair berkata, “Bapakku tidak pernah berada di Arafah melainkan dia selalu puasa.” [Riwayat ini shahih dan dikeluarkan oleh ath-Thabari dalam Tahdzib al-Atsar (1/No. 604-Musnad Umar) melalui jalan Hisyam bin Urwah dari bapaknya.]

3. Al-Hasan al-Bashri senang berpuasa pada hari Arafah dan ia menganjurkan orang untuk melakukannya. Bahkan al-Hajjaj pun memerintahkan kaum muslim untuk berpuasa. Hasan al-Bashri berkata, “Aku melihat Utsman –Ibnu Abi al-Ash– berpuasa di Arafah pada hari yang sangat panas dan orang-orang melindunginya dari udara panas tersebut.” [Riwayat ini shahih dan dikeluarkan oleh ath-Thabari dalam Tahdzib al-Atsar (1/No. 602-Musnad Umar) dari Muhammad bin Ali bin al-Hasan dari an-Nadhar bin Syumail dari Asy’asy bin Abdul Malik dari al-Hasan. Riwayat Asy’asy diikuti oleh Humaid ath-Thawil sebagaimana yang dikeluarkan oleh ath-Thabari dalam Tahdzib al-Atsar (1/No. 603-Musnad Umar)]

Pendapat Para Ulama
Mayoritas ulama berpendapat sunnah berbuka pada hari Arafah di tanah Arafah berdasarkan riwayat yang shahih dari Nabi shallallohu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya.

Perkataan ath-Thahawi dalam Syarh Musykil al-Atsar (2/73),
Hal itu menunjukkan bahwa dimakruhkannya puasa pada hari Arafah -dalam atsar pertama- karena alasan kesulitan yang berat saat wuquf di Arafah. Ini adalah pendapat Abu Hanifah, Abu Yusuf dan Muhammad asy-Syaibani.

Perkataan an-Nawawi dalam al-Majmu’ (6/380),
Adapun orang yang sedang melakukan haji dan berada di Arafah, maka Imam asy-Syafi’i dan para muridnya mengatakan dalam al-Mukhtashar, “Disunnahkan baginya berbuka.”

Perkataan Ibnu Abdil Bar dalam at-Tamhid (21/158),
Malik, ats-Sauri dan asy-Syafi’i memilih berbuka pada hari Arafah di tanah Arafah.
Ismail meriwayatkan dari Ibnu Abi Uwais dari Malik bahwa ia (Imam Malik) memerintahkan berbuka pada hari Arafah bagi orang yang melakukan haji. Malik mengatakan bahwa Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam berbuka pada hari itu.

Imam asy-Syafi’i berkata, “Saya menyukai puasa hari Arafah dilakukan oleh selain orang yang melakukan haji. Sedangkan orang yang melakukan haji, maka saya lebih menyukainya berbuka agar ia memiliki kekuatan untuk berdoa.”

Perkataan Imam Ahmad [ Syarh al-‘Umdah (2/762)]
Disunnahkan puasa hari Arafah di sini. Sedangkan di tanah Arafah tidak disunnahkan. Para ulama meriwayatkan bahwa Nabi berbuka di tanah Arafah.

Perkataan Ibnu Qayyim dalam Tahdzib as-Sunan (3/322),
Beberapa atsar yang menerangkan tentang larangan puasa hari Arafah di tanah Arafah antara lain adalah:

Pertama, apa yang diriwayatkan an-Nasa’i dari Amr bin Dinar dari Atha dari Ubaid bin Umair bahwa ia berkata, “Umar telah melarang puasa hari Arafah di tanah Arafah.” [Riwayat ini shahih dan dikeluarkan oleh an-Nasa’i dalam al-Kabir (2/No. 2824); ath-Thabari dalam Tahdzib al-Atsar (91/No. 592-Musnad Umar) melalui jalan Amr bin Dinar dari Atha’ dari Ubaid bin Umair, ia berkata, “Umar telah melarang berpuasa pada hari Arafah” (tanpa menyebut di tanah Arafah.)]

Kedua, apa yang diriwayatkan oleh an-Nasa’i juga dari Abi as-Sawar bahwa ia berkata, “Aku bertanya kepada Ibnu Umar tentang puasa hari Arafah dan beliau melarangnya.” Yang dimaksud adalah puasa Arafah di tanah Arafah sesuai hadits yang diriwayatkan oleh Nafi’ bahwa ia berkata, “Ibnu Umar ditanya tentang puasa hari Arafah di tanah Arafah. Lalu ia menjawab, ‘Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam, Abu Bakar, Umar dan Utsman tidak melakukannya.”

Atha’ berkata, “Abdullah bin Abbas mengundang al-Fadhal bin Abbas pada hari Arafah untuk menikmati makanan.” Lalu ia berkata, ‘Saya sedang puasa.’ Abdullah bin Abbas berkata, “Jangan puasa, karena Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam pernah dihidangkan susu pada hari Arafah lalu beliau meminumnya. Maka janganlah puasa, karena orang-orang akan mengikuti jejakmu.” [H.R. an-Nasa’i] . [Riwayat ini shahih dan dikeluarkan oleh an-Nasa’i dalam al-Kabir (2/No. 2822); ath-Thabari dalam Tahdzib al-Atsar (1/No. 564, 565-Musnad Umar) melalui jalan Ibnu Juraij, ia berkata, “Atha’ menceritakan kepada kami.”] Kemudian an-Nasa’i berkata, “Al-Bukhari dan Muslim dalam ash-Shahihain mengeluarkan riwayat dari Kuraib dari Maimunah bin al-Harits bahwa ia mengatakan, ‘Orang-orang ragu tentang puasa Nabi pada hari Arafah, maka aku mengirim wadah berisi susu kepada beliau yang saat itu tengah wuquf, lalu beliau meminumnya, sedang semua orang menyaksikannya.'”

Dikatakan bahwa mungkin Maimunah mengirim satu wadah susu dan Ummu Fadhal juga mengirim satu wadah susu. Masing-masing mengirim satu wadah susu. Atau keduanya bergabung karena mereka bersaudara, lalu mereka bersepakat mengirim satu wadah, lalu dinisbatkanlah pengiriman itu kepada Maimunah, juga kepada Ummu Fadhal.
Diriwayatkan secara shahih bahwa Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam berbuka di tanah Arafah dan dalam riwayat shahih lainnya Rasulullah bersabda bahwa puasa hari Arafah dapat menghapus dosa selama dua tahun.

Namun pendapat yang benar adalah bahwa bagi kaum muslim di seluruh belahan bumi disunnahkan melakukan puasa Arafah. Sedangkan bagi orang-orang yang berada di Arafah disunnahkan berbuka. Karena Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam telah memilih berbuka untuk dirinya dan para Khulafa ar-Rasyidin juga telah berbuka. Dengan berbuka ada kekuatan fisik untuk berdoa yang merupakan ibadah paling utama bagi seorang hamba. Dan hari Arafah adalah hari raya bagi orang-orang yang berada di sana, maka tidak disunnahkan bagi mereka berpuasa.

Sebagian ulama ada yang memilih puasa. Sebagian lagi memilih berbuka. Sebagian yang lain membedakan antara orang yang tidak kuat puasa (dan yang kuat) dan antara yang bisa mendapat manfaat (dan yang tidak mendapat manfaat). Ini adalah pilihan Qatadah. Sedang yang memilih puasa adalah Ibnu Zubair dan Aisyah.

Atha’ berkata, “Saya berpuasa pada hari Arafah di tanah Arafah jika sedang musim dingin dan berbuka jika sedang musim panas.” [Riwayat ini shahih dari Atha’ dan dikeluarkan oleh Abdurrazzaq dalam al-Mushannaf (7822) dari Ibnu Juraij, ia berkata, “Aku bertanya kepada Atha’, ‘Apakah engkau melakukan puasa hari Arafah?'” Ibnu Juraij selanjutnya menyebutkan riwayat ini.]

Sementara itu sebagian kaum Salaf tidak memerintahkan dan tidak pula melarang. Mereka mengatakan, “Siapa yang mau boleh puasa dan siapa yang mau boleh tidak puasa.”

Demikian, semoga bermanfaat. Wallaahu a’lamu bish shawab.[Redaksi]

Wassalamu’alaikum wa Rahmatullaahi wa Barakaatuh.

[Disarikan dari kitab, Shiyamu ath-Tathauwu`, Syaikh Usamah Abdul Aziz; Edisi Indonesia, Puasa Sunnah, Hukum & Keutamaannya; Pent. Darul Haq Jakarta ]